HIRUP

HIRUP
mulih ka jati, mulang ka asal

Kamis, 04 Desember 2014

The Truth Way

Islam The Truth Way..........Think it

0 comments

Sekedar evaluasi dan pikirkanlah
“Kemungkinan besar bahwa ‘Allah’ yang anda sembah bukan ‘Allah’ yang memberikan wahyu pada Muhammad, melainkan ‘Allah’ ciptaan pikiran anda sendiri. ‘Allah’ yang picik seperti anda.”[1]
Agama sebenarnya bisa membuat hati seseorang merasa sejuk, Agama sebenarnya bisa membuat hati penganutnya begitu teramat rajin menjalani apa yang menjadi garis-garis besarnya, Agama sebenarnya mampu membuat hati pengikutnya begitu damai, tenang dan tenteram dan mampu menumbuhkan cinta yang luar biasa dahsyatnya hingga ia bersedia mengorbankan apa saja bahkan nyawanya demi melindungi agama yang ia peluk, dan tak akan merelakan sedikit saja agama yang di anutnya dihina, dicerca atau disakiti. Ia mampu membuat hati merasa tenang dan sejuk bagaikan telaga bening ditengah hutan, ia mampu membuat pikiran manusia merasa damai tanpa ada secuil pikiran untuk bertindak secara anarkhis. Tapi perasaan semacam itu hanya mampu dirasakan oleh manusia yang benar-banar beragama, benar-benar tahu agama yang dianutnya, benar-benar beragama karena keyakinan hatinya, dan benar-benar mengenal Tuhannya yang selalu ia sembah. Bukan tuhan hasil rekaan imajinasinya, bukan Tuhan gambaran para guru-gurunya dan bukan Tuhan yang dihasilkan oleh pikiran kerdilnya. Hal semacam ini hanya mampu dihasilkan oleh fikiran yang terbuka dan adil dalam menilai bermacam agama dan aliran yang ada. Dan hal ini juga yang dilakukan oleh para nabi-nabi terdahulu yang mampu berfikir dan menyimpulkan agama yang ada serta berhasil menemukan agama yang yang benar-benar mampu membuat hatinya kepincut hingga ketika cintanya begitu dalam ia tak gentar oleh siksaan yang dirasakannya, perasaan hatinya begitu kuat dan tak mampu digoyahkan dengan deraan dan siksaan atau juga rayuan harta dunia seisinya.
Ibrahim El-Khallil dilahirkan oleh keluarga yang bertuhankan berhala, dibesarkan dan dididik oleh lingkungan yang beragamakan berhala, bahkan ayahnya (Azar) merupakan salah satu tokoh terpandang yang dipercaya oleh masyarakatnya untuk membuat tuhan-tuhan tersebut. Namun Ibrahim adalah seorang yang tidak hanya bertaqlid buta terhadap ajaran keluarganya. Fikirannya berkembang dan ketika pertanyaan-pertanyaan semacam ‘Kenapa benda mati harus dijadikan tuhan’ tak mampu dijawabnya ia berani menyimpulkan bahwa agama yang dianut oleh keluarga dan masyarakatnya adalah sesat[2]. Ibrahim merupakan orang terpelajar, ia tidak hanya berani memvonis agama kaumnya sebagai agama sesat, namun Ibrahim berusaha mencari solusi dan jalan keluarnya, ia terus mencoba mencari agama dan mencoba mencari Tuhan. Dalam perjalanan pencarian tuhannya ketika malam tiba dilihatnya Bintang Ibrahim melihat bintang yang berkilauan diangkasa maka ia menganggapnya tuhan, namun ketika bintang itu lenyap ia tak mau bertuhankan bintang lagi, lalu dilihatnya bulan dan ia bertuhankan bulan yang lebih besar dari bintang, namun ketika bulan itu tenggelam, kembali ia tak mau bertuhankan “tuhan” yang lenyap, dan ketika fajar muncul dan dilihatnya matahari, hatinya gembira merasa menemukan tuhan bahkan ia sempat berkata “Inilah tuhan, inilah yang terbesar” namun ketika senja menjelang dan matahari itupun kembali keperaduannya, hatinya kembali bimbang, karena Tuhan tak akan pernah lenyap atau tenggelam. Ibrahim kuat dalam prinsip dan pendiriannya, bahkan ketika ia belum menemukan tuhannya sekalipun ia berani mengemukakan kepada masyarakatnya “Sesungguhnya aku hanya menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan keyakinan agama yang benar dan aku bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan tuhan”.[3] Dari pengembaraan pencarian agama yang benar ini Ibrahim menemukan tuhannya ia menemukan agama yang membuat damai dan tenang jiwanya, hingga ketika ia berda’wah mengajak umatnya untuk memeluk agama yang dianutnya dan diancam akan dibakar di api, Ibrahim tidak gentar dengan siksaan yang akan dihadapinya dengan keyakinan kuat, Ibrahim terus memegang erat agamanya dan dengan pertolongan Tuhan Ibrahim selamat dari api yang membakarnya.
Keyakinan yang mengakar dihati sanubari Ibrahim begitu kuat, karena ia sendiri yang berhasil menemukan agama barunya, bukan karena pendidikan orang tua dan lingkungan, juga bukan karena mayoritas penduduk yang beragamakan berhala. Dan keyakinan Ibraim terhadap agama yang diyakininya ini terus diuji oleh Tuhan seberapa kuat keimanan hatinya; hingga ketika sampai kepada Ibrahim berita yang tak masuk akal bahwa ia harus membunuh anak kandungnya sendiri dengan menyembelihnya, Ibrahim dengan keyakinan penuh dan tanpa ada keraguan berangkat untuk menyembelih putranya (Ishaq), meski setelah itu Tuhan menggantikannya dengan seekor kambing kibas. Kecintaan terhadap Tuhan dan agamanya melebihi kecintaan terhadap siapa dan apapun, ini yang dibuktikan oleh Ibrahim. Mungkin didunia ini tak akan ada satu orangpun yang dengan rela hati mengorbankan putranya sendiri, darah dagingnya sendiri untuk dikorbankan kepada Tuhan yang disembahnya dengan menggunakan tangannya sendiri dalam memenggal leher anak kandungnya sendiri selain Ibrahim. Dan mungkin juga didunia ini hanya ada Ibrahim yang meyakini bahwa agama yang benar menyuruh menyembelih putranya sendiri, orang lain kemungkinan besar akan segera keluar dari agama tersebut dan segera memvonis bahwa agama yang menyuruh membunuh putranya sendiri yang tak berdosa adalah agama yang sesat.
Musa AS. Lahir dari seorang ibu muslimah namun besar lingkungan yang mentuhankan manusia (Fir’aun / Ramses / Pharos). Dari kecil ia hidup dalam lingkungan ‘kerajaan tuhan’ itu sendiri. Benar ia lebih beruntung dari bayi-bayi laki-laki lainnya yang harus dibunuh karena takutnya ‘sang tuhan’ terhadap jatuhnya kerajaannya setelah seorang penta’wil mimpi mengabarkan bahwa akan datang seorang anak laki-laki yang kelak akan menjatuhkan kekuasaannya. Namun meski Musa tumbuh dalam lingkungan paksaan mentuhankan  Fir’aun, Musa besar dalam belaian dan kasih sayang seorang ibu yang sholihah (Asyiah) meski sang ibu itu sendiri sebenarnya adalah salah satu istri ‘sang tuhan’.
Tetapi walau Musa besar dalam lingkungan masyarakat yang mentuhankan manusia, Musa tidak begitu saja menerima keyakinan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Musa tetap berfikiran jernih dan berusaha menemukan tuhan dan agama yang sebenar-benarnya. Bahkan ketika Musa mempunyai mertua seorang nabi yaitu Nabi Syuaib setelah menikahi putrinya di Madyan, Musa tidak begitu langsung menerima agama mertuanya, delapan tahun Musa bersama Nabi Syuaib, namun Musa masih terus berusaha mencari Tuhan yang akan dianutnya. Memang ajaran yang diajarkan oleh nabi Syuaib berbeda dengan keyakinan masyarakat tempat kelahirannya di Mesir/Egypt, Syuaib mengajarkan tentang ketauhidan dan keesaan Tuhan, hatinya tergerak namun Musa tidak begitu saja mau menerimanya. Hingga ketika malam yang dingin tiba dan Musa bersama keluarganya hendak kembali ke Mesir, dilihatnya api dilereng bukit Tursina. Ia berkata pada keluarganya “Tunggulah disini ! aku melihat api, semoga aku dapat membawa suatu berita kepadamu, atau setidaknya aku mendapat sesuluh api, agar kita dapat menghangatkan badan” lalu Musa berusaha mendaki bukit padang pasir terjal tersebut dan menuju ketempat cahaya api yang dilihatnya dan ketika Musa sampai ditempat itu, diserulah ia dari arah pinggir lembah sebelah kanannya, dari sebatang pohon kayu : “Hai Musa! Sesungguhnya Aku adalah Allah Tuhan semesta alam.”[4] Suara itu memang muncul dari arah pohon kayu, namun dengan begitu Musa menemukan Tuhannya, Musa menemukan agama barunya yang benar-benar membuat tenang jiwa dan hatinya. Musa menemukan tuhan dihatinya tidak pada sebatang pohon kayu dan pohon kayu yang mengeluarkan suara itu tidak dijadikan tuhan oleh Musa melainkan hanya perantara Tuhan dalam menyampaikannya pada Musa. Ia tidak langsung mengambil kesimpulan bahwa sesuatu yang mustahil terjadi atau sesuatu yang diluar kebiasaan dianggapnya tuhan, Pohon kayu yang mengeluarkan suara itu tidak dijakan tuhan seperti halnya ketika seorang penganutnya yang bernama Samiri menggoyahkan keimanan Bani Israel dengan mengatakan patung anak sapi yang terbuat dari emas dan mampu mengeluarkan suara adalah tuhan. Hal ini terjadi setelah Musa memenangkan pertandingan Sihir yang diadakan oleh Fir’aun untuk mengetahui apakah Musa benar seorang Nabi, dari kejadian itu seluruh ahli Sihir anak buah Fir’aun mengamini bahwa Musa benar seorang nabi meski kemudian mereka harus dipotong kaki dan kanannya oleh algojo Fir’aun karena mengingkari ketuhanan Fir’aun. Setelah kejadian itu Fir’aun murka besar dan mengerahkan seluruh batalyon tentaranya untuk mengejar Musa dan kawanannya hidup atau mati, bahkan pasukan itu dikomandoi oleh Fir’aun sendiri. Musa memang melarikan diri hingga terpojok di pinggir pantai laut Merah Kapsyia dan Tuhan mewahyukan agar memukul tongkatnya pada permukaan air dan dengan keajaban Tuhan, laut Merah terbelah membentuk sebuah jalan. Namun Musa juga seorang manusia yang mempunyai rasa takut hingga Tuhan mengutus Jibril dengan mengendarai Buraq untuk menuntun Musa menlewati dasar laut yang terbelah. Namun kejadian ini dilihatnya oleh Samiri yang mempunyai ilmu kebatinan dalam, ia melihat buraq itu berjalan didepan Musa dan dalam kesempatan itu ia mengambil segenggam pasir bekas injakan telapak kaki Buraq. Setelah Musa selamat sampai daratan sebelah maka berjalanlah hari demi hari dengan beribadah kepada Tuhan. Dalam beribadah kepada Tuhan, Musa mengasingkan diri ditemani teman setianya Yusya’ bin Nun dan kepemimpinan umatnya diserahkan pada saudaranya Nabi Harun, pada saat itu Samiri membuat sebuah patung anak sapi dari emas dan pasir bekas injakan Buraq ia lemparkan pada patung tersebut dan dengan keajaiban, patung itu mampu bersuara. Melihat kejadian itu Samiri memutuskan bahwa patung tersebut adalah Tuhan dan Tuhannya Musa. Hal ini membuat bani Israel kembali murtad dan mentuhankan patung sapi tersebut. Mereka cepat mengambil keputusan bahwa hal yang diluar kebiasaan adalah tuhan tidak seperti Musa yang tidak mentuhankan pohon kayu yang mengeluarkan suara. Sementara Fir’aun ditemukan tenggelam dalam laut merah oleh para ilmuwan ini diklaim sebagai Fir’aun keempat yang mengejar Musa dengan salah satu buktinya bahwa dalam paru-parunya ditemukan kandungan garam. Tuhan tidak membuat busuk jazad Fir’aun ini untuk sebagai tanda peringatan tentang kekuasaan Tuhan. Kini Jenazah mumi Fir’aun ini dapat disaksikan di museum Mesir.
Muhammad SAW. Besar dalam lingkungan masyarakat yang bertuhankan berhala. Keluarganya sebagian besar penganut agama ini, tanpa belaian kasih sayang seorang ayah, Muhammad tumbuh besar diantara orang-orang yang memuja benda-benda mati tersebut. Namun kecerdasan otak Muhammad menolak agama yang tak bisa dikogika tersebut, mereka memahatnya, membentuknya rupa sesuka hati lalu menganggap karyanya sendiri sebagai tuhan. Muhammad tidak butuh waktu lama untuk memutuskan bahwa keyakinan yang dianut oleh masyarakatnya adalah sesat. Muhammad tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya yang ikut mentuhankan berhala, Ia berusaha mencari dan menemukan Tuhan dengan fikiran, bila dalam rumahnya Muhammad tak pernah bisa berkonsentrasi, maka Muhammad menyendiri disebuah gua sempit berbatuan pada lereng sebuah gunung kecil. Tapi dimanakah kebenaran itu? Ia tidak berharap bahwa kebenaran yang dicarinya terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan pendeta. Ia berharap kebenaran akan muncul dari alam semesta, dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalam redup cahaya bulan dan terik matahari, dalam kerikil-kerikil padang pasir, dalam laut dan deburan ombak yang tiada pernah berhenti. Apa asal semua yang terjadi disekelilingnya?  Dari mana sumbernya? Siapa yang mengganti gelap malam menjadi terang siang? Siapa yang menggerakkan angin? Siapa yang mengatur datangnya awan dan hujan? Muhammad mencoba merenung memeras otak dan mencoba menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang terus menghujam hatinya. Dan Tuhan tidak berdiam diri membiarkan hambanya dalam kebingungan. Suatu malam diantara malam-malam ketika ia berkhalwat digua Hira, Muhammad menampak sesosok makhluk yang sangat besar diufuk yang tinggi. Jibril menampakkan wajah aslinya dan membuat Muhammad yang belum pernah melihat dan mengenal sosok makhluk itu bergetar keras, jantungnya berdegup kencang apalagi ketika sosok makhluk itu kemudian mendekati dirinya lalu berubah menyerupai manusia, Jibril semakin dekat dan dekat hingga berada tepat dihadapan mukanya dan terus semakin dekat hingga jaraknya hanya sekitar dua ujung busur panah bahkan lebih dekat lagi.[5] Lalu makhluk itu menyampaikan suatu berita tentang ketauhidan dan memperkenalkan Tuhan yang sebenarnya.
Pada peristiwa 6 Agustus 610 ini Muhammad menemukan Tuhan yang sebenar-benarnya, ia menemukan suatu keyakinan yang lain dari keyakinan masyarakatnya, ia menemukan suatu agama yang membuat hatinya tenang dan damai dengan keteguhan kuat menancap dihatinya.
Muhammad SAW mendapat mandat dari Tuhannya untuk menyelamatkan umatnya dari kesesatan, Ia dilantik menjadi nabi dan rasul sekaligus mengakhiri tugas para nabi-nabi terdahulu untuk kembali meluruskan ketauhidan umatnya.


