HIRUP

HIRUP
mulih ka jati, mulang ka asal

Kamis, 15 November 2012

Expansi Islam di Nusantara







“Pengembangan Agama Islam di Nusantara" 

 PENDAHULUAN Sebagai umat Islam di Indonesia, kita tidak dapat melepaskan diri dari jasa dan perjuangan para ulama, dalam memperkenalkan dan berdakwah di awal Islam memasuki Tanah Air ini. Berbicara tentang penyebaran agama Islam di Nusantara, tentunya kita tidak dapat melupakan “kiprah” para ulama yang disebut sebagai “Wali Songo”, atau “Wali nan Sembilan”. Kelompok Sembilan Wali ini terdiri dari Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus dan Sunan Muria. Dari beberapa tulisan, kita dapat mencoba untuk menapak tilasi, tentang Apa, Siapa dan Bagaimana tokoh-tokoh yang termasuk dalam kelompok ini. Mereka berdakwah disepanjang pantai Utara pulau Jawa, bahkan menyeberang ke Sumatra dan pulau-pulau lainnya. Dari tulisan tersebut, kita juga dapat mengetahui, bahwa saat Walisongo berdakwah, adalah masa kerajaan Majapahit masih “exist”, dimana waktu itu agama Hindu merupakan “Agama Resmi” kerajaan. Adat dan kebiasaan Hindu sudah sangat berakar di dalam masyarakat, sehingga terjadilah pertemuan antara budaya Hindu dan Islam yang tidak dapat dihindarkan. Dalam mensikapi hal ini, ada kelompok wali yang bersikap “lunak”, seperti yang dilakukan oleh Sunan Ampel. Wali yang satu ini berasal dari Samarkand, Asia Tengah, sebuah kawasan yang banyak melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadits Imam Bukhari. Beliau konon keturunan ke 23 Nabi Muhammad saw., serta bersahabat dengan Abu Hurairah. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga, sikapnya itu didukung oleh Sunan Drajat dan Sunan Giri yang tidak mau berkompromi dengan adat istiadat yang dianggapnya merusak kemurnian Islam . Mereka meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul, karena itu mereka dianggap sebagai “kaum putihan”. Seperti misalnya saat Sunan Kalijaga yang merupakan menantu Sunan Ampel, dia selalu memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat, menawarkan untuk meng”islam”kan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan, Sunan Ampel menolak halus. “Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?” kata Sunan Ampel. “Nanti bisa bid’ah, dan Islam tak murni lagi.'' Ada juga yang bersikap “keras”, dimana lebih berani untuk meng”adopsi” beberapa kebiasaan dan adat yang sudah mendarah daging dalam masyarakat yang umumnya berasal dari kebiasaan agama Hindu sebagai sarana dakwah. Menurut mereka, cara berdakwah tidak boleh kaku, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan. Misalnya selain selamatan, wayang, gamelan, ukiran dan batik, juga adat kenduri pada hari-hari tertentu, tidak diharamkan oleh mereka. Seperti halnya peringatan setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, serta adat-istiadat kelahiran, perkembangan anak sampai perkawinan. 

 Hanya, tradisi yang berbau klenik (syirik), seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji, diganti dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, do’a atau shalawat, seperti misalnya Yasinan dan Tahlil, berwudhu saat mengakhiri siraman, serta pengajian saat akan memasuki acara pernikahan. Demikian juga acara Syawalan atau Kupatan di Jawa Timur, untuk mengakhiri puasa sunah 6 hari di bulan Syawal yang dirayakan oleh setiap orang, meskipun tidak ikut puasa sunah, serta masih banyak tradisi-tradisi lainnya. Begitulah, kemudian muncul perangkat musik (gamelan) dan lagu (tembang), serta wayang yang bernafaskan Islam, digunakan sebagai sarana dakwah. Sampai saat ini masih dapat kita saksikan perangkat gamelan Bonang, Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu yang dikenal sebagai gamelan Sekaten, disamping itu kita masih dapat menikmati tembang Tombo Ati dan Ilir-ilir dimana liriknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah , serta lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu di cerita pewayangan. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir, sedangkan Jimat Kalimasada tak lain merupakan perlambang dari kalimat syahadat. Demikianlah, dalam berdakwah mereka tidak saja berjuang dengan mengandalkan kesaktian atau mu’jijad yang dianugerahkan kepada mereka saja, tetapi dengan jalan merangkul melalui adat kebiasaan yang sudah sangat berakar di tengah masyarakat, namun tetap mengedepankan “dakwah bil-hikmah”, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. 

 Hal tersebut di atas, dimaksudkan semata-mata untuk membikin terobosan dan mempermudah dakwah mereka, sehingga masyarakat bisa lebih mudah untuk diajak memeluk agama Islam. Kenyataannya membuktikan, bahwa dengan cara tersebut, mereka berhasil menyebarkan agama Islam di Nusantara, terutama di tanah Jawa. Kelompok Wali “garis keras” ini, di pelopori oleh putra dan murid-mantu Sunan Ampel, yaitu Sunan Kalijaga yang di dukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Muria. Kelompok wali ini dikenal juga dengan sebutan kelompok “Islam abangan”. Tak pelak lagi, hal ini menimbulkan konsekuensi logis, yaitu kebiasaan-kebiasaan tersebut masih banyak yang terbawa sampai sekarang, secara turun-temurun dan karena sudah mendarah daging, menjadi sebuah budaya di daerah masing-masing. Bagi ulama “murni”, tentu saja kebiasaan dan tradisi tersebut dianggap bid’ah, karena tidak sesuai dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Baca Surat Al-Ma’idah (QS 5 : 104,105). Mungkin perlu diketahui pula, bahwa berdasarkan naskah Carita, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atau Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490 ini justru menantu Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo. Di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri. Kenyataan ini berbeda dengan yang terdapat dalam buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru yang mendasarkan pada kesimpulan penelitian Hoesein Djajadiningrat, bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama. 



 Mudah-mudahan tulisan ini dapat lebih memberikan gambaran dan wacana, bagaimana agama Islam dikembangkan di wilayah nusantara, sampai mencapai bentuknya seperti sekarang ini. SUNAN GRESIK Syekh Maulana Malik Ibrahim Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara gemuruh, makin lama makin riuh. Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa, terlihat gerombolan pasukan berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. 






 Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --bergegas masuk ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin yang berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk. “Serahkan harta kalian,” sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. “Kalau menolak, akan kubakar desa ini.” Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri, daripada “ditekuk-tekuk” oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin. Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk, tetapi, mendadak niat itu terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya. Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur. Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut. Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.'' Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan tertarik memeluk agama Islam. Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer, tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. 

 Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim, adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah padang pasir. Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah dihunus, kemudian Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut, kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit mencurahkan butir-butir air, kejadian ini membuat kawanan kafir itu memeluk agama Islam. Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali pertama. Sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja). Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar merantau, berdakwah ke Negeri Selatan. Maka. Bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun terdapat beberapa versi. Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan Majapahit. Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah. Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya: membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak pernah mau dibayar. Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan masjid. Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki ''Kakek Bantal''. Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategis. Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia. Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya. Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami Kencana Wungu. Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim. Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total. Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu ditolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik. Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermain yang tertular, bahkan meninggal, termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419. SUNAN AMPEL Ali Rahmatullah/Raden Rahmat PRABU Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ''kesibukan'' harian kaum bangsawan, juga rakyat kebanyakan. Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. “Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti”, kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ''Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,'' Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa --kini wilayah Kamboja. Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadits Imam Bukhari. Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa, sehingga ia diangkat sebagai menantu raja dinikahkan dengan Ratu Dewi Candrawulan dan memperoleh putra Sayyid Ali Rahmatullah . Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23. Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Perkiraan dan ketidak pastian ini disebabkan karena para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada 1443. Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 --tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Dengan demikian perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya (Syech Ibrahim Asmarakandi) , kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah). Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit. Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban. Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah. Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat dan pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (mushola) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel. Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang --dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa. Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat yang mayoritas memeluk agama Hindu itu. Kata ''salat'' diganti dengan ''sembahyang'' (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai mushola, tapi ''langgar'', mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut “santri”, berasal dari shastri - orang yang paham buku suci agama Hindu. Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. 

 Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ''Sunan Ampel'' mulai populer. Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ''Moh Limo''. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela, yakni 1. moh main (tidak mau judi), 2. moh ngombe (tidak mau mabuk), 3. moh maling (tidak mau mencuri), 4. moh madat (tidak mau mengisap candu), dan 5. moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya. Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu 1) Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan 2) Sunan Drajat (Raden Qosim). 3) Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. 4) Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan 5) Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga. Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus. ''Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?'' kata Sunan Ampel. ''Nanti bisa bid’ah, dan Islam tak murni lagi.'' Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. 

Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak. Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antar para wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa. Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. 

 Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda. Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ''Ngulama Ampel Seda Masjid''. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan santrinya. Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air. Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552, awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan puasa. SUNAN BONANG Raden Maulana Makdum Ibrahim Tamba ati iku lima sak warnane Maca Qur'an angen-angen sak maknane Kaping pindo, sholat wengi lakonana Kaping telu, wong kang soleh kancanana Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe 

MENURUT tembang ini, ada lima macam ''penawar hati'', atau pengobat jiwa yang ''sakit''. Yakni , membaca Al-Quran, beserta mengamalkan isinya mengerjakan salat tahajud, bersahabat dengan orang saleh, hidup prihatin serta berpuasa, dan berlama-lama dzikir di malam hari. Inilah pula yang sering dilantunkan Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai Kanjeng, dalam sejumlah pergelarannya. Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan sejumlah santri di pesantren dan masjid di sejumlah desa. Tapi Cak Nun --demikian Emha biasa disapa-- bukan pencipta ''lagu'' itu. Tembang ini adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal sebagai Sunan Bonang. Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk menarik warga masyarakat agar memeluk Islam. Pada saat berdendang, pria yang diduga berusia 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama desa inilah yang kemudian melekat pada gelar sang Sunan. Meski terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Ia justru putra Sunan Ampel, yang menikah dengan Condrowati, alias Nyai Ageng Manila. Nyai Ageng merupakan anak angkat Ario Tedjo, Bupati Tuban. Tidak ada catatan mengenai tanggal kelahiran Raden Makdum. Diduga, ia lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465. Sunan Ampel semula memberi ia nama Maulana Makdum. 

Nama ini diambil dari bahasa Hindi, yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati karena kedudukannya dalam agama. Semasa kecil, Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan disiplin yang ketat. Tak heran jika dia pun, kemudian, terhisab ke dalam Wali nan Sembilan. Sunan Ampel kemudian mengirim Sunan Bonang ke Negeri Pasai, Aceh masa kini. Di sana Sunan Bonang menuntut ilmu pada Syekh Awwalul Islam, ayah kandung Raden Paku alias Sunan Giri. Bersama Raden Paku, ia juga belajar pada sejumlah ulama besar yang banyak menetap dan mengajar di Pasai, seperti ulama ahli tasawuf dari Baghdad, Mesir, dan Iran. Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel berdakwah di Tuban, Pati, Pulau Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa. Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang mendirikan pesantren di Gresik, Sunan Bonang juga mendirikan pesantren di Tuban. Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati masyarakat, antara lain dengan seperangkat gamelan Bonang yang bila dipukul dengan kayu lunak, bonang itu melantunkan bunyi yang merdu. Apalagi bila Sunan Bonang sendiri yang menabuhnya, gaung sang bonang sangat menyentuh hati para pendengarnya. Masyarakat yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid. Pada kesempatan tersebut Sunan Bonang lalu menerjemahkan makna tembangnya. Karena kekuatan suaranya itu pula, Sunan Bonang juga mendapat julukan lain: Sang Mahamuni. Tembang itu berisi ajaran Islam, sehingga tanpa sengaja mereka telah diberi penghayatan baru. Pada masa itu, daerah Bonang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang mayoritas dan ''resmi''-- beragama Hindu. 

Kebetulan, para penganut Hindu ketika itu sangat akrab dengan musik gamelan. Pengaruh gendingnya cukup melegenda, bahkan gamelan itu telah menjadi bagian dari cerita kesaktian Sunan Bonang. Misalnya dikisahkan, ia pernah menaklukkan Kebondanu, seorang pemimpin perampok, dan anak buahnya, hanya menggunakan tembang dan gending Dharma dan Mocopat. Begitu gending ditabuh, Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu menggerakkan tubuhnya. ''Ampun... hentikan bunyi gamelan itu. Kami tak kuat,'' begitu konon kata Kebondanu. Setelah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannyapun menjadi pengikut Sunan Bonang. Tapi, kesaktian Sunan Bonang tak hanya terletak pada gamelan dan gaungnya. Cerita lain mengisahkan seorang brahmana, yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya: ingin mengadu kesaktian dengan Sunan Bonang. Namun, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak, akibatnya, kitab-kitab kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung, sang brahmana berhasil mencapai pantai. Di tepian laut itu, ia berjumpa dengan seorang pria berjubah putih. Kepada pria itu ia menyatakan ingin berjumpa dengan Sunan Bonang untuk uji kesaktian. “Tapi”, demikian katanya, “saya tak lagi mampu melakukannya, karena semua kitab saya sudah raib di telan ombak”. Pria berjubah itu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat dari lobang bekas tongkat itu... bersama semua kitab sang brahmana. Setelah pria tadi menyebut namanya yang tiada lain daripada Sunan Bonang, Brahmana itupun berlutut. Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak. Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus putra Sunan Ngudung, sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan'' yang dipimpinnya. Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Disamping itu semua Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah, adik iparnya yang juga murid dari ayahnya, Sunan Ampel, menjadi sultan pertama di Demak . Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. 

Ajaran Sunan Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih. Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting, karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan. 

 Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif paling lengkap. Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan. Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman dan setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang. SUNAN DRAJAT Raden Qasim Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya. Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda. Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. 

 Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu., kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga yang menyebut ikan cakalang. Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar. Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat. Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker. Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare. Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan yang kini menjadi kompleks pemakaman dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat --termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan. Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya. Maksudnya: “jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.” Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara.
  Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. 
  Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
  Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah. 
  Cara keempat, melalui kesenian tradisional, Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. 
  Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: • Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; • Paring pangan marang kang kaliren; • Paring sandang marang kang kawudan; • Paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan. Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. 

Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib. ''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Leng-sanga (Sembilan lubang) di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan. Ketika itu saat Sunan kehausan, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan, kemudian ia berdoa. Tiba-tiba, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening --yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. 

Padahal, Syarif Hidayatullah (nama mudanya Sunan Gunung Jati) itu bekas murid Sunan Ampel. Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin. Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra. Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan. Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: “Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga....”, sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya. 

 ۞۞۞ SUNAN GIRI Raden Paku SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak atau Syekh Awwalul Islam yang juga merupakan guru Sunan Bonang, kembali terngiang: “Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” . Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren sesuai perintah ayahnya itu. Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya. Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung. Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter. Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri. Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul. Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan. Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. “Aliran Tuban” --Sunan Kalijaga cs-- ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang.

 Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia. Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan. Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau

Sunda Jeung Siloka






SUNDA


Dina Basa Sansakerta : SUNDA, jangkar kecapna Sund, moncorong, caang. SUNDA, jenengan Dewa Wisnu. 
SUNDA, jenengan satria buta (daitya) dina carita Upa Sunda sareng Ni Sunda. SUNDA, satria wanara dina carita Ramayana 
SUNDA, tina kecap cuddha SUNDA, ngaran gunung di kalereun Bandung (Prof.Berg) Dina Basa Kawi : SUNDA, hartosna cai -SUNDA, hartosna tumpukan SUNDA, hartosna pangkat SUNDA, hartosna waspada Dina Basa Jawa : SUNDA, hartosna nyusun SUNDA, hartosna ngarangkep SUNDA, tina candra-sangkala hartosna dua (2) SUNDA, tina kecap ‘unda’ hartosna naek SUNDA, tina kecap ‘unda’ hartosna ngapung 

 Dina Basa Sunda : 1. SUNDA, tina sa-unda tina sa-tunda, hartosna tempat pare, (leuit). 
2. SUNDA, tina s o n d a, hartosna alus 
3. SUNDA, tina s o n d a, hartosna punjul 
4. SUNDA, tina s o n d a, hartosna senang 
5. SUNDA, tina s o n d a, hartosna sugema 
6. SUNDA, tina s o n d a, hartosna panuju 
7. SUNDA, dina sundara, hartosna lalaki kasep, tegep. 
8. SUNDA, dina sundari, hartosna awewe geulis 
9. SUNDA, dina sundara, jenengan Dewa Kamajaya 
10. SUNDA, hartosna endah. 