Dalam da’wahnya, Muhammad SAW mendapat tantangan keras oleh mereka yang di sebut ‘Jahiliyah’ (Kebodohan) karena mereka membuat tuhannya sendiri dari benda mati yang terang tak mempunyai kekuasaan terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Namun diantara sekian banyak manusia yang menyembah berhala-berhala itu apakah satupun tidak ada yang berfikiran rasional? diantara mereka banyak yang berfikiran rasional dan mengetahui bahwa tuhan yang mereka puja adalah hanya sebongkah batu atau dahan kayu yang tidak akan pernah mampu menolong penyembahnya atau menyiksa pembangkangnya. Namun tetap saja orang-orang itu menyembahnya karena meraka lahir dari rahim seorang ibu penyembah berhala, lalu besar dan dididik dalam lingkungan para penyembah berhala, mereka dicekoki keyakinan orang tua dan kakek neneknya yang menjadikan berhala sebagai tuhan. otak fikiran mereka tentang sesuatu yang lebih luas dari sekedar asal percaya dan asal mengikuti terbentur keyakinan yang telah mereka hisap sejak lahir. Dan itulah sebabnya ketika Muhammad SAW mengajaknya berpindah agama mereka menjawab : “Cukuplah bagi kami, apa (agama) yang kami terima dari bapa-bapa kami”.[6] Mereka beragamakan bukanlah karena keyakinan hatinya, mereka hanya mengikuti agama orang tua mereka, mereka hanya taqlid buta dan menolak agama Muhammad sebelum mereka mau belajar dan mengetahui isi dari agama Muhammad tersebut. Lain halnya bagi mereka yang mau mencerna agama yang selama ini mereka kerjakan sebagai penyembah berhala dan mau mempelajari agama Muhammad dengan seksama lewat pelajaran yang berlaku (baca: Mu’jizat) dipastikan mereka akan menerima agama Muhammad dengan senang hati tanpa unsur paksaan. Tidak bagi mereka yang masuk Islam karena ikut-ikutan tanpa mempelajari lebih dahulu maka mereka kembali murtad dan menyembah berhala lagi setelah mendapati pelajaran yang bagi mereka tidak masuk akal seperti terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj yang memang diluar akal sehat manusia, dan seandainya agama menyuruh mereka membunuh anak kandung kesayangannya seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim, maka tak akan memakan waktu lama, mereka pasti mengklaim bahwa agama yang dibawa Muhammad adalah sesat.
Lain halnya bagi mereka yang beragamakan karena mempelajari dahulu agama yang dianut, maka keyakinan mereka tidak pernah lekang oleh waktu. Keyakinan yang begitu kuat tak mampu dilumpuhkan walau harus berbaring tanpa pakaian diatas panasnya padang pasir dengan sebongkah batu menindih badannya seperti Billal bin Rabah, atau harus mengalami deraan cambuk dan panasnya api seperti Amar bin Yasir. Keyakinan dalam beragama yang begitu kuat itu muncul karena agama yang dianut adalah pilihan hatinya, karena dorongan jiwanya hingga menumbuhkan cinta yang luar biasa dahsyatnya. Bagi mereka Islam dan Muhammad adalah hidupnya jangankan hanya harta kekayaan untuk disumbangkan demi kemajuan agama seperti Salman Al-Farisi, Nyawa akan mereka persembahkan demi tegaknya agama yang mereka yakini.
Tidak jauh berbeda dengan keadaan zaman onta adalah zaman sekarang yang semuanya serba ultra modern ini. Mungkin sebagian besar dari kita beragamakan Islam, tapi benarkah Islam yang kita peluk ini adalah karena pilihan kita? Rasanya tidak. Kita beragamakan Islam karena kita dilahirkan oleh orang tua kita yang ‘kebetulan’ Islam, besar dalam lingkungan kita yang mayoritas Islam, dididik dalam pendidikan Islam dan kita terus dicekoki dengan hukum dan perilaku Islam. Seandainya orang tua kita kebetulan beragama Nasrani, apakah kita mungkin akan memilih Islam, bisa diyakinkan seratus limapuluh persen kita akan beragamakan Nasrani. Lalu kenapa sekarang ketika kita sudah bisa berfikir dan memilih serta menilai suatu keadaan, kita masih beragamakan Islam?. Mungkin jawaban kita adalah bahwa karena Islam adalah agama yang benar, dalam arti lain agama selain Islam adalah agama yang tidak benar. Kita menilai bahwa agama Islam adalah agama yang benar karena kita beragamakan Islam, kita akan terus bersikokoh bahkan mungkin keras berargumen bahwa agama yang paling benar adalah agama Islam. kenapa? Karena sejak lahir kita terus dicekoki bahwa agama yang benar adalah agama Ialam, dan kita terus diracuni bahwa agama selain Islam adalah tidak benar, bahkan kita kadang tidak merasa bahwa kita telah dibujuk untuk membenci agama selain Islam. Coba tanyakan pada mereka yang beragamakan Kristen, apa agama yang benar, mereka pasti menjawab bahwa agama yang benar adalah agama Kristen, lalu tanyakan pada mereka yang Budha, Hindu atau agama lain. Maka jawaban mereka adalah agama yang benar adalah agama yang mereka peluk dan Islam bagi mereka adalah salah satu diantara agama yang kurang benar. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa agama yang benar adalah agama yang mereka peluk. Kalau kita meneropong dari sisi tidak berpihak maka kita akan dihadapkan pada satu dilema dimana semua agama adalah benar. Kalau selama ini kita memvonis bahwa agama selain Islam adalah agama yang salah. Kita seharusnya tahu letak kesalahan itu. Apa karena mereka menyembah Yesus, atau karena mereka menyembah Dewa Syiwa? Bukankah bagi mereka Dia adalah Tuhan seperti halnya kita mentuhankan Allah?
Seharusnya kita tidak mengatakan bahwa Yesus bukanlah tuhan dan Trinitas adalah paham yang sesat sebelum kita tahu siapa Yesus dan apa Trinitas. Seperti halnya kita tidak boleh mengatakan orang yang berjalan kearah barat adalah sesat sebelum kita tahu siapa orang itu dan apa tujuan mereka berjalan kearah barat. Karena suatu agama yang bisa dianut adalah agama yang sempurna, agama yang tanpa cela, Tuhan yang sempurna, Nabi yang sempurna, Kitab pedoman yang sempurna. Kesempurnaan agama dan ajaran agama itu sendiri bersih dari segala bentuk kesalahan dan kesalahan itu sendiri muncul tidak dari ajaran pihak luar. Kita tidak harus menjadi penganut agama Kristen untuk mengetahui letak kesalahan agama Kristen itu sendiri, kita cukup mendalami ajaran agama kristen dengan mengesampingkan ajaran Islam untuk sementara, (bukan berarti kita harus murtad). 
Disini kami akan mencoba mengemukakan sedikit kesalahan diantara kesalahan yang sangat banyak yang kami temui dalam agama yang mereka anut bukan dari kacamata Islam tapi dari ajaran itu sendiri. Dalam agama Kristen diakidahkan bahwa Tuhan adalah trinitas yang berarti Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus yaitu tiga kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, namun kitab Injil itu sendiri membantah hal tersebut yang isinya “Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka mengenal Engkau, Allah yang Esa, dan Yesus Kristus yang telah Engkau suruhkan itu”[7] diayat ini disebutkan bahwa Tuhan adalah Esa yang berarti satu atau Tunggal[8] dan ayat ini juga menyebutkan bahwa bahwa Yesus Kristus adalah pesuruh Allah (rasul) bukan tuhan. Diayat lain yang menyangkal trinitas adalah “Maka kepadamulah ia ditunjuk, supaya diketahui olehmu bahwa Tuhan itulah Allah, dan kecuali Tuhan yang Esa tiadalah yang lain lagi”[9] lalu lagi “Maka jawab Yesus kepadanya. Hukum yang utama ialah: Dengarlah olehmu hai Israel, adapun Allah tuhan kita, ialah Tuhan yang Esa”[10] salah satu kelemahan keyakinan Kristen diantaranya lagi adalah Yesus yang sebagai tuhan tapi tunduk kepada iblis dan bisa dibawa kepuncak gunung[11]. Dan seandainya orang kristen menganggap Yesus sebagai Tuhan karena Yesus anak Allah seharusnya juga orang Kristen tidak hanya bertuhankan Yesus, karena dalam kitabnya orang Kristen itu sendiri mengatakan bahwa Daud anak Allah yang sulung[12], Yacub (Israil) adalah anak Allah yang sulung[13], Afrain adalah anak Allah yang sulung[14]. Dalam kitab ini akan sangat membingungkan karena yang dianggap anak Allah tidak hanya Yesus melainkan masih ada yang lain, itupun semua dianggap sulung. Satu lagi kesalahan adalah “Maka jawab Yesus : Tiadalah aku disuruhkan kepada yang lain hanya kepada segala domba yang sesat diantara bani Israel”[15], Bila mengkaji ayat ini yang menerangkan bahwa Yesus hanya diutus untuk menyelamatkan Bani Israel, lalu kenapa mereka yang tidak bani Israel (baca: Indonesia) harus mengikuti Yesus? Jika toh akhirnya tidak akan diselamatkan.
Hal-hal diatas adalah satu diantara sangkalan tentang keyakinan ajaran kristen yang tidak muncul dari argumen ajaran Islam melainkan muncul dari keyakinan ajaran agama Kristen itu sendiri. Sekiranya dalam kitab yang dijadikan pedoman hidup sudah menyangkal ajaran itu sendiri, bukankah itu satu diantara kelemahan suatu ajaran yang seharusnya ajaran itu sempurna? Bila dalam ajaran suatu agama sudah tidak sempurna, maka kiranya sulit menuju kesempurnaan dalam hidup. Jika kita mempelajari ajaran agama lain lagi maka kita akan menemukan satu persatu kejanggalan tak termaafkan yang melemahkan ajaran itu sendiri, Contoh kasus lain adalah agama Budha. Agama ini berkitabkan Weda yang menjadi pedoman dalam hidupnya. Namun bila kita baca “Apabila orang Sudra kebetulan mendengarkan kitab Weda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecor cor-coran timah dan malam dalam kupingnya; apabila seorang Sudra membaca mantra-mantra Weda maka raja harus memotong lidahnya dan apabila ia berusaha membaca Weda, maka raja harus memotong badannya.”[16]. dari sini cukup jelas bahwa kitab weda hanya boleh dibaca oleh Kasta tertinggi saja, sedangkan kasta rendah maka dilarang membacanya bahkan ancamannya begitu keras, lantas bagaimana orang Budha bisa selamat dalam tujuan hidup bila kitab yang menjadi pedoman hidup itu sendiri tidak boleh untuk diketahui?. Dan itu adalah satu kesalahan besar tak termaafkan yang muncul dari ajaran Budha itu sendiri yang juga sekaligus memperlihatkan ketidak sempurnaan ajaran Budha.
Jika kita tidak mengemukakan ajaran Islam dan hanya kesalahan ajaran lain saja mungkin tidak adil, karena bagaimana dengan ajaran Islam itu sendiri? Adakah kesalahan dalam ajaran Islam bila dilihat dari sisi orang yang sama sekali belum mengenal agama? Maka jawabannya adalah “Tidak ada”. Islam begitu sempurna, dari akidah, kenabian atau kitabnya, karena bila kita mendapati satu permasalahan dalam Islam yang dijadikan satu kelemahan, Maka justru dibalik itu tersimpan suatu kebenaran yang mengungkapkan betapa dahsyatnya kesempurnaan dalam ajaran Islam. Mungkin diantaranya adalah sejarah tentang wahyu pertama. Ketika Rasulullah SAW berada digua Hira lalu didatangi malaikat Jibril sambil berkata “Bacalah” sampai tiga kali. Pertanyaannya mungkin waktu itu apa yang disodorkan kepada Rasulullah. Apakah wahyu itu ditulis diatas sehelai daun lalu Rasul disuruh membaca tulisannya? Ataukah diatas kertas? Atau ditulis dalam suatu apa? Jika daun, maka daun apa? Jika kertas, apakah disurga ada pabrik kertas? Pertanyaan seperti ini ternyata telah dijawab oleh Al-Qur’an itu sendiri. Bahwasanya wahyu turun kepada Rasulullah tidak ditulis diatas daun atau kertas atau benda lain, tapi wahyu Allah turun langsung menuju hati Rasulullah[17], sedangkan yang disuruhkan untuk dibaca, bukanlah tulisan tapi membaca keadaan sekelilingnya dimana waktu itu seluruh manusia masih dalam keadaan yang tersesat dengan mentuhankan berhala. Yang menjadi isyarat bahwa Rasul harus “Qum, Fa andzir!” Bangun dan berilah peringatan.[18]
Permasalahan diatas adalah satu diantara kesempurnaan suatu agama dan kelemahan agama yang lain yang seharusnya menjadi tonggak keyakinan bahwa agama Islam yang kita anut adalah agama yang sempurna. Dan membuat kita yakin dengan pilihan kita sendiri bahwa Islam bukan lagi menjadi satu agama yang dipeluk karena pendidikan dan orang tua yang Islam tetapi merupakan pilihan hati nurani kita sendiri. Karena apabila kita beragamakan Islam hanya karena pendidikan dan orang tua yang Islam, maka Islam kita adalah semu dan apabila kita bertuhankah Allah karena guru kita yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Allah maka kita bertuhankan hanya separuh hati. Keberagamaan yang semu dan ketuhanan kepada Allah yang hanya setengah hati ini yang membuat manusia tidak menginginkan syurga dan takut akan neraka. Keyakinan seperti ini yang membuat manusia tidak lagi mempercayai Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, tidak begitu mengenal kepada Rasulullah Muhammad SAW, dan tidak begitu peduli dengan ajaran Islam. Hal ini bisa dilihat dari mereka yang tidak antusias dengan ibadah, bahkan Sholat yang menjadi tiang agama dan tolok ukur semua amal hanya dijalankan dengan seenaknya sendiri, cenderung diakhirkan dan tanpa kekhusyukan. Lalu Rasulullah yang telah memperjuangkan kita tidak lagi kita mengenal apalagi mencintainya, bahkan beliau yang kita harapkan syafaatnya, sangat jarang kita membaca sholawatnya. Sedangkan Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup dimana didalamnya diterangan dengan jelas jalan menuju syurga dan menuju neraka, jarang sekali dibaca apalagi difahami. Dan ini yang membuat menusia tidak menginginkan syurga dengan tidak mengusahakan meningkatnya kualitas ibadah kepada Sang Khaliq serta tidak takut dengan pedihnya siksa neraka karena masih saja acuh tak acuh menumpuk dosa tanpa ada niat untuk bertaubat kepada-Nya. Lalu kepercayaan kepada Allah yang begitu tipis hingga kita lebih takut dimarahi orang lalu berbohong daripada kita takut kepada Allah akan siksaan bagi orang yang gemar berbohong.
Jalan satu-satunya untuk meningkatkan kualitas keagamaan kita adalah dengan mengenal lebih dalam tentang Islam, mengenal lebih dekat Tuhan, Allah memang “Ghofuruurrohim” tapi kita juga harus ingat bahwa Allah juga “Syadidul ‘Adzab”. Kita harus mengenal lebih jauh tentang Muhammad agar kita bisa mencintainya dan kita pantas mengharapkan Syafaatnya. Dan sekarang masa sebagai remaja adalah masa yang paling tepat untuk memulai hal itu. Bila kita yang masih remaja bisa memilih Islam karena pilihan kita, karena suara hati kita, karena kita mengenal Allah sebagai Rabb al-‘Izzati yang sangat dekat dengan kita dan selalu siap membantu bila kita memohon kepada-Nya, Karena kita mengenal sekali siapa Muhammad bin Abdillah putra Sayyidati Aminah yang dengan darah terkucur membela keselamatan kita tidak hanya didunia tetapi di hari yang kelak akan kita jalani dan lebih lama, yang sebagai pimpinan negara dan pimpinan Umat sedunia tetapi hanya tidur diatas pelepah korma, dan ikut merasakan lapar lalu mengganjal perutnya dengan batu. Memang dialah manusia sempurna. Tokoh terhebat sepanjang masa, tak tergiur oleh rayuan harta dan tak gentar oleh pedihnya siksaan yang menimpa, bahkan ketika ajal menjelang dia masih saja berkata “Umati… Umati…” inilah sosok yang harus kita cintai melebihi segalanya. Bila generasi muda ini bisa menanamkan hal dan keyakinan ini, Mengetahui bahwa keindahan syurga yang Allah tawarkan begitu indah, merasa selalu diintai oleh Allah hingga begitu takut melakukan kejahatan. Maka tak perlu ditanyakan lagi, bagaimana Indonesia dimasa yang akan datang. Sebuah“Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur” akan tercipta, Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo tidak lagi sebuah impian. Insya Allah. Amin. Wallahu ‘alam bisshowab.