Upami dietang kecap Sunda teh numutkeun papayan etimologi aya 25 hartos. 

Tiasa jadi baris nambihan deui saupami leukeun mapay kamus basa sanesna, upami bae dina kamus Basa-Kawi-Perancis, hartos kecap Sunda nya eta ‘Kacida pisan endahna tur hejo ngemploh’ (Viviane Sukanda Tessier, dina diskusi pengamat Kabudayaan, 1990). 

1. SUNDA, jangkar kecapna sund (bandingkeun sareng sun- B.Inggris nu hartina panonpoe), caang, moncorong, cahayana maparin sumber kahirupan keur sakumna mahluk. 
2. SUNDA, jenengan Dewa Wisnu. Dupi pancen Wisnu teh nya eta miara alam dunya. Yen tugas Sunda teh ‘miara Alam’. "Heh manusa, ulah nyieun karuksakan anjeun di bumi", kitu pidawuh-Na 
3. SUNDA, satria buta (daitya). Conto dina pawayangan nu disebat detya, nya eta Gatotkaca (putra Bima sareng Arimbi). Gatotkaca teh mibanda pasipatan nu kalintang saena teguh tanggoh tur nyatria, gede tanaga tur luhur panemuna, leber wawanen dina mancegkeun bener jeung adil. 
4. SUNDA, satria wanara. ‘wana’=leuweung, ‘ra’=jelema nu hade. Tegesna jelema nu hirup di pileuweungan, di pahumaan. Pasipatanana: tara kuuleun, resep digawe, tangginas. pro aktif, aktif-kreatif (rancage) tur dinamis (binekas, binangkit). 
5. SUNDA, tina kecap ‘cuddha’, tegesna putih. Kecap ‘putih’ dina basa Sunda 'clik putih, clak herang' = beresih pisan, wening, setra. ‘Lemah putih’ = uteuk nu beresih. ‘Ati putih’, teu goreng sangka, henteu suudon. 
6. SUNDA, ngaran gunung nu kacida luhurna diantara G. Burangrang sareng G.Tangkubanparahu, nalika jaman samemeh aya Talaga Bandung. Ma'na kecap ‘gunung’ dina rasa Sunda, nuduheun hal nu gede, sapertos bae dina rumpaka "Papatet" pangrajah dina bubuka ieu makalah. 'Gunung tanpa tutugan' sok aya nu ngahartoskeun lambangna Kaagungan Alloh nu taya wates-wangenna. ‘Gugunungan’, lambang jagat ageung sareng jagat alit nu pinuh ku rahmat Alloh SWT. Ku kituna tetela Sunda teh ngandung sipat nu luhung, luhur. 
7. SUNDA, hartosna cai. Lambang subur ma'mur. Nyaho pamiangan sareng nyaho pangbalikan (siklus; laut - saab - mega - hujan - walungan - laut). 
8. SUNDA, hartosna tumpukan. Numpuk tuduh nyusun ka luhur. Teges na ngandung ma'na loba, beunghar, sarwa teu kurang. 
9. SUNDA, hartosna pangkat. ‘hasilna gawe, ku kesang, ku elmu panemu’. Anu engkena nimbulkeun pangajen ti batur. Pangkat teh jadi ciri ajen inajen (kualitas) manusa. 
10. SUNDA, hartosna waspada. ati-ati, pinuh ku duduga prayoga, asak jeujeuhan, matang timbangan, kahareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala salengkah. 'Waspada permana tingal", nyaho kana nu baris kasorang. Ieu teh jadi sahsawios sarat nu jadi pamingpin, nya eta ‘weruh sadurung winarah, awas waspada permana tingal’. 
11. SUNDA, hartosna nyusun, henteu balatak pasolengkrah, ngentep seureuh, puguh gekgekanana. 
12. SUNDA, hartosna ngarangkep. Dina babasan 'Boga pikir rangkepan' hartosna henteu bolostrong, dipikir heula nu asak, wiwaha. 
13. SUNDA, hartosna angka 2. Angka 2 (dua), ngandung siloka-sasmita nu teu kinten jerona. 'Lalawanan : panas-tiis, suka-bungah. Papasangan ; istri-pameget, siang-wengi, itu-ieu sste. Ngenaan aworna nu dua (2), Haji Hasan Mustafa nyaurkeun; sapanjang neangan itu, ieu deui-ieu deui, sapanjang neangan bungah, susah deui susah deui,...' 
14. SUNDA, hartosna naek. Kecap ‘naek’ ngagambarkeun kaayaan nu leuwih luhur, leuwih maju, leuwih hade, leuwih positip. Kecap naek tuduh kana "pagawean", 
15. SUNDA, hartosna ngapung. 'Ngunda langlayangan', 
16. SUNDA, hartosna alus. Kecap alus tuduh kana kaayaan nu dipikaresep. 
17. SUNDA, hartosna punjul. onjoy atanapi aya leuwihna ti nu biasa. Punjul tuduh kana kualitas, kana prestasi. 
18. SUNDA, hartosna senang. kana kaayaan batin, katumarimaan, 
19. SUNDA, hartosna sugema. hate nu atoh tur tumarima, kulantaran nu diangen-angen (kahayang) kalaksanakeun. 
20. SUNDA, hartosna panuju. tuduh yen nu dipigawe ku urang luyu sareng nu dipikahayang ku nu sanes. 
21. SUNDA, hartosna lalaki kasep. 
22. SUNDA, hartosna awewe geulis. 
23. SUNDA, hartosna endah. tuduh kana rasa kalemesan budi (estetika). Kecap endah, ngandung harti/ma'na payus, pantes, alus, merenah. 
24. SUNDA, hartosna Kamajaya. Dina mitologi Sunda, Dewa Kamajaya teh nya eta Dewa Cinta, nu nebarkeun rasa deudeuh asih. 
25. SUNDA, hartosna panundaan (tempat nunda). Tiasa disebat oge ‘leuit’ Catetan :Drs. R. Mamun Atmamihardja (Sajarah sunda I. 1956) hasil anjeunna nyukcruk tina rupi-rupi kamus, harti kecap Sunda teh nyaeta
:


Walisongo











WALISONGO "Walisongo"adalah julukan sembilan orang wali penyebar agama Islam di Jawa. Masing masing adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan sebagai guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. 

 Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Kerajaan Majapahit yang adalah kerajaan yang bernafaskan Hindu-Budha dalam budaya Nusantara yang beralih pada kebudayaan Islam. Walisongo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

 Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha Maulana Malik Ibrahim Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malahmenyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. 

Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. 

Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. 

Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur. Sunan Ampel Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. 

Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang). Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. 

Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina." Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya. 

 Sunan Giri Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya--seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. 

Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. 

Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam. Sunan Bonang Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. 

 Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). 

Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan). Sunan Kalijaga Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan. 

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. 

Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. 

Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak. Sunan Gunung Jati Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. 

Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. 

Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n Sunan Drajat Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. 

Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog --pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. 


 Sunan Kudus Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. 

Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang. Sunan Muria Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. 

Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan Sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Papancen ti Kolot Urang





Papancen ti Kolot Urang

Asmarandana Eling eling mangka eling Rumingkang di bumi alam Darma wawayangan bae Raga taya pangawasa Mun kasasar nya lampah Napsu nu matak kaduhung Badan anu katempuhan Balakbak Aya warung sisi jalan rame pisan, Citameng Awewena luas luis geulis pisan, ngagoreng Lalakina lalakina leos kapipir nyo'o monyet, nyanggereng Dangdanggula He Barudak poma sing areling sing nyaah ka indung ka bapa Maraneh teh matak hese Komo nu jadi indung Kahesean kaliwat sakingti keur di kandungan Matak hese wungkul Mun dengdek kukulinciran Waktu maneh gubrag gumelar ka lahir Indung teh boa ajal. Durma Moal ngejat sanajan ukur satapak Geus di pasti ku jangji Mun tacan laksana numpes musuh sarakah Henteu niat seja balik najan palastra Mati di medan jurit. Gambuh Kutan kitu ari maung Simana kaliwat langkung jalmi jalmi warni warni Seueur anu ngoplok bujur Bawaning sieun di kokos. Gurisa Waktu barudak keur mijah Arulin semu barungah Ger hujan gede pohara Barudak breng lalumpatan Ngiuhan di bale desa Ngadago raatna hujan. Juru Demung Mungguh nu hirup di dunya Ku kersaning Anu Agung Ku kersaning Anu Agung Geus pinasti panggih Geus pinas tigeus pinasti panggih Jeung dua rupa perkara Senang paselang jeung bingung. Kinanti Budak leutik bisa ngapung, Babaku ngapungna peuting, Ngalayang kakalayangan, Neangan nu amis-amis, Sarupaning bungbuahan, Naon wae nu kapanggih. Ladrang Aya hiji rupa sato leutik, Engkang-engkang sok luluncatan di cai, Ari banguna rek sarupa jeung lancah. Lambang Urang kudu inget pisan Nya di ajar di sakola Masing geura geura bisa Sing inget ka indung bapa Maskumambang Hey barudak kudu mikir tileuleutik, maneh kahutangan, ka kolot ti barang lahir, nepi ka ayeuna pisan. Mijil Mesat ngapung putra sang Arimbi, Jeung mega geus awor, Beuki lila beuki luhur bae, Larak lirik ningali ka bumi, Milari kang rai, Pangeran Bimanyu. Pangkur Seja nyaba ngalalana Ngitung lembur ngajajal milangan korihenteu puguh anu dituju Balikan paman sadayanu timana tiluan semi nu rarusuh Lurah begal ngawalonan Aing ngaran Jayapati Pucun Utamana jalma kudu rea batur Keur silih tulungan Silih titipkeun nya diri Budi akal lantaran ti pada jalma Sinom Sinom nu jadi piwulang Piwulang ka murang kalih Anu eukeur sarakola Mambrih salamet nya diri Ingetkeun beurang peuting Tungkus dina jero kalbu Keur conto salalawasna Kaitkeun di jero ati Ulah pisan hirup tinggal tiwiwaha Wirangrong Deudeuh teuing nu prihatin Rukmantara keur ka bendon Sedih manahna kalangkung Henteu eureun eureun nangis Angkat sakaparan parankawas anu eukeur gundam. Magatru Majalaya, Ciparay, Banjaran, Bandung, Kopo, Ronggo, Cisondari, Cicalengka, Ujungberung Rajamandala, Cimahi, Leles, Limbangan, Tarogong.

Senin, 27 Agustus 2012

Baduy Message


gunung teu meunang di lebur

lebak teu meunang di ruksak

larangan teu meunang di rempak

buyut teu meunang di robah

lojor teu meunang di potong

pondok teu meunang disambung

nu laen kudu di laenkeun

nu ulah kudu di ulahkeun

nu enya kudu dienyakeun
mipit kudu amit

ngala kudu menta

nyaur kudu diukur

nyabda kudu di unggang

ulah ngomong sageto-geto

ulah lemek sadaek-daek

ulah maling papanjingan,,

Kamis, 09 Agustus 2012

Papancen



Lambang falsafah Urang Sunda tina Awi
- Ulah pucuk awian ‘nuduhkeun jelema teu puguh janjina, luak leok teu puguh tangtungan’.
- Kawas bujur aseupan ‘jelema nu teu bisa ngadalian diri, nepi ka teu ngabogaan katenangan hirup’
- Moal ditarajean ‘teu sieun nyanghareupan hirup’
- Sagolek pangkek, sacangreud pageuh ‘jelema anu sok tigin kana jangjina’ sarua jeung ngadek sacekna, nilas saplasna’
- Bobo sapanon carang sapakan ‘aya wae kakurangan = Tak ada gading yang tak retak’
- Lodong kosong ngelentrung ‘jelema nu loba nyaritana tapi teu eusian’
- Buku juga dijadikan perlambang ‘ manusa kudu inget kana batas kahirupan’
- Inggis batan maut hinis ‘kacida matak inggisna’
- Maut hinis ka congona ‘diibaratkeun ka jelema nu hirupna susah di kakolotan’
- Biwir nyiru rombengeun ‘jelema nu teu bisa neundeun rusiah, biasana dilarapkeun ka awewe’
- Pokrol bambu ‘jelema mah kudu bisa nyanghareupan sagala masalah dina kaayaan nu tenang, ngarah bisa survive’
- Anak mah ulah siga anak angklung ‘ulah joledar ka kolot’
- Indung mah siga angklung ‘ibu lebih sayang dan selalu ingat kepada anaknya, walaupun anaknya lupa kepada orang tusanya’
- Elmu angklung ‘Kolot wajib ngadidik jeung ngaping kanu jadi anakna ku elmu pangaweruh, kalauan, etika, jeung estetika supaya jadi jelema anu bageur’
- Peunggas rancatan ditinggalkeun ku jelema nu dijadikeun tanggelan’
- Kudu nepi ka paketrok iteuk ‘kudu nepi kakolot’
- Matak tibalik aseupan ‘awewe nu teu bisa masak tercela’


- Meungpeun carang ku ayakan ‘ pura-pura tidak tahu terhadap perbuatan yang tidak baik’
Hirup kumbuh jeung manusa kudu lir ibarat awi jeung gawirna ‘harus saling memperkuat, mendukung, tolong menolong’
- Tamiang meulit ka bitis ‘malindes ka diri sorangan = perbuatan mencelakan orang lain tapi hasilnya kepada diri sendiri
- Leuleus jeujeur liat tali ‘lentur dalam menghadapi permasalahan’
- Bubu ngawaregan cocok ‘memberi nasihat kepada orang lain untuk mengeuntungkan diri sendiri
- Pager doyong aya gebrage ’gotong royong di masyarakat’
- Nu burung diangklungan nu edan didogdogan ‘nu salah dibenerkeun beuki kacida salahna’
- Nete taraje nincak hambalan ‘ harus bertahap’
- Ulah jiga meulah awi ‘sikaya makin kaya si miskin makin miskin adanya korban ketidakadilan’
- Ulah ulin dina bebekan awi ‘jangan bermain dengan pekerjaan yang akan mencelakakan’
- Pindah cai pindah tampian ‘dapat menyesusikan diri’
- Kawas awi sumear di pasir ‘harus mempunyai pendirian dan bersatu dengan masyarakat sekitar’
- Ngadu angklung ‘berkumpul dan berbincang hanya untuk menghabiskan waktu’
- Asup kana bubu ‘masuk ke dalam suasana yang sangat sulit untuk menghindar’



- Awi = Ajining Wiwitan Ingsun Medal ‘ manusia hidup ada yang melahirkan secara syareat dan hakikat’
- Kudu neangan galeuh bitung ‘; pasrah dalam kekosongan’
- Puhu nyurup ka tungtung, congo amprok kana bonggol ‘lingkaran hidup yang berkesinambungan’
- Urang dipasihan iwung, iwung elmuning sang awi, iwung kersaning awina, iwung kawasaning awi, rungu paningal awina, iwung andikaning awi ‘Adanya keterkaitan antara yang dicipta dengan sang Pencipta’
- Awi temen ngeluk tungkul nungkulan buku pribadi nulisna make hinis ‘Jatining diri’
- Bisi teu inget ka ruas, sieun hinis salah nurih, nurihna Ruh-Asma - Allah ‘selalu ingat dengan cara berdoa kepada Allah’
- Dina buku aya mata, keur maca buku pribadi ‘mata hati selalu tidak pernah tidur’
- Kudu ngeusian awi ku uyah ‘Yahu - uyah’


- Leuweung kaian, gawir awian, legok balongan, datar sawahan ‘Proporsional’.