Naskah Kuno

Aksara Sunda


Angka / Nomer


Aksara / Huruf Vokal
Aksara / Huruf Konsonan
Contoh Penulisan Aksara Sunda
aya hiji rupa sato leutik, éngkang-éngkang,
éngkang-éngkang, sok luluncatan di cai, ari bangun arék sarupa jeung lancah.

Prasasti Kawali Make Aksara Sunda



MALURUH NASKAH SUNDA KUNO ASTANA GEDE KAWALI 

Kawali tidak akan menjadi tempat penting dalam sejarah sunda jika di tempat ini tidak terdapat peninggalan sejarah yang sudah diakui keabsahannya. Baik sumber primer seperti prasasti dari abad 14 M yang terdapat di Astana Gede, maupun sumber sekunder lainnya berupa catatan atau naskah yang ditulis dengan cara ditoreh atau digores dalam daun lontar atau nipah dengan menggunakan peso pengot. Kegiatan menulis dengan menggunakan daun lontar dan pisau pengot rupanya sudah menjadi budaya pada waktu untuk melahirkan karya-karya sastra sunda buhun. Umumnya naskah yang ditulis di dalam lontar, bahasa maupun aksaranya, lebih muda usianya dari inskripsi (Kata-kata yang diukir pada batu, monument dsb.Red) yang tercatat pada batu tulis yang menggunakan hurup Pallawa dengan bahasa Sansekerta dan Sunda kuno.

Menurut para peneliti naskah Sunda seperti Prof.Dr. Edi S. Ekadjati, Drs. Undang A.Darsa dan Mamat Ruhimat S.S. sebetulnya keberadaan naskah sunda diperkirakan jumlahnya cukup banyak, lebih dari 2000 naskah yang tersebar menjadi koleksi lembaga penyimpanan naskah di dalam maupun di luar negeri. Sebagian lagi terdapat di perorangan. Sebagian besar naskah-naskah tersebut usianya lebih muda dan terbuat dari bahan seperti janur, daun enau, pandan, daluang maupun dari kertas Belanda. Dengan jenis aksara Arab, Carakan, Pegon, dan Latin. Sedangkan bahasanya menggunakan Bahasa Arab, Jawa Tengahan, Sunda Baru, Melayu dan Belanda.

Sedangkan jumlah naskah kuno yang ditulis diatas daun lontar kurang lebih berjumlah 100 naskah dan hampir 80 % belum tersentuh oleh peneliti (Filolog). Dan naskah-naskah sunda kuna yang ditulis dalam lontar tersebut merupakan naskah yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi karena factor bahasa dan aksaranya yang menggunakan bahasa Sunda kuno dan Jawa Kuno karena lebih dari 250 tahun kedua bahasa dan aksara tersebut tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat sunda.

Disamping itu pemilik perorangan naskah sunda kuno umumnya masih ketakutan untuk menyetorkan naskah tersebut ke pemerintah dikarenakan sebagai peninggalan leluhurnya harus dipusti-pusti sebaik-baiknya tanpa pernah membuka atau mempelajari isi teksnya. Padahal naskah-naskah tersebut sangat penting untuk diteliti dan disebarkan kepada masyarakat, sebagai bukti adanya tingkat peradaban sunda di masa silam yang tertuang dalam isinya, baik itu berupa hasil pemikiran maupun referensi sejarah yang tercatat.

Naskah-Naskan Kuno yang berhasil ditemukan di Kawali dan kini disimpan di Bagian Naskah Perpustakaan Nasional dengan menggunakan no kode kropak. Dan yang sudah di terjemahkan serta diberi judul diantaranya ialah Carita Parahyangan (kropak406), Sang Sewaka Darma (kropak 408), Sunan Gunung Jati (kropak 420), Naskah yang berisi teks campuran atau Gemenged (kropak 421), Naskah Jatiraga (kropak422) dan Darmajati (kropak 23). Sedangkan yang belum teridentifikasi adalah naskah kropak 407, Kropak 409, kropak 411, Kropak 412, Kropak 413, Kropak 414, dan Kropak 415.

Semua naskah kuno tersebut ditulis antara tahun 1099 M sampai tahun 1579 M yaitu maswa sebelum pra Islam. Dalam naskah Carita Parahyangan tertulis candrasangkala ekadasi suklapaksa wesakamasa 1591 ikang sakakala atau sekitar 6 Mei 1979 M yang merupakan masa setelah Pajajaran Sirna Ing Bumi. Sedangkan naskah Sewaka Darma tertulis candrasangkala nanu namas haba jaja atau sekitar tahun 1099 M. Khusus mengenai Naskah Sunan Gunung Jati ternyata isinya bukanlah menceritakan tentang pendiri kerajaan Islam di Cirebon yang bernama Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Kandungan teksnya sama sekali tidak mengemukakan tentang ajaran Islam sedikitpun melainkan membahas tentang pengaruh ajaran Hindu-Budha . Nama Gunung Jati ternyata merujuk pada nama lokasi tempat kedudukan Bungawari di alam kahyangan.

KABUYUTAN ASTANA GEDE PUSAT KEAGAMAAN DAN INTELEKTUAL

Naskah-naskah sunda kuno selama ini keberadaannya kurang terpublikasikan sehingga masyarakatpun banyak yang tidak tahu tentang gambaran lengkap kebudayaan sunda di masa lalu. Padahal kandungan naskah-naskah tersebut selain catatan nama-nama penguasa dan kejadian pada jamannya juga berisi ajaran dan petuah yang isinya masih kontekstual dengan jaman kiwari. Salah satu naskah tersebut adalah Naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian yang berisi ajaran bimbingan hidup agar mencapai kebahagiaan. Naskah ini mempunyai candrasangkala nora catur sagara wulan atau tahun 1518 M. Selain berisi ajaran kehidupan, naskah ini juga dapat disebut semacam ensiklopedia tentang pemerintahan, kebudayaan, kepercayaan, kesusastraan, pertanian, etika, militer, dan lain-lainnya.