1. Ayakan mah tara meunang kancra ‘hasilnya tidak akan jauh dengan kemampuan’
2. Nyiuk cai ku ayakan ‘mengerjakan sesuatu yang sia-sia’
3. Dagang oncom rancatan emas ‘bekerja berlebihan tapi tidak sepadan dengan hasilnya’


 KIDUNG PITUTUR KA OPAT "

Amit Ampun Nun Paralun Ka Gusti Nu Maha Suci 
Neda Pangjiad Pangraksa Para Abdi-Abdi Seni 
Seja Ngaguar Laratan Titis Waris Nini Aki 

Ngembatkeun Jalan Laratan Katampian Gesan Mandi
Kaleuwi Sipat Tahunan Leuwi Nu Ngaruncang
Diri Diri Anu Sakiwari

Rek Muru Lurung Tujuh Ngaliwat Ka Pajajaran 
Bongan Hayang Pulang Anting 
Padungdengan-Padungdengan Jeung Usikna Pangancikan
Pun …… Sapun……

Sampurasun…… 
Ka Rumuhun Ka Hyang Prabu Siiliwangi 
Nu Murba Di Pajajaran 
Pangauban Seuweu Siwi Nu Gelar Di Tatar Sunda 
Muga Nyebarkeun Wawangi 

Run Turun Bayu Rahayu Bayu Tresna Bayu Asih 
Bayu Mawat Kangaruyan, Bayu Mawat Kaelingan 
Sakur Nu Kaliliwatan 
Sakur Nu Katitincakan 

Urang Buka Tutungkusan Nu Kahalang Ku Pipinding
Dina Gebang Sewu Lungkar 
Dina Tulis Titis Tulis Maca Uga Na Waruga
Atra Setra Kanti Sukma 

Amin Ya Robbal Alamin 
Mugi Gusti Nangtayungan

RAJAH LUTUNG KASARUNG

Allohuma Umur Dunya
Salamet Berekah Alloh
Naga Herang
Naga Lenggang
Naga Pangawasa Alloh
Turun Ti Perebu
Disanggap Ku Guru Ingra
Di Tampek Ku Perdawati
Dangdayang Srinawati
Kami Lain Sri Sasiki Dua Siki
Sagedeng Dua Gedeng
Sacangci Dua Cangci
Saranggeuy Pareanana
Reana Saratus Lobana Sarebu
Kagungan Gusti Cirebon
Seuweu Leuweung Mawa Reuneuh
Anakan Memeh Lakian
Rincik-Rincik Ringkak-Ringkak
Nyi Beuti Manik Nyi Akar Kawat







1. Kenapa Ada Perintah Rukuk dan Sujud?
Menurut penelitian, sel darah merah (HB) mengalami penurunan rata-rata setiap 5 jam. Pantas saja Allah menyuruh kita Rukuk dan Sujud (maksudnya Shalat) minimal 24 jam : 5 jam = Minimal 5 kali shalat sehari. Untuk menerima wahyu shalat, Nabi Muhammad di Isra’ mi’raj kan karena sangat pentingnya shalat tersebut. Jadi, Allah menciptakan manusia beserta cara pemeliharaannya karena Allah Maha Tahu akan fundamental setiap manusia. Di sini kita harus menyadari bahwa Allah itu maha pemurah, maha penyayang kepada setiap manusia. Dan kita harus sadar bahwa Rukuk dan Sujud itu atau Shalat itu merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap manusia. Rahasia gerakan shalat dan hubungannya dengan sistem saraf, akan dijelaskan secara rinci dan logis pada bab selanjutnya.

2. Kiat Hidup Sehat
Dari hasil penelitian (pemikiran, pengamatan, dan penerapan) dikatakan bahwa jika kita ingin hidup sehat tanpa obat ingatlah beberapa hal berikut ini.
    1. Jaga pikiran. Pikiran yang keluar dari kening kita yang merupakan titik/ area sujud harus dijaga dengan baik. Pikiran yang ruwet akan mengacaukan sistem yang ada di tubuh kita, baik itu sistem pencernaan, emosional, jantung, atau sistem panas/elektrik tubuh kita. Satu saja elemen sistem yang kacau di tubuh kita akan menyebabkan organ tubuh ada yang kurang berfungsi, lama-lama malah tidak berfungsi. Hal ini dapat dimengerti karena Allah menciptakan manusia sebagai mahluk yang sangat sempurna. Bagaimana cara terbaik menjaga pikiran? Saya rasa, Bapak/Ibu pasti tahu, dan bisa dipelajari dari orang yang ahli di bidang ini. Yang penting, berusaha meminimalisir bahkan meniadakan sesuatu yang memicu kita berpikir ruwet/kusut/complicated, di antaranya: jangan mengerjakan pekerjaan di luar batas kemampuan, mengerjakan tugas dengan serius dan sistematis serta harus sabar, dan jangan berbohong.
    2. Jaga makanan. Jangan membiasakan diri dengan makanan yang walaupun halal tetapi akan menyebabkan tumpukan lemak jenuh dan asam urat/ purin dalam tubuh kita. Makanan seperti jeroan, lalapan tertentu, atau nasi yang berlebihan akan menyebabkan terjadi pengapuran yang akan melapisi sistem saraf di tubuh kita, sehingga sinyal elektrik dari otak/pikiran kita tidak dapat disampaikan dengan sempurna ke titik ujung saraf. Akibatnya, pasti ada organ tubuh kita yang kurang berfungsi. Dalam kitab suci Al-Qur’an sebenarnya sudah ada jenis makanan, minuman, buah-buahan, sayuran yang terbaik seperti madu, daging burung/ unggas, ikan laut, minyak zaitun (tanpa kolesterol), kurma, apel, anggur, dan sawi. Di samping itu, sebaiknya kita menjaga sumber dana yang akan dibelikan untuk makan. Artinya, untuk mendapatkan keberkahan yang sempurna, sumber dan penggunaan dananya harus halal dan baik kualitasnya.
    3. Jaga kelakuan. Kelakuan sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Kelakuan yang buruk, terutama tidak bisa menjaga kemaluan, dapat mendatangkan penyakit. Alat vital (kemaluan), terkadang lebih berpengaruh daripada alat yang sangat vital, yaitu OTAK. Untuk itu, kita harus menyadari cara mengendalikan kelakuan kita. Kalau Aa Gym, mengembangkan aplikasi Manajemen Qolbu; Steven Covey mengembangkan 7 kebiasaan yang sangat efektif dalam meningkatkan kualitas hidup kita, bagaimana kalau kita mengembangkan manajemen nafsu? Steven Covey menyebutkan bahwa salah satu kunci sukses adalah kita diharuskan membiasakan untuk build the relationship. Bukankah ini sama dengan Hablum minan-nas, hubungan baik sesama manusia, melampaui batas/sekat golongan, suku bangsa. Kemudian kebiasaan yang ke 7 adalah sharpen the saw, yang maknanya, konsisten dan sabar dalam kebiasaan yang baik
   4. Jaga kelenturan. Daud adalah model manusia perkasa, senang puasa, berburu/ mengembara. Sudah pasti tubuhnya tidak tersalut oleh lemak jenuh, asam urat, dan sangat lentur. Sistem elektrik di tubuhnya sangat sempurna, sehingga bisa menyalurkan atau menghasilkan panas yang sangat tinggi di telapak tangannya, bahkan, dalam suatu riwayat, besi pun bisa lunak di tangannya. Kelenturan tubuh, sebenarnya, dapat dijaga dengan beberapa cara. Misalnya, yoga, balet, dan olah raga lainnya. Namun, menurut penelitian nara sumber, cara yang terbaik adalah shalat. Tetapi shalat yang bagaimana? Nanti akan dijelaskan secara rinci pada hubungan shalat dengan penjagaan kelenturan urat saraf.
   5. Jaga pakaian. Dalam Al-Qur'an, sebenarnya, sudah ada perintah untuk orang yang kualitas imannya tinggi, terutama wanita, untuk menjaga auratnya dengan cara berpakaian yang longgar, menutupi tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya (kerudung). Kenapa wanita? Kalau kita mau berpikir dan meneliti secara seksama, wanita itu adalah mahkluk yang sangat sensitif, sangat indah, sangat lentur. Apabila ingin menjaga keindahan, kelenturan, dan sensitivitasnya, coba perhatikan dan aplikasikan cara berpakaian yang terbaik. Sengatan matahari secara langsung akan menyebabkan kulit kering karena keringat langsung menguap tanpa terhalang oleh kain. Kulit yang kering akan merusak sistem keringat, sehingga saraf akan menjadi kering. Yang berbahaya, jika ada saraf yang di leher, di pangkal lengan, atau di ujung jari kering, berdasarkan penelitian, akan menyebabkan sistem pencernaan terganggu, liver bengkak, sakit perut, sakit typhus, atau susah buang angin. Jika yang kering sarafnya di pangkal/bagian lengan, akan mengakibatkan terganggunya sistem reproduksi. Ini akan dituangkan secara rinci mengenai gerakan wudhu yang diimplementasikan dalam teknik pijat untuk menjaga fungsi saraf. Maaf, ini tidak ada universitasnya. Ini hanya berdasarkan pengalaman nara sumber selama mengobati dirinya dan orang lain. Pakaian yang sempit pada wanita, terutama BH (Breast Holder), akan menyebabkan saluran lemak, lendir, cairan tubuh, dan pipa darah menjadi tersumbat. Lama-lama menggumpal dan mengeras, bahkan membusuk sehingga merusakjaringan saraf. Bakteri/virus akan menyebar ke mana-mana merusak organ tubuh yang lain, tergantung ke mana kabel-kabelnya/urat saraf dan pipa darahnya tersambung atau mengalir. Jadi, cara berpakaian sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan kita. Ikat pinggang yang kencang merusak saraf di pinggang, jam tangan kencang merusak saraf di pergelangan tangan, cincin sempit merusak saraf di jari tangan kita. Karena sangat sempurnanya sistem saraf di tubuh kita, sehingga harus dijaga setiap titik di tubuh kita. Jangan ada urat saraf yang terjepit, kering, busuk, atau putus. Begitu pula kalau tubuh kita sering kedinginan karena ruangan ber-AC. Dari hasil pengamatan nara sumber, banyak sekali yang mati rasa pada ujung saraf di tengkuk dan pundak, serta pinggang karena lemak jenuh yang ada di saluran lemak dan serat daging menjadi beku, sehingga menyebabkan aliran darah tersumbat, kemudian sistem panas tubuh tidak bekerja optimal, bahkan sistem keringat tidak berfungsi. Kalau banyak kabel yang mati rasa maka ada organ tubuh kita kurang berfungsi. Yang bahaya, jika saluran air lebih yang ada dalam paru atau serat daging yang tersambung ke saluran ginjal tersumbat, akan menyebabkan paru-paru basah dan sel paru-paru bisa membusuk, atau minimal kedinginan. Tidur terlalu lama pada malam hari yang lembab, menyebabkan tersumbatnya saluran air lebih ini, dan banyak saraf di pundak, terutama bagian belikat akan terhimpit oleh berat badan kita, sehingga banyak saraf yang kurang berfungsi. Pantas, kita dianjurkan untuk bangun malam hari melakukan shalat tahajud untuk menjaga kelenturan tubuh dan mencegah terjadinya sumbatan.