Menurut Saleh Danasasmita Siksa Kandang Karesian ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Pajajaran atau dikenal Prabu Siliwangi (1482-1521 M) dan berfungsi juga sebagai pedoman dalam tatacara kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sri Baduga adalah cucu dari Prabu Niskala Wastu Kancana yang berkuasa di Galuh dan Sunda . Saat masih kecil Sri Baduga tinggal yaitu di Keraton Surawisesa yang terletak di Kawali. Sedangkan Kawali pada abad 14 dan 15 merupakan ibukota kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Wastu Kancana merupakan salah satu raja yang terkenal dengan ajaran karahayuannya sehingga berhasil meneruskan kebesaran nama ayahnya Prabu Linggabuana (Prabu Wangi) yang gugur di Bubat.

Ajaran atau filsafat kakeknya yang sarat dengan kebijakan dan kebajikan itu turut mempengaruhi jalan pikirannya dalam memimpin kerajaan Pajajaran dikemudian hari. Hal itu terbukti, Sri Baduga atau Sang Pamanah Rasa atau Jayadewata menjadi salah satu raja besar sunda yang sukses mengelola negaranya. Siksa Kandang Karesian boleh jadi berisi pemikiran-pemikiran Sri Baduga yang dirangkum oleh seseorang dalam sebuah buku. Sri Baduga kemudian lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi.

Ditemukannnya naskah-naskah sunda kuno dari Astana Gede karena tempat tersebut dulunya merupakan kabuyutan atau mandala sebagai pusat kegiatan keagamaan dan intelektual. Salah satu kegiatan intelektual tersebut adalah menyusun dan menulis sesuatu yang menghasilkan naskah lontar. Selain itu kabuyutan berfungsi juga menyimpan naskah-naskah yang berasal dari kabuyutan lain. Seperti dari Kabuyutan Panjalu, Kabuyutan Pakuan Pajajaran, Kabuyutan Ciburuy Bayongbong Garut, maupun Kabuyutan Cikuray dan kabuyutan Karangkamulyan.

Indikasi tersebut salah satunya dapat dilihat dari penulis naskahnya. Kai Raga adalah penulis naskah Carita Ratu Pakuan (Kropak 410) Darmajati (Kropak 423), Carita Purnawijaya (kropak 416), Kropak 411 dan kropak 419. tokoh ini menyusun naskah-naskah tersebut di pertapaan Suta Nangtung di Gunung Larang Srimanganti yang merupakan salah satu Puncak Gunung Cikuray. Namun ternyata salah satu naskahnya ( Darmajati) ditemukan di Kabuyutan Astana Gede Kawali.

Adanya naskah-naskah di Kabuyutan Kawali pertama kali diketahui umum setelah muncul buku berjudul Tafereelen en merkwaardigheden uit Oost-Indie karangan seorang Pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang bekerja di Al-gemene Secretrie (Sekretris Negara) bernama J.Olivier. Dalam bukunya, ia bersama rombongannya menyaksikan keberadaan naskah-naskah berbahasa kawi ketika mengunjungi Kawali dan wilayah priangan lainnya (Desember 1821 – 1827). Naskah beserta benda budaya lainnya dikatakan berasal dari peninggalan-raja-raja Pajajaran dan saat itu pemeliharaannya berada dibawah perlindungan Raden Tumenggung Adipati Adikusumah sebagai bupati Galuh yang memerintah pada tahun 1819 – 1839. Seluruh Anggota rombongan tidak ada yang mampu membaca naskah-naskah tersebut. tetapi ada salah seorang anggota rombongan yang bernama J.H. Domis menyalin 12 judul Naskah tersebut.

R.A.A. KUSUMADININGRAT PENYELAMAT NASKAH SUNDA KUNO

Salah satu penyebab banyaknya naskah-naskah sunda kuno yang tersimpan di kabuyutan Astana Gede Kawali dikarenakan pada saat Pakuan Pajajaran yang menjadi ibu kota kerajaan sunda mulai dihancurkan oleh pasukan Islam dari Cirebon dan Demak banyak pembesar kerajaan dan rakyatnya yang mengungsi ke Kawali dan keturunannya menjadi bagian dari penduduk Kawali. Hal ini berdasarkan keterangan Pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang bernama J.Olivier dalam bukunya yang berjudul berjudul Tafereelen en merkwaardigheden uit Oost-Indie (Kejadian-kejadian dan Hal-hal Menarik dari Hindia Timur). Ia sendiri masih menyaksikan keberadaan sejumlah prabotan dan barang lainya yang dibawa oleh pengungsi, termasuk diantaranya adalah naskah-naskah kuno.

Agaknya pejabat Belanda inilah yang memberitakan keberadaan naskah kuno tersebut kepada C.M. Pleyte. Akhirnya Pleyte berhasil mengkoleksi 13 naskah kuno dari Kabuyutan Astana Gede. Naskah-naskah tersebut diserahkan oleh Raden Aria Adipati Kusumadiningrat yang saat itu memerintah sebagai Bupati Galuh tahun 1839-1886. R.A.A. Kusumahdiningrat adalah seorang bupati yang memiliki haluan maju serta memiliki perhatian besar terhadap pembangunan termasuk bidang kebudayaan. Penyerahan naskah tersebut diperkirakan terjadi sesudah tanggal 10 Mei 1851 saat Kusumadiningrat berpangkat Adipati Aria. Sebelumnya tokoh ini berpangkat Raden Tumenggung bernama Kusumadinata IV. Ayahnya adalah Raden Tumenggung Adipati Adikusumah yang memerintah Galuh pada tahun 1819–1839 dan sempat bertemu dengan J.Olivier

Tahun 1800-an di Batavia telah berdiri Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Batavia Pencinta Kesenian dan Ilmu Pengetahuan) atau yang biasa disingkat BGKW. Koleksi Pleyte kemudian di serahkan kepada lembaga ini untuk diteliti. Ternyata selain R.A.A. Kusumadiningrat tokoh lainnya yang mengkoleksi dan kemudian menyerahkan naskah-naskah sunda kuno dari wilayah Priangan terutama dari Kawali ke BGKW adalah pelukis terkenal Raden Saleh. Hal tersebut diumumkan oleh K.F. Holle dalam artikelnya yang berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige Lontar-Handschriften Afkomstig uit de soenda-landen, door Radhen Saleh aan het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten geschenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawali. (Berita Singkat tentang beberapa Naskah Lontar yang Berasal dari Tatar Sunda, yang diberikan Raden Saleh sebagai hadiah kepada BGKW beserta salinan Prasasti Kawali).

Artikel tersebut diterbitkan oleh majalah TBG tahun 1867 di Batavia (Jakarta). Adapun 3 naskah lontar yang disebut dalam article K.F. Holle ternyata adalah Naskah Amanat Galunggung (Kropak 632), Sanghiang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630) dan Naskah Candrakirana (Kropak 631). Prasasti Kabantenan dan naskah lontar kropak 410 juga merupakan hasil pengumpulan Raden Saleh yang diserahkan kepada BGKW. Institusi ini memang sejak tahun 1845 melakukan kegiatan rutin untuk mencari dan mengkoleksi benda-benda budaya termasuk prasasti dan naskah.

Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, maka tanggal 26 Januari 1950 BGKW diubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Dan nama museum yang dimilikinya berubah menjadi Museum Pusat dan terakhir menjadi Musium Nasional. Sedangkan perpustakaan yang ada di bawahnya dipisahkan menjadi lembaga yang berdiri sendiri dan dinamai Perpustakaan Nasional. Di tempat itulah kini naskah-naskah sunda kuno yang berasal dari Kabuyutan Astana Gede tersimpan dengan keheningannya.

Sumber : HU. Kabar Priangan


Banyaknya Manuskrip Ulama Nusantara Yang Dijarah Penjajah


Sejak abad pertama Hijriyah, sahabat Nabi saw sudah melakukan penelitian terhadap naskah al-Qur'an sebelum dikodifikasikan. Para ulama hadits juga menetapkan sistem hak cipta buku, catatan kehadiran siswa, tata cara penulisan teks, metode periwayatan, sistem perbandingan antar teks dan banyak lagi. Ini mengharuskan para perawi dan pencatat hadits melakukan penelitian terhadap tulisan yang mereka temukan. Hingga kini, Studi Ilmu Hadits memiliki cabang rusum at tahdits yang menganalisa sistem filologi ilmu hadits sejak abad pertama Hijriyah dan periode berikutnya (Tesis Magister Dr M Luthfi Fathullah di University of Jordan tentang Filologi Hadits). Karenanya, salah besar, jika menganggap Islam tak memiliki tradisi ilmu filologi. Seolah-olah ilmu ini dikembangkan Barat, khususnya antropolog dan arkeolog Belanda seperti Scouck Hurgronje. Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah, khususnya naskah-naskah kuno. Islam memiliki tradisi ini, tapi tidak menyebut Ilmu Filologi. Hanya Islam yang melahirkan peradaban lengkap dengan ilmu pengetahuan yang melingkuinya.

Buktinya tradisi menulis di kalangan ulama sejak abad pertama Hijriyah hingga kini tetap terjalin. Ketika Islam masuk ke Nusantara, para ulama juga menuangkan pemikiran dengan menulis. Tulisan tangan asli para ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di kawasan ini. Untuk mengetahui peran manuskrip Islam di Nusantara dalam penyebaran Islam, Dwi Hardianto dan Arief Kamaluddin dari Sabili mewawancarai DR H Uka Tjandrasasmita. Arkeolog Islam senior yang dimiliki bangsa ini menerima di rumahnya, kawasan Semplak, Kota Bogor, Kamis (19/6). Berikut petikannya:

Apa saja karya ulama di Nusantara yang masuk kategori manuskrip?

Yang dimaksud manuskrip adalah tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan aksen Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.

Contoh manuskrip Islam yang berpengaruh di Nusantara?

Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.

Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.

Manuskrip Islam tertua di Nusantara?

Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.

Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka. Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.

Manuskrip berhuruf Pegon misalnya karya siapa?

Umumnya ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tatar Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam karyanya, Sunan Bonang menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliallah dan para ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-kawan) seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Manuskrip-manuskrip itu berada di mana?

Sebagian besar berada di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. Pada masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan, kemudian melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam klasik untuk kepentingan mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan dan menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah. Dengan dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara menjadi kehilangan sumber otentik perkembangan Islam. Inilah yang menyebabkan penjajahan berlangsung hingga ratusan tahun.

Perbandingan manuskrip Islam yang ada di Indonesia dan Belanda?

Manuskrip dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar 1.000 naskah. Yang lainnya, yang menggunakan huruf Arab atau bahasa Arab jumlahnya lebih sedikit. Sementara di Belanda, manuskrip Islam asal Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan huruf Pegon atau huruf Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka melakukan pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh daerah di Indonesia. Saya ke Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan Bonang, ar Raniri, Hikayat Aceh, Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan lainnya. Di Indonesia hanya ada kopiannya saja.

Manuskrip Islam yang ada di Belanda bisa diambil lagi tidak?

Mengembalikan secara fisik sekarang ini gampang-gampang susah, karena terkait bentuk fisik yang sudah berumur ratusan tahun sehingga banyak bagian yang rawan rusak jika disentuh. Memang sudah ada Konvensi Internasional tentang benda-benda cagar budaya termasuk manuskrip dari suatu negara harus dikembalikan pada negara yang bersangkutan. Caranya dengan melakukan perundingan bilateral antar negara yang bersangkutan.

Contoh manuskrip yang sudah dikembalikan secara fisik ke Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama. Kitab ini diambil Belanda pada saat perang Lombok. Contoh lain adalah Arca Pradnya Paramitha dari zaman Singasari yang paling bagus juga sudah dikembalikan. Pelana kuda Pangeran Diponegoro juga sudah dikembalikan ke tanah air oleh Belanda, termasuk satu peti cincin dan emas berlian dari Lombok juga sudah kembali. Jika pengembalian secara fisik riskan rusak, pemerintah bisa melakukan upaya dokumentasi dengan microfilm secara digital.

Bagaimana cara menyelamatkan manuskrip Islam yang ada di Indonesia agar tidak rusak?

Perpustakaan Nasional sudah melakukan dokumetasi sebagian dengan merekam dalam microfilm. Saat terjadi tsunami di Aceh, juga banyak naskah-naskah asli Aceh yang hilang. Karenanya, saat ini dilakukan upaya dokumentasi menggunakan microfilm digital terhadap naskah-naskah yang tersisa. Untungnya, di sebuah Pesantren di Kawasan Tanobe, NAD, masih tersimpan 2.000 lebih naskah klasik dari abad 13 sampai 19 karya ulama-ulama Aceh, dan Timur Tengah.

Untuk proses penyelamatan ini, seharusnya dilakukan oleh Pemda setempat. Jika tak sanggup bisa melakukan kerjasama dengan lembaga- universitas. Di Jawa Barat, sudah mulai dilakukan katalogus naskah-naskah klasik sejak zaman batu sampai abad 19 yang berbahasa Sunda atau bahasa lainnya yang ada di berbagai negara. Dikumpulkan, di katalogus, di buat microfilm-nya dan bisa dipelajari kembali saat ini. Malaysia juga sudah membuatnya, demikian juga dengan Sulawesi Selatan. Harus ada gerakan penyelamatan manuskrip kuno, termasuk manuskrip Islam secara nasional.

Apa sebenarnya fungsi manuskrip Islam ini?

Pertama, naskah-naskah ini mengandung informasi yang sangat lengkap tentang peradaban Islam dalam arti lengkap, sehingga bermanfaat untuk menjaga kesinambungan peradaban Islam. Kedua, berisi kajian keagamaan yang bersumber dari karya para sahabat di masa Rasul, sehingga bermanfaat untuk menjaga dan mengembangkan otentisitas ajaran Islam di masa mendatang. Ketiga, berisi tentang seluk beluk pemerintahan pada saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam. Keempat, berisi struktur sosial masyarakat dan model perekonomian yang berlaku saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pembangunan ekonomi yang tepat pada saat ini. Kelima, berisi adat kebiasaan, hukum dan teknologi yang berkembang saat itu. Keenam, bersisi tentang obat-obatan yang digunakan saat itu dan lainnya. Sehingga saat ini mulai dikembangkan lagi model pengobatan tradisional yang bersumber dari ajaran Islam atau tradisi pada masa Rasulullah.

Apa maksudnya para ulama saat itu menulis karyanya dengan huruf Jawi, bahasa Melayu atau bahasa daerah?

Ini sebagai bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan secara bertahap. Ada proses pentahapan yang sistematis sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Para ulama tidak langsung menggunakan bahasa dan tulisan Arab yang belum dikenal masyarakat. Hamzah Fansuri menulis, ”Aku menerjemahkan kitab-kitab dari Bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Jawi, karena masyarakat tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.”

Tapi, untuk pemakaman, sejak tahun 1297 H atau 96 H (abad 13) orang Islam, ulama atau pemimpin Islam saat itu sudah menggunakan bahasa dan tulisan Arab untuk menulis di batu nisannya. Tapi di manuskrip dan karya-karya tulis lainnya sampai Abad 16 masih menggunakan tulisan Jawi atau Pegon dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Tapi setelah memasuki Abad 17, mulai banyak karya ulama yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, di samping bahasa Melayu. Pada Abad ini juga mulai banyak karya-karya terjemahan dari Timur Tengah. Ini memang strategi penyebaran Islam pada saat itu, sehingga karya para ulama ini bisa dibaca oleh masyarakat umum dan Islam pun cepat menyebar di seluruh Nusantara.

Jadi, pada saat itu, ulama merupakan orang pilihan yang paling canggih?

Betul. Saat itu mereka menjadi sosok paling canggih, bisa melakukan pendekatan budaya, sosiologis dan atropologis untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Saya bisa katakan, pengislaman di kawasan ini sesuai dengan konsep surat al-Baqarah: 256. Saat itu, ulama juga melakukan pendekatan bertahap dan gradual. Sehingga, jika dinilai dengan ilmu pendidikan, apa yang diterapkan oleh para ulama dan para wali pada abad 13 -17 itu sangat luar biasa.

Coba lihat, surat al-Baqarah ayat 1–2, ayat ini tidak tiba-tiba memerintahkan umat Islam untuk shalat, puasa, zakat, tapi didahului dengan memberikan pemahaman terlebih dulu. Setelah mereka paham baru diberi perintah untuk menjalankan kewajiban. Inilah yang dilakukan oleh para ulama dan wali abad 13–17 dalam menyebarkan Islam di Nusantra. Al Qur’an itu sungguh sangat luar biasa, Allah SWT itu ”Maha Pendidik.”

Proses Islamisasi melalui penaskahan juga gradual, ya?

Sangat gradual, melalui proses pentahapan yang sangat cermat dan matang. Coba, perhatikan, sejak Abad 13 sampai 16, naskah-naskah Islam semuanya masih ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa daerah setempat dengan tulisan huruf Jawi atau Pegon. Proses ini berakhir ketika memasuki Abad 17. Berapa abad coba, proses tarbiyahnya (pendidikan) dan penanaman nilai-nilai Islam?

Jadi pada Abad 13 peradaban di Nusantara sudah Islam?

Oh ya jelas, pada saat itu sudah ada Kesultanan Samudra Pasai sebagai Kasultanan Islam pertama di Asia Tenggara. Memang, pada saat itu, belum seluruh penduduk Nusantara memeluk Islam, tapi proses penyebaran Islam sudah berjalan. Dan, jauh sebelum berdirinya Samudera Pasai sudah banyak penyebar-penyebar Islam datang ke Nusantara secara individu. Dari Samudera Pasai timbul Malaka, setelah itu Malaka berhubungan dengan Jawa dan seluruh pulau di Nusantara. Timbulah kerajaan Demak, Cirebon, Kesultanan Makassar, Ternate, Tidore dan seterusnya.

Secara politik, kapan Nusantara menjadi negeri Islam secara keseluruhan?

Menjadi Islam keseluruhan pada abad 17, karena pada saat itu semua pemimpin dan tokoh masyarakat di kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam. Dari catatan sejarah, pemimpin masyarakat yang paling akhir memeluk Islam adalah Gowa Tallo. Ini terjadi pada tahun 1605 bertepatan dengan abad 17. Pada saat itu, VOC memang sudah masuk ke sebagian wilayah Nusantara tapi belum bisa mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang ke Nusantara pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten.

catatan : DR H Uka Tjandrasasmita, Arkeolog Islam

Wasiat Wastu Kencana


Wastu Kencana dikenal sebagai raja yang adil dan minandita. Didalam Cerita Parahyangan Ia sangat dipuji-puji melebihi dari raja manapun, dan ia putra dari Prabu Wangi yang gugur didalam peristiwa bubat. Didalam Naskah Parahyangan di uraikan sebagai berikut : 

"Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang."

Ketika terjadi peristiwa Bubat yang menewaskan Prabu Linggabuana (1357 M) Wastu Kencana baru berusia 9 tahun dan untuk mengisi kekosongan pemerintah Pajajaran di isi oleh pamannya, yakni Sang Bunisora yang bergelar Prabu Batara Guru Pangdiparamarta Jayadewabrata atau sering juga disebut Batara Guru di Jampang atau Kuda Lalean.

Wastu Kencana dibawah asuhan pamannya tekun mendalami agama (Bunisora dikenal juga sebagai satmata, pemilik tingkat batin kelima dalam pendalaman agama). Iapun dididik ketatanegaraan. Kemudian naik tahta pada usia 23 tahun menggantikan Bunisora dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kencana atau Praburesi Buanatunggaldewata. Dalam naskah selanjutnya disebut juga Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.

Menurut sumber sejarah Jawa Barat, Wastu Kencana memerintah selama 103 tahun lebih 6 bulan dan 15 hari. Dalam Carita Parahyangan disebutkan: "Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah."

Ketika jaman kekuasaanya Wastu Kencana menyaksikan dan mengalami beberapa peristiwa: 
1. Menyaksikan Kerajaan Majapahit dilanda perang paregreg / perebutan tahta (1453 – 1456), selama peristiwa tersebut Majapahit tidak mempunyai raja, namun Wastu Kencana tak terpikat untuk membalas dendam peristiwa Bubat, karena ia lebih memilih pemerintahannya yang tentram dan damai. Ia pun rajin beribadat. 
2. Kedatangan Laksamana Cheng H0 dan Ulama Islam yang kemudian mendirikan Pesantren di Karawang.

Tanda keberadaan Wastu Kencana terdapat pada dua buah prasasti batu di Astana Gede. Prasati yang kedua dikenal dengan sebuat Wangsit (wasiat) Prabu Raja Wastu kepada para penerusnya tentang Tuntutan untuk membiasakan diri berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan membiasakan diri berbuat kesejahteraan yang sejati (pakena kereta bener) yang merupakan sumber kejayaan dan kesentausaan negara.

Prasasti Kawali
Tulisan ini saya copas dari Sejarah jawa Barat - Cuplikan Wasiat Wastu Kencana dari naskah Sanghyang siksakanda (Koropak 630), sbb:
"teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byakta warta manah, mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu."

"kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta..
sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta..
sang ameng pageuh di kaamenganna, kreta..
sang wasi pageuh dikawalkaanna, kreta..
sang wong tani pageuh di katanianna, kreta..
sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta..
sang gusti pageuh di kagustianna, kreta..
sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta..
sang masang pageuh di kamasanganna, kreta..
sang tarahan pageuh di katarahanna, kreta..
sang disi pageuh di kadisianna, kreta..
sang rama pageuh di karamaanna, kreta..
sang prebu pageuh di kaprebuanna, kreta.."

"ngun sang pandita kalawan sang dewarata pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sakasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh."
Terjemah Indonesia:
"Teguhan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuhi kenyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejahteralah dunia, maka akan sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan. demikianlah hendaknya. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wiku teguh dalam tugasnya sebagai wiku, akan sejakhtera. Bila manguyu teguh dalam tugasnya sebagai akhli gamelan, akan sejakhtera. Bila paliken teguh dalam tugasnya sebagai akhli seni rupa, akan sejahtera. Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wasi teguh dalam tugasnya sebagai santi, akan sejakhtera. Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biarawati, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera. Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera. Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera. Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan sejahtera. Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan sejaktera. Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan sejahtera. Bila tarahan teguh dalam tugasnya sebagai penambang penyebrangan, akan sejahtera. Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang peramal, akan sejahtera. Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh rakyat, akan sejakhtera. Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja, akan sejakhtera."

"Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia"

Wasiat ini mengandung pula konsep tentang bagaimana manusia harus focus dan professional dibidang keahliannya. Lebih maju dari praktek kenegaraan sekarang. Saat ini banyak bukan negarawan mengurusi masalah Negara. Para ahli agama banyak yang terjun jadi politikus, banyak politikus jadi pedagang, banyak kaum pedagang jadi penentu kebijakan Negara. Semuanya menyebabkan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesentosaan.

Konsep dan tipe kondisi yang diharapkan pernah dikemukakan BK dalam bentuk partai tunggal, yang mengharapkan bukan pada banyaknya partai yang ada tapi menghimpunan seluruh kepentingan profesi, seperti keompok tani, buruh, cendekiawan, agama dll. Banyaknya partai hanya menyiptakan satu golongan yang kuat, yakni politikus. Ia sangat tidak inheren dengan kelompok lainnya diluar politikus, seperti kaum tani dan buruh. Para politikus lebih berorienasti pada bagaimana mempertahankan kekuasaannya, adakalanya mengenyampingkan amanah mengapa ia harus ada. Namun memang bentuk partai tunggal dari kacamata demokrasi barat dianggap sangat bertentangan dengan kebebasan individu warga dan dianggap anti demokrasi. Ditambah waktu itu, BK tidak mau tunduk pada kuasanya asing.

Demokrasi yang “western oriented” mengandalkan pada dasar persamaan hak individu, namun bisa berjalan sukses jika ada kesetaraan dalam mentatai aturan, sebagai cara untuk membatasi terganggunya hak seseorang dari orang yang lainnya. Disamping itu perlu ada penghormatan terhadap hak-hak lain. Disini tidak perlu ada dominasi dari satu individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Masalahnya, kebebasan individu memberikan legitimasi terjadinya "free ficht competition", mensyahkan jika yang kuat akan semakin kuat dan lemah menjadi tertindas. Karena negara tidak boleh turut campur, termasuk memberikan proteksi, sekalipun kepada yang lemah.

Wujud dari cita-cita demikian pernah ada pada konsep lanjutan sebagaimana pada cita-cita awal dan dasar didirikannya Golongan Karya, yang menginginkan seluruh warga bangsa dapat menghimpun kekuatan didalam wujud profesinya. Namun godaan untuk bermain politik praktis dan kekuasaan, serta adanya pengaruh asing yang sangat eksis dalam menentukan kebijakan politik dan ekonomi ternyata menjadi penghancur yang sangat dahsyat didalam perkumbuhan social bangsa, bahkan menjadikan Indonesia mandiri didalam ekonomi, tidak berdaulat didalam berpolitik dan tidak memiliki kepribadian didalam budaya.

Mungkin kita perlu renungkan kembali tentang nilai-nilai luhur, melalui Wasiat dari Galunggung, leluhur raja-raja Galuh :



Hana nguni hana mangke..
Tan hana nguni tan hana mangke..
Aya ma baheula hanteu teu ayeuna..
Henteu ma baheula henteu teu ayeuna..
Hana tunggak hana watang..
Hana ma tunggulna aya tu catangna..


"ada dahulu ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini. Bila tidak ada masa silam maka tiada masa kini. Ada tonggak tentu ada batang. Bila tak ada tonggak tentu tidak ada batang. Bila ada tunggulnya tentu ada dahan atau batangnya."