3. Semua Penyakit Dapat Dicegah
Lima kiat di atas sangat sederhana dan mudah diingat tetapi sulit dilaksanakan. Oleh karena itu, harus dibiasakan sejak anak-anak. Memang, kita harus meyakinkan diri kita sendiri bahwa Semua Penyakit ada Obatnya. Namun, ungkapan ini sebaiknya kita modifikasi menjadi, "Semua Penyakit dapat dicegah dengan cara yang sederhana. Yaitu, dengan membiasakan diri menjaga pikiran, makanan, kelakuan, kelenturan, dan pakaian." Untuk menjadi sehat, sebenarnya, murah biayanya. Kalau sudah sakit parah, mahal biayanya, bahkan bisa ludes hartanya. Salah satu pasien yang gagal ginjal mengeluh kepada nara sumber, janganlah sampai diberi Penyakit seperti ini. Duit segudang pun bakalan beak(ludes). Dan hasil pengamatannya, orang sakit gagal ginjal, sebenarnya, penyebabnya sederhana saja, yaitu mulanya kabel/saraf pengatur kerja ginjal terjepit lemak yang mengeras, sehingga perintah otak tidak tersambung. Keadaan ini tambah parah karena sistem keringat tidak normal, yang menyebabkan ginjal bekerja keras, kemudian dampak antibiotik yang mengkristal seperti pecahan beling/ujung jarum menggores dinding ginjal dan menyebabkan dinding ginjal terluka/infeksi. Belum lagi jika saluran kemih pun tersumbat, seperti kejengkolan, makin memperparah fungsi ginjal. Jika saluran air dari paru-paru ke ginjal tersumbat, dapat menyebabkan ginjal kering dan lama-lama mengerut. Sebenarnya, gerakan shalat yang tertib dan teratur waktunya dapat menjaga sistem ginjal ini Rukuk yang agak ditekuk maksimal, agak lama, dan duduk di antara dua sujud yang semua jari kaki kiri dan kanan ditekuk, akan dapat menjaga sistem ginjal dan sistem lainnya.

4. Formula Penyelamat Dunia dan Akhirat
Bagaimana caranya kita selamat dunia dan akhirat? Nara sumber menyampaikan pemikiran ini, yang mungkin berupa anjuran, sebenarnya ditujukan terutama untuk dirinya, berupa formula 5 S + 1 I , yaitu:
S1 = SHALAT
S2 = SABAR
S3 = SHAUM alias PUASA I = IKHLAS
S4 = SHADAQOH
S5 = SILATURAHMI

5. Syarat dan Pantangan Formula di atas harus disertai dengan persyaratan, yang semuanya diambil dari Al-Qur'an, yaitu: kita tidak boleh melakukan perbuatan:
1. Musyrik; bersekutu dengan cara meminta bantuan jin atau arwah.
2. Kufur; gila harta, gila tahta, gila wanita, makan riba.
3. Munafik; beda antar niat, ucapan, perbuatan.
4. Memelintir ayat seperti perbuatan Ahlul Kitab. Jadi, intinya, kita hidup ini harus ikhlas, sabar menunggu pertolongan Allah dengan cara mengikuti seluruh aturan Allah, tetap berada di jalan yang lurus, berusahalah semaksimal mungkin untuk hijrah dari lingkungan yang menyebabkan kita sakit. Hal ini dilakukan kalau kita ingin selamat dunia dan akhirat. Kita tidak cukup hanya mengaku beriman dan takwa, tapi harus disertai oleh perbuatan kebajikan dan bersedekah dari sumber yang halal dan jenisnya baik dan harus ikhlas, baru kita akan dimudahkan segala macam urusan dan diberikan keselamatan oleh Allah.
Sebenarnya, kita harus malu. Terkadang, kita berdoa minta sampai satu buku panjangnya, tetapi, sebenarnya, kalau kita teliti, semua jawaban doa tersebut sudah ada dan pasti dikabulkan oleh Allah. Namun, apakah kita sudah memenuhi syarat dikabulkan doa? Minta dimudahkan segala urusan, bayar dahulu sedekah, terutama ke anak yatim. Sudah sedekah tapi masih saja belum dikabulkan, coba koreksi, apakah sumber dana kita halal atau tidak, ikhlas atau tidak? Demikian pula waktu kita shalat, minimal 17 kali baca Al Fatihah, yang juga merupakan doa minta jalan lurus, sebenarnya jawabannya sudah ada, kemudian dilanjutkan dengan ayat–ayat yang sebenarnya merupakan jawaban dari doa kita itu sendiri. Jadi, Shalat itu sangat penting, dan yang lebih penting, jaga kelakuan kita sehingga mencerminkan shalat, baru kita dianggap layak untuk selalu dilindungi.




Mun harita ..
anjeun bisa neuleuman hate kuring
aya hiji guratan dina urat hate
aya hiji suratan dina urat jajantung
nu nuliskeun yen kuring rek seja rek malire

Mun harita..
Anjeun bisa ngarti kana kaayaan kuring
Anjeun bakal apal gede na kasatiaan kuring 
Yen enya kahartos ku anjeun teh saenyana aya di kuring
Yen kajujuran hate pikeun mikanyaah anjeun
Bakal terus nanceb dina hate

Mun seug..
Anjeun percaya..

Mun seug..
Anjeun teu cangcaya..