Saya pikir pesan itu sangat jelas, bahwa masa kini merupakan akumulasi dari masa lalu, tidak akan ada masa kini kalau tidak ada masa lalu. Dengan demikian jika dikatikan dengan masalah perkumbuhan bangsa dapat ditarik benang merahnya, bahwa sejarah suatu bangsa tidak akan selalu sama dengan bangsa lainnya. Dan dari kesejarahannya masing-masing dapat ditarik dan dijadikan cermin tentang nilai-nilai mana yang cocok dan sangat tepat.
Marilah kita bertindak profesional dan menyerahkan suatu persoalan kepada ahlinya masing-masing. Masalah agama bertanyalah kepada ahli agama, masalah perniagaan bertanyalah kepada ahli niaga, masalah kenegaraan bertanyaan kepada negarawan. Jangan ahli agama turut campur memaksakan kehendaknya untuk mengurus Negara, tukang dagang ikut-ikutan ngurusin Negara, karena semua itu bukan bidangnya.
Demikian seharusnya ahli agama dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia.

Naskah Sunda Kuno - Sulanjana
kaping: 11/27/2012 07:24:00 PM
Ringkasan isi:
Di Suralaya para dewa bermusyarawah untuk mendirikan bakal Panca Warna. Dewi Anta ditugas membuat batu penyangga tiang. Tetapi Dewi Anta tidak dapat melaksanakan tugasnya, karena badannya berbentuk ular. Dewi Anta menangis sedih dan meneteskan air mata tiga butir. Air mata itu kemudian berubah menjadi tiga butir telur yang dibawanya dengan cara digenggam oleh mulut.

Karena kesalahpahaman seekor burung elang, telur itu jatuh dua butir yang kemudian menetas menjadi Kalabuat dan Budug Basu. Sapi Gumarang, raja segala binatang jelmaan Kencing Idajil (setan) memelihara Kalbuat dan Budug Basu sebagai anak angkat. Atas perintah Batara Guru telur yang tinggal satu butir dierami Dewi Anta. Telur menetas, lahirlah seorang putri cantik yang diberi nama Dewi Puhaci Terus Dangdayang atau juga Dewi Aruman. Batara Guru mencintai Dewi Puhaci dan berniat memperistri. Akan tetapi ditentang oleh Batara Narada karena hal itu akan merusak citra Batara Guru sendiri. Disamping itu Batara Guru dianggap melanggar hukum dan merusak agama sebab Dewi Puhaci diasuh dan disusui oleh Dewi Umah, istri Batara Guru. Oleh karena itu Dewi Puhaci masih tergolong anak Batara Guru, maka perkawinannya tidak boleh terjadi.

Agar perkawinan Batar Guru dengan Dewi Puhaci tidak terjadi, Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Puhaci buah Koldi sehingga berhenti menyusui. Tetapi karena ketagihan dan buah koldi itu tidak ada lagi, maka Dewi Puhaci jatuh sakit hingga meninggal dunia. Mayat Dewi Puhaci diurus oleh bagawat Sang Sri dan kuburannya dijaga siang malam sambil menyalakan dupa. Kemudian keluarlah dari dalam tanah kuburan itu berjenis-jenis bibit tanaman. Dari kuburan bagian kepala keluar kelapa, dari telinga keluar macam-macam pohon bamboo, dari ari-ari keluar macam-macam tumbuhan menjalar, dari payudara keluar macam-macam buah-buahan. Pendek kata semua jenis pepohonan berasal dari tubuh Dewi Puhaci.

Semar ditugasi Batara Guru untuk membawa bibit tanaman itu ke negeri Pakuan yang dirajai Prabu Siliwangi. Istri Prabu Siliwangi bernama Nawang Wulan adalah putra Batara Guru. Maka dengan adanya bibit tanaman itu, negeri Pakuan menjadi subur makmur. Akan tetapi Prabu Siliwangi dilarang mengetahui bagaimana Dewi Nawang Wulan menanak nasi. Jika Sang Prabu Siliwangi melanggar larangan, maka akan jatuh telak kepada Nawang Wulan.

Tersebutlah Budug Basu yang diasuh oleh Sapi Gumarang di Tegal Kapapan sedang mencari Dewi Puhaci. Tiba di kuburan Dewi Puhaci, Budug Basu mengelilingi kuburan sebanyak tujuh kali. Setelah itu Budug Basu meninggal dunia. Mayat Budug Basu oleh Kalamullah dan Kalamuntir dibawa keliling dunia sebanyak tujuh kali. Di tengah jalan mayat Budug Basu pun menjelma menjadi seekor badak. Kalamullah dan Kalamuntir menjaga binatang-binatang tersebut menjadi dua bagian yaitu bagian darat dan laut.
Selanjutnya dikisahkan Sulanjana putra laki-laki yang diasuh Dewi Pratiwi, dititipi negeri Suralaya sebab Batara Guru dan Narada akan turun ke bumi memeriksa negeri Pakuan. Kedua Batara itu menjelma menjadi burung Pipit.

Tersebutlah Dempu Awang dari negeri seberang akan membeli padi dari Pakuan. Karena padi-padi tersebut hanya titipan Batara Guru, oleh putra Siliwangi permohonan Dempu Awang itu ditolak. Dempu Awang sakit hati, maka dimintanya bantuan dari Sapi Gumarang untuk merusak tanaman padi. Sapi Gumarang dibantu oleh binatang-binatang jelmaan Budug Basu, merusak tanaman padi. Sementara Sulanjana dan kedua orang adik perempuannya yang bernama Talimendang dan Talimendir, diperintah Batara Guru untuk menjaga dan menyembuhkan padi. Terjadilah peperangan antara penjaga dan perusak. Akan tetapi Sapi Gumarang kalah dan berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana asal pada setiap mulai menanam padi 'disambat' (atau dipanggil secara batin) serta disediakan daun paku pada 'pupuhunan' (tempat sesaji di ladang atau di sawah).

Prabu Siliwangi penasaran ingin melihat cara Dewi Nawang Wulan menanak nasi. Dibukanya padi yang sedang dimasak, maka Dewi Nawang Wulan kembali ke Kahiyangan. Namun sebelum pergi sempat berpesan dulu agar membuat lesung, dulang, kipas (bahasa sunda:hihid), bakul dan periuk untuk menanak nasi. Prabu Siliwangi menyesal dan menghadap Batara Guru minta pengampunan agar Dewi Nawang Wulan kembali ke Pakuan. Permohonan Sang Prabu ditolak, kemudian ia sendiri pergi ke Pakuan setelah menerima pelajaran bagaimana cara menanak nasi dan bercocok tanam padi yang baik. Dewi Anta oleh Batara Guru diturunkan ke bumi untuk menjaga padi.


Kondisi Naskah:
Kecamatan : Sukawening
Nama Pemegang naskah : Adang
Tempat naskah : Kp. Cieunteung Desa Mekarluyu
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 17 x 22 cm
Ruang tulisan : 14 x 18 cm
Keadaan naskah : tidak utuh
Tebal naskah : 49 Halaman
Jumlah baris per halaman : 14 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 11 baris dan -
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : besar
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tumpul
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kecoklat-coklatan
Keadaan kertas : agak tipis halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi



Naskah Sunda Kuno - Babad Limbangan

Ringkasan isi:
Pada zaman dahulu kala Prabu Layaran Wangi (Prabu Siliwangi) dari kerajaan Pakuan Raharja mempunyai seorang pembantu bernama Aki Panyumpit. Setiap hari Aki Panyumpit diberi tugas berburu binatang dengan menggunakan alat sumpit (panah) dan busur.

Pada suatu hari Aki Panyumpit pergi berburu ke arah Timur. Sampai tengah hari ia belum memperoleh hasil buruannya, padahal telah banyak bukit dan gunung didaki. Sesampainya di puncak gunung, ia mencium wewangian dan melihat sesuatu yang bersinar di sebelah Utara pinggir sungai Cipancar. Ternyata harum wewangian dan sinar itu keluar dari badan seorang putri yang sedang mandi serta mengaku putra Sunan Rumenggong, yaitu Putri Rambut Kasih penguasa daerah Limbangan.

Peristiwa pertemuan dengan Nyi Putri dari Limbangan dikisahkan oleh Aki Panyumpit kepada Prabu Layaran Wangi. Berdasarkan peristiwa itu Prabu Layaran Wangi menamai gunung itu Gunung Haruman (haruman = wangi). Prabu Layaran Wangi bermaksud memperistri putri dari Limbangan. Ia mengirimkan Gajah Manggala dan Arya Gajah (keduanya pembesar Pakuan Raharja).

Aki Panyumpit serta sejumlah pengiring bersenjata lengkap untuk meminang putri tersebut dengan pesan lamaran itu harus berhasil dan jangan kembali sebelum berhasil. Kendatipun pada awalnya Nyi Putri menolak lamaran tetapi setelah berhasil dinasehati Sunan Rumenggong, ayahnya, akhirnya menerima dijadikan istri oleh Prabu Layaran Wangi.

Selang 10 tahun antaranya, Nyi Putri (Rambut Kasih) mempunyai dua orang putra dari Raja Pakuan Raharja, yaitu Basudewa dan Liman Senjaya. Kedua anak itu dibawa ke Limbangan oleh Sunan Rumenggong (kakeknya) dan kemudian dijadikan kepala daerah di sana. Basudewa menjadi penguasa Limbangan dengan gelar Prabu Basudewa dan Liman Senjaya penguasa daerah Dayeuh Luhur di sebelah Selatan dengan gelar Prabu Liman Senjaya.

Di kemudian hari Prabu Liman Senjaya setelah beristri membuka tanah, membuat babakan pidayeuheun (kota) dan lama kelamaan dibangun sebuah Negara dengan nama Dayeuh Manggung. Negara baru ini bisa berkembang sehingga dikenal baik oleh tetangga-tetangganya, seperti Sangiang Mayok, Timbanganten, Mandalaputang. Dayeuh Manggung terkenal karena keahlian dalam membuat tenunan. Rajanya yang lain yang termashur adalah Sunan Ranggalawe.


Kondisi Naskah:
Kecamatan : Garut Kota
Nama pemegang naskah : R. Sulaeman Anggapradja
Tempat naskah : Jln Ciledug 225 Kel. Kota Kulon. Kec Garut Kota
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 20.5 x 32 cm
Ruang tulisan : 17 x 17 cm
Keadaan naskah : baik
Tebal naskah : 16 Halaman
Jumlah baris per halaman : 39 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 39 dan 23 baris
Huruf : Latin
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : agak tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas bergaris ukuran folio
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : putih
Keadaan kertas : agak tebal, halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest





Naskah Sunda Kuno - Suryakanta

Ringkasan isi:
Adalah sebuah kerajaan Tanjung Karoban Bagendir yang jauhnya dari kerajaan Banurungsit tujuh bulan perjalanan. Raja Tanjung Karoban Bagendir bernama Dengali dengan patihnya Dungala yang kedua-duanya siluman. Raja Dengali mempunyai istri dua orang, Kala Andayang dan Kala Jahar. Pada suatu hari Raja Dengali didatangi oleh Emban Turga, Emban melaporkan bahwa kerajaan Nusantara baru saja dikalahkan oleh Raden Suryaningrat dari kerajaan Erum. Emban Turka terpikat oleh ketampanan dan kegagahan Raden Suryaningrat. Tatkala ia menyatakan cintanya, serta merta ditolak oleh Raden Suryaningrat, bahkan Emban Turga diusir. Emban Turga mohon bantuan Raja Dengali agar memperoleh Raden Suryanigrat untuk dijadikan suami. Raja Dengali menjanjikan akan membantu menangkap Raden Suryaningrat. Ia menyuruh seorang raksasa untuk mencuri putra mahkotanya bernama Suryakanta. Raden Suryakanta dapat diculik ketika sedang bermain ditaman. Maka hebohlah kerajaan Erum dan Nusantara karena kehilangan putra mahkota. Istri raja yang bernama Ningrumkusumah diusir karena dianggap dialah yang menjadi sebab hilangnya Raden Suryakanta. Ningrumkusumah pergi tanpa tujuan. Dalam perjalanannya ia sampai ke tempat pertapaan Pandita Syeh Rukman,yang memberitahu bahwa ia telah difitnah oleh seseorang yang bernama Jamawati.
Untuk membalas dendam kepada yang memfitnah dan mendapatkan kembali Raden Suryakanta yang diculik atas perintah Raja Dengali, Ningrumkusumah harus berganti nama menjadi Jaya Komara Diningrat atau Jaya Lalana Di Ningrat. menyamar seolah-olah menjadi laki-laki.

Ningrumkusumah alias Jaya Komara dapat membunuh Raja Dengali dan Emban Turga. Tetapi untuk menemukan kembali Raden Suryakanta ia harus mengalami bermacam-macam kesengsaraan dan peperangan. Dalam peperangan yang terjadi, Ningrukusumah selalu menang. Di setiap negara yang dikalahkannya, raja dan pemeluknya diharuskan memeluk agama Islam, diantaranya kerajaan Yunan, Turki, Raja Bahrain, Raja Gosman. Prabu Suryaningrat sepeninggalan Ningrumkusumah jatuh sakit. Ia selalu teringat kepada istrinya dan menyesali kepergiannya. Ditambah lagi putra kesayangannya Suryakanta belum ditemukan juga. Ia tidak menyangka bahwa Ningrumkusumah telah difitnah oleh Jamawati, istrinya yang lain.