Nyawang
Aya rasa dina diri
sumarambah dina bayah
sumoreang togencang loba kamelang
emut kapanutan nuaya di pangumbaraan
duh panutan ati jungjunan qolbu….
salira bet kumolebat bae

ieu hate kumalayang marengan rasa
Rasa kamelang,rasa honcewang
sok ingis salira teu surti
mun karep nya diri
ku kahayang dina implengan

babarengan silih lendean
dina rasa dina dada aya salira
duh junjunan panutan kalbu
bebende pamaes mepende hate

beubeureuh anu geus maneuh
iyeu diri hamo lanca-linci
hamo incah balilahan tisalira
Duh … junjunan, panutan ati …




Diudag Umur
Wanci yuswa tunggang gunung
Sagala nu ngarandapan narembongan 
Nyisit melit kana ati
Matak eungap kana ambekan

Manci yuswa tunggang gunung
Sagala kahayang narembongan
Bongan diri geus teu uni
Nyalimpang kana dir sorangan

Wanci yuswa tunggang gunung
Kahoyong tinggal kahoyong
Hoyong nyorang waktu katukang
Matak mawa kasalempang





JATINING NAPSU
Perang rongkah Bharatayuda..
geuning teu sabaraha..
Perang Badar nu kacarita..
Eta lain perang nu saenyana..

Sing emut dulur..
Perang nu enya mah nyatana ayeuna..
Nu kaunggel geuning dina hadist..
Perang nu taya wates wangena
nyaeta perang jeung napsu angkara..

Ngalayanana ulah aral jeung subaha..
Ula ukur napsu anu digugulung..
Dunya anu di udag- udag.
Raga anu katempuhan..

Sanghareupan ku sabar Ikhlas jeung tawakal..
Hirup tumarima kana kanyataan..
Samangsa urang lumampah..
Lumaku kanu dituju..

Sumerah bari ngalengkah..
Sumujud bari ku dina tahajud..
Dijejr ku ageman..
Ulah pegat pangharepan..



NAON ESENSI BAGJA ?
“Bagja téh nyaéta: santosa jeung marahmay, kuat ingetanana, wijaksana akal, tenang tur sabar dina ngajugjug naon anu dicita-citakeun”(Yahya bin Khalid Albarmaky,)

“Kabagjaan téh ayana lain ku ng
umpulkeun harta banda; tapi taqwa ka Allah – tah éta kabagjaan téh. Taqwa ka Allah téh bekel nu panghadéna keur ditabung. Ngan di sagédéngun Allah wungkul kabagjaan keur jalma anu taqwa”( Abu Hutai’ah)

“Lamun pasosoré jeung isuk-isuk hiji manusa geus ngahontal kaamanan jeung kasantosaan tina gangguan manusa séjéna, tah éta nu disebut jalma bagja” (Zaid bin Tsabit)

"Bagja téh lamun bisa ninggalkeun barang anu haram, tumut kana paréntah Allah, nyingkahan kajahatan, ngadeukeutan kahadéan. turta ngalaksanakeun paréntah agama.(Peupeujeuh sepuh)

"Bagja téh nyaéta tunduk tur patuh dina nyaluyuan aturan anu geus ditangtukeun ku Allah SWT. Tur peri-kamanusaan”. (Ibnu Khaldun)

“Bagja anu dirasakeun ku saurang tabib nyaéta lamun manéhna bisa nyageurkeun jalma anu gering bari henteu maké ubar/obat, cukup ku ngagunakeun aturan kadaharan wungkul.” (Abu Bakar Ar Razi)

“Kabagjaan jeung kanikmatan anu sajati nyaéta bisa éling ka Allah.” (Imam Al-Ghazali)




Allah SWT negeskeun dina QS. Al Anfaal (8) ayat 28 :

وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Hartosna:
“Regepkeun ku maraneh, yen banda jeung budak maraneh ngan ukur fitnah, eta cocoba nu saenya-enya ti Alloh SWT nu mangrupakeun panggede2na pahala”

Panutan Ati

Aya rasa dina diri
sumarambah dina bayah
sumoreang togencang loba kamelang
emut kapanutan nuaya di pangumbaraan
duh panutan ati jungjunan qolbu….
salira bet kumolebat bae

ieu hate kumalayang marengan rasa
Rasa kamelang,rasa honcewang
sok ingis salira teu surti
mun karep nya diri
ku kahayang dina implengan

babarengan silih lendean
dina rasa dina dada aya salira
duh junjunan panutan kalbu
bebende pamaes mepende hate

beubeureuh anu geus maneuh
iyeu diri hamo lanca-linci
hamo incah balilahan tisalira
Duh … junjunan, panutan ati …




Sabda Rasulullah SAW “Arrosisie wal murtasie kilahuma fien nar” (yang nyogok dan yang disogok keduanya penghuni neraka)

KADUHUNG TARA TI HEULA
( Bian Jan 2012)

Mun seug,
Poe ieu kuring perlaya
Saawak-awak diruang ku taneuh
Singkup jeung Pacul balakecrakan bari ditincakan
Sakabeh ngalengkah naringgalkeun diri

Mun seug,
Pakaya, kawasa teu aya gunana
Kameumeut, bebene moal oge salse
Batur jeung dulur ukur cukup belengur
Lumaku diri nangtukeun jati diri

Mun seug,
Geus nyorangan dialam kubur
Hawar sora lengkah pamungkas masih keneh ngagema
Nyorangan jeung poek mongkleng
Nungguan anu rek nimbang

Nun GUSTI,
Pasihan abdi takdir hirup sakali deui ngajadi
Pasihan abdi kasempetan ngomean maneh
Pasihan abdi rek ngaraksa pakaya jadi walatra
Pasihan abdi waktos sumujud ka indung bapa
Pasihan abdi waktos kasadaya menta hampura



MAAFKAN DAKU !!!

Di bawah ini tertulis beberapa prinsip mulia Islam dalam etika berhubungan sosial dengan sesama makhluk terutama dengan seorang muslim. 

1. Memaafkan atas sebuah kezhaliman lebih baik daripada mendendam, dibawa sampai ke akhirat. 

Memaafkan seseorang yang pernah berbuat kezhaliman kepada kita, apapun bentuk kezhalimannya, adalah merupakan syariat Islam dan sesuatu yang di
perintahkan di dalam Al Quran yan Mulia serta dicontohkan di dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang agung.

Memang berat…tapi ganjaran pahalanya juga sangat besar, yaitu diampuni Allah Ta'ala dosa-dosanya.

Mari kita perhatikan ayat dan hadits mulia berikut:


{ وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [النور: 22]

Artinya: "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". QS. An Nur: 22.

Ayat ini diturunkan dalam menceritakan kisah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu, yang telah bersumpah untuk tidak lagi membiayai dan menafkahi Misthah bin Utsatsah radhiyallahu 'anhu, karena Misthah radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang mengatakan berita dusta tentang Aisyah radhiyallahu 'anha.

Dan ketika Allah Ta'ala telah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang keterlepasan Aisyah radhiyallahu 'anha dari segala tuduhan yang telah dibuat-buat kaum munafik tersebut, kemudian keadaan kaum muslim menjadi tenang kembali, Allah Ta'ala memberikan taubat-Nya kepada kaum beriman yang ikut berkata dalam berita ini, dan didirikan pidana atas yang berhak mendapatkan hukuman atas perbuatannya.

Maka Allah dengan kemuliaan dan kemurahan-Nya, mengajak Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu untuk memaafkan Misthah radhiyallahu 'anhu, yang juga merupakan anak bibi beliau, seorang miskin yang tidak mempunyai harta kecuali hanya dari pemberian Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu saja, dan Misthah radhiyallahu 'anhu termasuk dari kaum Muhajirin serta telah diterima taubatnya oleh Allah Ta'ala, apalagi Misthah radhiyallahu 'anhu sudah mendapatkan hukuman pidana atas perbuatannya tersebut. Lalu apa sikap Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu akhirnya, mari perhatikan hadits berikut:



أَنَّ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم – قَالَتْ: "... فَلَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ هَذَا فِى بَرَاءَتِى قَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ - رضى الله عنه - وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحِ بْنِ أُثَاثَةَ لِقَرَابَتِهِ مِنْهُ ، وَفَقْرِهِ وَاللَّهِ لاَ أُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحٍ شَيْئًا أَبَدًا بَعْدَ الَّذِى قَالَ لِعَائِشَةَ مَا قَالَ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِى الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ) قَالَ أَبُو بَكْرٍ بَلَى ، وَاللَّهِ إِنِّى أُحِبُّ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لِى ، فَرَجَعَ إِلَى مِسْطَحٍ النَّفَقَةَ الَّتِى كَانَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ ، وَقَالَ وَاللَّهِ لاَ أَنْزِعُهَا مِنْهُ أَبَدًا .

Artinya: "Aisyah radhiyallahu 'anha Istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ketika Allah telah menurunkan keterlepasanku (dari berita dusta yang disebarkan kaum munafik), Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu berkata tentang Misthah bin Utsatsah radhiyallahu 'anha, yang mana Misthah adalah orang yang beliau nafkahi, karena hubungan kekerabatannya dengan beliau dan karena kemiskiannya: "Demi Allah, selamanya aku tidak akan menafkahi Misthah sedikitpun, setelah apa yang ia katakan tentang Aisyah radhiyallahu 'anha", maka Allah-pun menurunkan ayat:

( وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِى الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ )

Artinya: "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Maka Abu bakar berkata: "Tentu, demi Allah, aku menginginkan agar aku diampuni Allah Ta'ala". Maka beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang dulu beliau beri nafkah. Dan beliau berkata: "Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan nafkah untuknya". HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah.

Kawan pembaca…saya yakin Anda paham ceritanya…

Jadi…Abu Bakar radhiyallahu 'anhu yang awalnya ingin menghentikan membiayai Misthah radhiyallahu 'anhu, disebabkan Misthah radhiyallahu 'anha termasuk orang yang ikut berkata akan berita dusta tentang Aisyah radhiyallahu 'anha yang telah diprakarsai oleh kaum munafik, tetapi setelah melihat ganjaran pahala yang begitu besar dari Allah Ta'ala jika beliau memaafkan Misthah radhiyallahu 'anhu, maka Abu Bakar radhiyallahu 'anhu pun memilih untuk mendapatkan ganjaran tersebut, yaitu berupa ampunan dari Allah Ta'ala, daripada menyimpan dendam yang tiada habisnya. Allahu Akbar!.

Maafkanlah kesalahan saudara-saudara seiman kita, apapun kesalahannya, jangan dendam tersebut selalu menyesakkan dada kita, apakah kita tidak mau mendapatkan ampunan Allah Ta'ala. Memaafkan = Mendapat Ampunan Allah Ta'ala.

2. Memaafkan harus dibarengi dengan perasaan lapang dada.

Kesempurnaan sikap memaafkan adalah jika dibarengi dengan perasaan lapang dada, yang menganggap seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Sebagian mungkin bisa memaafkan tetapi tidak bisa lapang dada, contohnya:
Si A telah memaafkan B, orang yang pernah berbuat salah kepadanya tetapi:
- si A tidak ingin lagi bertemu dengan si B,
- si A malas untuk berkumpul bersama dengan si B lagi,
- si A masih selalu mengungkit kesalahan si B,
- si A tidak mau lagi berurusan dengan si B,
- si A tidak lagi mau menolong si B, jika si B membutuhkan pertolongan,
dan contoh-contoh yang lain masih banyak. Mungkin bisa cari sendiri.

Padahal, kalau kita perhatikan ayat-ayat suci Al Quran, maka seorang muslim diperintah untuk memaafkan dengan dibarengi lapang dada, mari kita perhatikan:



{وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا} [النور: 22]

Artinya: "…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada…". QS. An Nur: 22.

Di dalam ayat yang mulia ini terdapat pelajaran yaitu: Perintah untuk memaafkan dan lapang dada, walau apapun yang didapatkan dari orang-orang yang pernah menyakiti. Lihat Tafsir al Karim Ar Rahman fi Tafsir Al Kalam Al Mannan, karya As Sa'di rahimahullah.


{فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ} [المائدة: 13]

Artinya: "…maka maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik". QS. Al Maidah: 13.

Ayat yang mulia ini memberi beberapa pelajaran:
1. Sikap memaafkan yang dibarengi dengan perasaan lapang dada adalah sifatnya seorang Muhsin.

2. Seorang Muhsin keutamaannya adalah dicintai Allah Ta'ala. Dan keutamaan orang yang dicintai Allah Ta'ala adalah:

- Masuk surga.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضى الله عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ « وَمَا أَعْدَدْتَ لِلسَّاعَةِ ». قَالَ حُبَّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ « فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ ».

Artinya: "Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Seorang lelaki pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya: "Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat?", beliau menjawab: "Apa yang telah kamu siapkan untuk hari kiamat?", lelaki itu menjawab: "Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya", Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maka sungguh kamu kan bersama yang kamu cintai". HR. Bukhari dan Muslim.



- Diharamkan oleh Allah Ta'ala untuk masuk neraka.

عنْ أَنَسٍ رضى الله عنه قَال: قَالََ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « والله, لاَ يُلْقِى اللَّهُ حَبِيبَهُ فِى النَّارِ ».

Artinya: "Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Allah, tidak akan Allah melemparkan orang yang dicintai-Nya ke dalam Neraka". HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2047.



- Dicintai oleh seluruh malaikat 'alaihimussalam dan diterima oleh penduduk bumi:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ، ثُمَّ يُنَادِى جِبْرِيلُ فِى السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ وَيُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِى أَهْلِ الأَرْضِ » .

Artinya: "Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika Allah Tabaraka wa Ta'ala mencintai seorang hamba, maka Allah Ta'ala memanggil Jibril : "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah fulan", maka Jibril pun mencintainya, kemudian Jibril menyeru di langit: "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah kalian fulan", maka penduduk langitpun mencintainya dan diletakkan baginya penerimaan di tengah-tengah penduduk bumi". HR. Bukhari.

Semoga bermanfaat.
Pancakaki téh nyaéta perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa anu kaasup baraya kénéh. a. Rundayan atawa Turunan - anak => turunan kahiji. - incu => turunan kadua, anakna anak. - buyut => anak incu. - bao => anakna buyut. - janggawaréng atawa canggahwaréng => anakna bao. - kait siwur => anak janggawaréng. b. Ka luhur - bapa => lalaki nu boga anak, salaki indung. - indung => awéwé nu boga anak, pamajikan bapa. - aki => bapana indung atawa bapa. - nini => indungna indung atawa bapa. - buyut => indung/bapana aki atawa nini. - bao => indung/bapana buyut. - janggawaréng => indung/bapana bao. - kaitsiwur => indung/bapana janggawaréng. c. Ka gigir - adi => dulur sahandapeun - lanceuk => dulur saluhureun. - emang/paman => adina bapa atawa indung (lalaki), - bibi => awéwé adina bapa atawa indung. - ua => lanceuk bapa atawa indung. - alo => anak lanceuk. - toa => anak adi. - kapiadi => anakna emang/bibi. - kapilanceuk => anakna ua. - incu ti gigir => incuna adi - aki ti gigir => lalaki, adina atawa lanceukna aki/nini. - nini ti gigir => awéwé, adina atawa lanceukna aki/nini. - ua ti gigir => anakna lanceuk aki/nini. - emang ti gigir => anakna adi aki/nini (lalaki) - bibi ti gigir => awéwé, anakna adi aki/nini. d. Istilah Séjénna - adi beuteung => adina pamajikan/salaki. - dulur sabrayna => dulur misan, anak paman, bibi, atawa ua. - dulur teges => dulur enya, saindung, sabapa. - indung téré => pamajikan bapa, lain anu ngalahirkeun urang. - bapa téré => salaki indung, lain anu ngalantarankeun urang lahir. - anak téré => anak sampakan ti salaki atawa pamajikan. - dulur patétéréan => anak indung atawa anak bapa téré. - cikal => anak panggedéna. - pangais bungsu => lanceukna bungsu. - bungsu => anak pangleutikna. - baraya laér => baraya nu nurutkeun pancakaki geus jauh perenahna. - teu hir teu walahir => teu baraya saeutik-eutik acan. - bau-bau sinduk => baraya kénéh, sanajan geus laér. - dulur pet ku hinis => dulur teges. - baraya => sakur nu aya pancakakina. - karuhun => luluhur, jalma-jalma anu kungsi aya lila heulaeun urang, nu ngarundaykeun urang.