Lama-kelamaan Raja Suryaningrat mengetahui dari seorang mentri bahwa Jamawati lah yang telah memfitnah Ningrumkusumah. Raden Suryaningrat sangat marah kepada Jamawati dan terbukalah bahwa yang telah mencuri Suryakanta adalah Raja Dengali atas permintaan Emban Turga.

Raden Suryaningrat menantang perang kepada Raja Dengali dari Kerajaan Tanjung Karoban Bagendir. Berkat kegagahan Ningrumkusumah dan Ratna Wulan (keduanya istri Raden Suryaningrat), Dengali dikalahkan dan Suryakanta kembali.


Kondisi Naskah:
Kecamatan : Balubur Limbangan
Nama pemegang naskah : Duki bin Saleh
Tempat naskah : Desa Cigagade
Asal naskah : pemberian
Ukuran naskah : 17 x 22 cm
Ruang tulisan : 14 x 19 cm
Keadaan naskah : relatif baik
Tebal naskah : 241 Halaman
Jumlah baris per halaman : 12 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 11 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tumpul
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kecoklatan
Keadaan kertas : tebal
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi




Naskah Sunda Kuno - Walangsungsang

Ringkasan isi:
Prabu Siliwangi, raja Padjadjaran mempunyai dua orang putra, yang sulung laki-laki bernama Walangsungsang, dan adiknya perempuan bernama Rara Santang. Disamping kedua putranya itu, Baginda mempunyai putra yang lainnya pula sebanyak sembilan orang. Tetapi mereka meloloskan diri dari keratin. Kesembilan putranya itu terdiri atas lima orang laki-laki dan empat orang perempuan. Mereka bertapa di Gunung yang saling berjauhan. Seorang putranya laki-laki bertapa di Jakarta, yang lain di Tanjung Kuning bernama Santang Partala, sedang yang lainnya lagi bernama Garantang Setra, Ishu Gumare di Lebak dan Sang Sekarsari. Adapun putra-putranya yang perempuan adalah Nyi Tanjung Buana betapa di Pesisir Barat, Nyi Gending Juri atau Nyi Panjang Nagara di pesisir Selatan, Nyi Ratu di Kawali, dan Nyi Sekar Bang di Karang Pangantik.

Pada suatu malam Walangsungsang bermimpi. Dalam mimpi ia bertemu dengan Rosul yang menganjurkan agar pergi menuju Gunung Amparan dan menemui Syeh Jati, seorang guru dari Mekah. Keesokan harinya Walangsungsang memberikan impiannya itu kepada ayahnya. Prabu Siliwangi setelah mendengar pembicaraan Walangsungsang sangat murka. Lalu Walangsungsang berjalan menuju Karawang menemui Syeh Orah, yaitu seorang guru keturunan Qurais yang menganggap guru kepada Syeh Gunung Jati.

Atas petunjuk Syeh Ora, Walangsungsang pergi menuju Gunung Amparan untuk berguru kepada Syeh Nurjati. Tetapi di tengah perjalanan ia singgah dulu di padepokan agama Budha. Ia belajar agama Budha dari Pandita Danuwarsi sampai paham betul tentang seluk-beluk agama itu.

Dikisahkan Rara Santang akhirnya melaksanakan pula pesan kakaknya. Ia meninggalkan keraton menyusul Walangsungsang. Di Gunung Tangkuban Perahu ia bertemu dengan Nyai Indang Sakiti, yakni adik Prabu Siliwangi. Dari Nyai Indang, Rara Santang memperoleh hadiah azimat baju antakusumah. Khasiat baju tersebut, barangsiapa yang memakai baju tersebut maka ia dapat terbang. Kemudian Rara Santang berganti nama menjai Nyi Batin. Ia meninggalkan Gunung Tangguban Perahu dan pergi ke Gunung Cilawung, atas anjuran Nyi Indang Sakiti. Di Gunung Cilawung Nyi Batin bertemu dengan Sang Banjaran Angganati, seorang pendeta. Sebuah nama diberikan oleh pendeta itu kepada Nyi Batin, ialah nama Nyi Eling.

Pertemuan kakak beradik, Walangsungsang dan Rara Santang terjadi di tempat kediaman pendeta Danu Wargi. Pendeta itu mempunyai seorang anak perempuan bernama Nyi Endang Geulis yang kemudian dikawin oleh Walangsungsang. Walangsungsang diberi sebentuk cincin ampil ali-ali dan nama baru yakni Samadulahi. Walangsungsang terus mencari guru agama Islam. Sampai ada petunjuk terus melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati. Petunjuk itu datang dari raja Bango yang berhasil ditaklukan Walangsungsang ketika ia akan mendapatkan azimat berupa pandil baja. Di Gunung Jati ada Syeh Nurjati, nama lainnya Syeh Nurbayan, cucu Nabi Muhammad. Putra raja Padjadjaran itu menyatakan tunduk kepada Syeh Nurjati dan ia berguru agama Islam. Syeh Nurjati memberi nama kepada Walangsungsang, Cakrabumi.

Pada suatu waktu Syeh Nurjati menengok Walangsungsang di Sembung Luwung. Saat itulah Syeh Nurjati menyuruh Walangsungsang dan Rara Santang untuk pergi ke Baitulloh. Kemudian kedua kakak beradik itu pergi ke Mekah dengan membawa sepucuk surat dari Syeh Nurjati yang dialamatkan kepada Syeh Bayan. Kepada Syeh Bayan inilah Walangsungsang berguru agama Islam.

Dikisahkan Rara Santang diperistri oleh raja Mesir dan mempunyai dua orang anak, ialah Syarif Hidayat dan Syarif Arifin. Adapun Walangsungsang setelah diberi Sorban oleh raja Mesir dan perbekalan di Arab kembali lagi ke Pulau Jawa dengan Nama Abdul Keman. Dalam perjalanannya ia singgah dulu di Aceh. Di sana ia mengobati Sultan Kut dan kawin dengan anak sultan itu.

Diceritakan oleh yang empunya cerita bahwa Syarif Hidayat mencari Nabi Muhammad. Atas pertolongan Abdul Safari dengan memberikan dua buah barang yang berasal dari Malaikat Jibril. Syarif Hidayat dapat mengadakan perjalanan Mi?raj. Ia bertemu dengan Nabi Muhammad dan mengadakan percakapan tentang rahasia hidup dan mati. Atas perintah Nabi Muhammad. Syarif Hidayat akhirnya pergi ke Gunung Jati di Pulau Jawa dan berjumpa lagi dengan ibunya, Rara Santang yang sudah pulang dari Mesir, di Cirebon. Sebelum ia bermukim di Gunung Jati dengan nama Sunan Jati Purba, ia pernah berkelana di Jawa, Madura, Palembang dan Cina.


Kondisi Naskah:
Kecamatan : Wanaraja
Nama Pemegang naskah : Imas Darwati
Tempat naskah : Desa Tegalsari
Asal naskah : pemberian dari Ny. Titi, Cinunuk Garut
Ukuran naskah : 17 x 21.5 cm
Ruang tulisan : 11 x 15 cm
Keadaan naskah : baik
Tebal naskah : 266 Halaman
Jumlah baris per halaman : 13 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 14 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kekuning-kuningan
Keadaan kertas : tebal, halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi


Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?

Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.


Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara

Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan perkampungan Arab Islam tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka para pedagang Arab Islam ini bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu.

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.

Pangeran Cakrabuana, Raden Syarif Hidayatullah, Prabu Kian Santang : Tiga Tokoh Penyebar Ajaran Agama Islam di Tanah Pasundan



Berbicara tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber Sejarah

Sebenarnya banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Pangeran Cakrabuana

Berdasarkan sumber sejarah lokal (seperti Babad Cirebon) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.

Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Prabu Kian Santang
Sebagaimana halnya dengan Prabu Siliwangi, Kian Santang (Ki Hyang Sancang) merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.

Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Raden Syarif Hidayatullah
Seperti telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Penutup

Demikianlah sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hidayatullah.

Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).

Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Daftar Pustaka
Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
Edi S. Ekajati. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.
Ringkasan isi:
Naskah ini berisi cerita tentang kisah seorang tokoh yang bernama Keyan Santang (Ki Hyang Sancang) putra Raja Padjajaran Sewu. Prabu Siliwangi, yang gagah perkasa kemudian masuk Islam. Ia menyebarkan agama baru yang dianutnya itu di Pulau Jawa dan menetap di Godog, Suci Kecamatan Karangpawitan Garut sampai akhir hayatnya. Nama-nama lain yang disandang tokoh itu adalah Gagak Lumayung, Garantang Sentra. Pangeran Gagak Lumiring. Sunan Rahmat, dan Sunan Bidayah.

Pada suatu hari Keyan Santang berdatang sembah kepada ayahandanya. Ia ingin menyampaikan sesuatu yakni hasrat hatinya untuk dapat melihat darah sendiri. Kemudian baginda memanggil para ahli nujum untuk menanyakan siapa gerangan orang yang sanggup memenuhi keinginan Keyan Santang seperti yang diucapkannya tadi. Para ahli nujum tidak seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan raja. Tetapi kemudian seorang kakek yang sudah tua renta datang menghadap baginda raja dan berkata. "Daulat tuanku, hamba hendak mengabarkan kepada tuanku bahwa sebenarnya ada orang yang dapat memperlihatkan darah raja putra itu. Ialah Baginda Ali di Mekah."

Prabu Siliwangi bertanya, "Siapa kiranya yang akan unggul bila anakku bertarung dengan dia?" Selesai pertanyaan itu diucapkan, maka tanpa memperlihatkan jawaban kakek itu pun lenyap dari pandangan. Menurut yang empunya cerita, kakek itu tak lain adalah Malaikat Jibril.

Nama Baginda Ali terkesan pada hati Keyan Santang. Sekarang ia ingin mencari orang yang memiliki nama itu ke Mekah. Setelah meminta izin dari Prabu Siliwangi dan menyetujuinya untuk berangkat, maka Keyan Santang terbang. Namun ia belum tahu jalan ke Mekah. Baru saja ia tinggal landas, di atasnya terdengar suara tanpa wujud sumbernya, "Engkau bernama Geranta Sentra!"

Setelah itu tampak olehnya seorang putri yang sangat cantik turun dari langit. Terjadilah percakapan antara Keyan Santang dengan putri itu. Kemudian putri itu minta kepada Keyan Santang agar diambilkan bintang-bintang dari langit. Setelah selesai mengucapkan permintaannya itu, maka hilanglah putri itu. Ingin memenuhi permintaan sang putri, Keyan Santang bertambah tinggi terbangnya, ia bermaksud akan memetik bintang. Tetapi malah bintang itu berterbangan jauh ke langit. Keyan Santang tidak putus asa, ia terus mengejar bintang itu hingga akhirnya ia sampai di atas Mekah. Karena Keyan santang demikian bernafsunya ia ingin dapat menangkap salah satu bintang, maka langit di atas Mekah pun menjadi hingar bingar. Suara gaduh itu membuat baginda Ali ingin melihat keadaan langit.

Tak lama kemudian bertemulah Baginda Ali dengan Keyan Santang. Terjadilah percakapan antara mereka. Kata Baginda Ali, "Kau dapat mengambil bintang, asal kau tahu dahulu mantranya." Keyan Santang menanyakan bagaimana bunyi mantra itu. Kemudian Baginda Ali mengucapkan mantra yang berbunyi. "Allohusoli ala nu dimakbul Sayidina Muhammad". Setelah Keyan Santang mengucapkan mantra itu, ia dapat menangkap bintang dari langit. Ternyata bintang itu berupa untaian tasbih.

Diketahui akhirnya oleh putra raja Padjadjaran itu bahwa yang mengajarkan mantra itu adalah baginda Ali yang tengah dicarinya. Timbul keinginan Keyan Santang untuk mengajak bertarung dengan Baginda Ali. Tetapi Baginda Ali sudah tidak ada. Keyan Santang hanya bertemu dengan seorang tua bangka yang sedang membawa tungked (tongkat) dan tiang mesjid. Terjadilah percakapan antara Keyan Santang dengan orang tua itu. Keyan Santang mencoba untuk mencabut tongkat yang ditancapkan oleh orang tua tadi dengan sekuat tenaga hingga tidak disadari darah bercucuran keluar melalui pori-pori kulitnya dan tetap saja tongkat itu tidak berhasil dicabut, Setelah diketahui bahwa orang tua itu tidak lain adalah Baginda Ali, maka Keyan Santang pun menyatakan takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam. Keyan Santang berganti nama menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah.

Keyan Santang pun memeiliki tugas untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Prabu Siliwangi menolak bahkan tidak mau memeluk agama Islam. Kemudian dengan jalan menembus bumi raja Padjadjaran itu pergi dari Padjadjaran Sewu. Sementara itu para bangsawan Padjadjaran bersalin rupa menjadi bermacam-macam jenis harimau. Sedangkan keraton serta merta berubah menjadi hutan belantara. Konon harimau-harimau itu menuju hutan Sancang mengikuti Prabu Siliwangi.

Sementara itu Sunan Rahkmat meng-Islamkan rakyat yang ada di Batulayang, Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Godog, Curug Sempur, dan Padusunan. Sewaktu itu Sunan Rahmat kawin dengan Nyi Puger Wangi yang berasal dari Puger. Dari Puger Wangi Sunan Rahmat mempunyai anak kembar, kedua-duanya laki-laki, kakaknya bernama Ali Muhammad dan adiknya Pangeran Ali Akbar. Sayang sekali tak lama kemudian setelah melahirkan Nyi Puger Wangi meninggal dunia.

Dalam kesedihan karena ditinggal istri, Sunan Rahmat terus menyiarkan agama Islam di Karang Serang, Cilageni, Dayeuh Handap, Dayeuh Manggung, Cimalati, Cisieur, Cikupa, Cikaso, Pagaden, Haur Panggung, Cilolohan, warung Manuk, Kadeunghalang, dan Cihaurbeuti. Pada suatu saat pernah pula Sunan Rahmat berangkat lagi ke Mekah.

Waktu akan pulang lagi ke Jawa, Sunan Rahmat dibekali tanah Mekah yang dimasukan ke dalam peti. Di dalam peti itu diletakkan pula sebuah buli-buli berisi air zam-zam. Selain itu Sunan Rahmat diberi hadiah kuda Sembrani oleh ratu Jin dan Jabalkop.

Alkisah disebutkan bila peti itu gesah (bergoyang) di suatu tempat di Pulau Jawa, maka itulah tandanya Sunan Rahmat mesti berhenti. Di sanalah ia mesti bermukim. Adapun menurut yang empunya cerita, tempat bergoyangnya peti itu di Godog. Itulah sebabnya Sunan Rahmat yang nama aslinya Keyan Satang dimakamkan di Godog Karangpawitan Garut.



Menguak Konsep Kosmologi Sunda Kuno
kaping: 2/05/2013 01:50:00 AM
Pada zaman kuno (masa pra-Islam) orang Sunda memiliki konsep tersendiri tentang jagat raya. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara konsep Sunda asli, ajaran agama Budha, dan ajaran agama Hindu. Uraian mengenai hal ini antara lain terdapat dalam naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak 422 yang kini tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua naskah yang ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis sekarang.

Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar Sunda dan barang pusaka lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu kota kerajaan mereka (Pakuan Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang dan diduduki oleh pasukan Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah lontar lainnya, kedua naskah lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A. Kusumadiningrat (memerintah tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum Nasional sekarang) pada perempatan ketiga abad ke-19.

Kosmologi Sunda kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam, yaitu bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan neraka.

Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai penghuni buana niskala. Di samping itu, penghuni buana niskala lainnya di antaranya 9 dewi, seperti Dewi Tunyjung Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang, Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang disebutkan namanya, antara lain Bidadari Tunyjung Maba, Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala, Bidadari Sedajati.

Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan tugas/kewenangannya berbeda.

Kosmologi Sunda kuna berbeda dengan kosmoligi Islam. Dalam ajaran Islam jagat raya digambarkan terdiri dari 5 alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Kosmologi menurut konsep Islam cenderung didasarkan pada urutan kronologis kehidupan manusia (dan makhluk lainnya). Alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.

Jika kosmologi Islam mencerminkan gambaran urutan kronologis kehidupan manusia, kosmologi Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya dan tingkat kegaibannya. Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula tinggi-rendah kedudukannya, baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda kuna tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala). Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu (1) kembali ke alam dunia dalam wujud yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan, tumbuhan atau benda lainnya sesuai dengan kepercayaan reinkarnasi) dan (2) menuju alam niskala, bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian mahadewa).

Yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan larangan ajaran agama, ia akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan dengan larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan. Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu didambakan oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia mati mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan situasi dan kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku, dan perbuatannya di alam dunia.

Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling tinggi derajatnya.

Kropak 420 membuka penuturannya dengan pernyataan dan pertanyaan, "Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya, maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?" (Berjalan teriring rasa senang, saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah harus meminta tolong?).

Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala), "Ka saha geusan ngahiras, di sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati mahapandita," (Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di niskala, terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat mahapandita).

Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup di bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri kehidupan di bumi sakala bahwa, "Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa utama, beunang ku rasa wisisa." (Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita, terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan mulia).

Ajaran moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara pendeta utama dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah Sanghyang Sri (penjaga alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya bagaikan dewa.

Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.

Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi pendeta, janganlah hanya mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan sejati.

Nasihat pendeta utama yang lain adalah "Mulah cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak ngabigal, mati-mati uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag, pregi ngajuk ngajalanan," (Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak menghalangi, menggertak merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak berdosa, iri dengki melukai memukul, berani mengawali berutang). Adapun berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut rumput dan berbagai umbi, berbagai dedaunan tak pernah kurang, ilalang arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut sarba beuti, tangtarukan tada kurang, kusa madi sarba pala).

Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala, tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon, dan makhluk halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak dibatasi oleh keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada teks Kropak 422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna, menurut naskah ini, adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di Kahyangan (surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak yang lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Kalaupun mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus mengalami reinkarnasi di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah dari manusia.

Bahwa yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati) terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan, kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya sendiri. Rumusannya adalah, "Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana premana aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip hurip aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap aing." (Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri, kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku sendiri, kalaulah itu terlal u berkuasa, sebab kesentosaan kesentosaanku sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku sendiri, ucapan ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).

"Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan aing, hamwa waya nu leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika hanteu nu ngawisisa aing, ka pangikuna aci jatinistmen." (Ah begitu berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku, tak mungkin ada yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada yang suci lebih dariku, sehingga mustahil ada yang menguasaiku, sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati).

Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud kekuasaannya luar biasa sehingga, "Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana pemaga, na jati tan hana urip." (Berhasillah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan).

Salah satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi berwujud jenis wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan, menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang Sri dengan ciri-cirinya, "Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu bidito hurip, ti nu hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu alit niskala, ti nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata." (Dari yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh sejahtera, dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari yang indah halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang sempurna bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).

Di dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa benar itu artinya, jika, "Bayu dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap dihdapan deui, hurip dihuripan deui, hirang dihirangan deui, jati dijatyan deui, niskala diniskalaan deui, alit dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui, talinga ditalingakeun deui, leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun deui." (Kekuatan diper kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan dirasakan lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi, pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi, sadar disadarkan lagi).

Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.


Oleh EDI S. EKADJATI - Pikiran Rakyat, Kamis, 2 Juni 2005 
Penulis Ketua Badan Pengurus Pusat Studi Sunda dan Guru Besar pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad.



Agama Asli Ageman Urang Sunda Baheula
kaping: 8/28/2012 01:17:00 AM
Seueur pisan rerencangan (sanes urang sunda) nu naroskeun ka kuring, soal "Naon sabab urang sunda mayoritas agamana Islam jeung kunaon mani babari pisan ngagem kana ajaran Islam?"



Inget kana pertarosan ieu, minggon kamari nuju boboran di ciamis, kuring ngahajakeun silaturahim kanu jadi guru di hiji lembur di lereng gunung papandayan - garut, waktuna paamprok sareng pun guru pok we ku kuring teh ditarosan ku pertarosan nu diluhur tadi, anjeuna ngajawab singket pisan, cenah :
"Da islam mah memang agamana urang sunda, urang sunda asli geus pasti agamana islam." 
kuring bingung, ku kuring ditaros deui naon maksudna, tuluy anjeuna nyarios deui :
"Samemeh datangna aqidah Islam anu mawa ajaran Tauhid, urang sunda mah geus leuwih tiheula Nauhid, urang sunda baheula ngan nyembah jeung muja ka hiji Sanghyang Widi (gusti nu ngawidian / tuhan yang memiliki kehendak atau yang memberikan izin) nyaeta gusti nu ngagaduhan Widi, atawa sok disebut oge Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atawa Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). oge sok disebut Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), jeung Batara Seda Niskala (Yang Gaib). anu nempat di Buana Nyungcung (Sidrotul-Muntaha). tah sanggeus datangna Islam ka tatar Sunda diperjelas we ku Sifat Wahdaniahna Gusti dina ajaran Tauhid nu nerangkeun sifat Wajib jeung Mustahilna Allah (Sanghyang Widi - ceuk urang sunda)."

Jadi ringkesna mah, "Tibaheula ge urang sunda mah geus wawuh ka Allah nyaeta kanu hiji nu dipikagusti, tegesna Sanghyang Widi teh Allah tea anu ngagaduhan widi. Matak mun diajak nyembah pangeran anu aya 3 atawa lewih loba teh moal daraekeun, iwal ti nu barodo jeung nu kadaresek ku haliah dunya." kitu saur anjeuna. Sanajan cariosanana rada beda sareng nu kacatet dina sejarah kanekes perkawis ngahyang/tilem (nyaeta puncakna elmu dina tarekat sunda buhun, samemeh datangna Islam nu jadi panyampurna sakabeh ajaran para Nabi anu jumlahna aya 124.000), ieu jadi bahan fikiran keur kuring, bisa jadi pangna disebut Parahyangan ge meureun baheulana para Nabi anu nga-hyang teh seuseurna ti Tataran Sunda. jeung bisa jadi penganut sunda wiwitan anu teu narima kana islam teh saking ku sieunna kaleungitan ajaran buhun bari manehna can nyaho yen datangna Islam teh keur Nyampurnakeun ajaranana.
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest

Benarkah Ki Sunda Sudah Terpuruk?

Saat ini banyak kalangan di tatar Sunda mengulas tentang keberadaan Ki Sunda. Pada umumnya mereka mengulas tentang memudarnya jati diri Ki Sunda yang seolah telah hilang atau ditinggalkan oleh sebagian besar Ki Sunda khususnya oleh generasi muda karena bermacam sebab. kekecewaan demi kekecewaan tercetus karena merasa bahwa Ki Sunda saat ini sudah mulai terpuruk dan keberadaannya bagai jati kasilih ku junti, benarkah demikian?

Sejarah tatar Sunda, sepenggal kecil wilayah dari sekian luas kawasan nusantara, kepulauan terbesar di dunia, sejak dahulu kala konon sudah banyak disinggahi para pendatang dari berbagai belahan bumi, seakan memiliki pesona dan magnet yang mampu menyedot para pendatang untuk datang dan bermukim di sini. Pembauran ras dan budaya bercampur aduk, secara bertahap berkembang membentuk budaya baru dan baru lagi. Budaya yang selalu dinamis berkembang mengikuti perjalanan waktu, mulai dari pola pikir dan pola hidup yang paling sederhana sampai kepada pola yang kita jalani di abad 21 ini.

Sejarah mencatat bahwa langkah Ki Sunda telah berjalan menempuh rentang waktu yang amat panjang, konon sejak zaman Aki Tirem di ujung barat tatar Sunda di abad pertama masehi sampai saat ini. Kebangkitan dan keterpurukan Ki Sunda dari masa ke masa bergulir silih berganti, berfluktuasi sejalan dengan peran para tokoh sejarahnya. Berbagai episode telah menghias ilustrasi perjalanan skenario sejarah di tatar Sunda.

Salah satu episode yang paling dikenal oleh masyarakat Sunda adalah era Pajajaran (1482 M-1579 M) yang pernah mengalami masa kejayaan pada zaman pemerintahan pendirinya Prabu Siliwangi (1482 M-1521 M) dan kemudian terpuruk sampai pada total kehancurannya di tahun 1579 M akibat ulah para generasi penerusnya.

Tome Pires, orang Portugis yang berkunjung ke Pakuan tahun 1513 M, menyebutkan Sunda sebagai "negeri ksatria dan pahlawan laut". Menurutnya, orang Sunda menarik (goodly figure), ramah, tinggi kekar (robust), dan they are true man (orang jujur). "The Kingdom of Sunda is justly governed" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil).

Menurut cerita Parahiyangan, Purbatisti purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa (Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Oleh karena itu, tidak akan kedatangan musuh lahir dan musuh batin. Bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera). Tahun 1521 M, Prabu Siliwangi wafat dan dipusarakan di Rancamaya setelah memerintah selama 39 tahun.

Penggantinya, Surawisesa Sang Putera Mahkota naik tahta. Pada saat pemerintahan ayahnya, dia dua kali diutus sebagai duta Pajajaran untuk menjalin persahabatan dan hubungan dagang dengan Alfonso d'Albuquerque, raja muda Portugis di Malaka. Perjalanannya ke Malaka ini digubah oleh pujangga pantun menjadi cerita Raden Mundinglaya Dikusumah.

Pada era pemerintahannya, pecah perang saudara antara Pajajaran dan Cirebon. Galuh dikalahkan dan dikuasai Cirebon yang dibantu Demak sehingga Surawisesa hanya menguasai dan mempertahankan wilayah kerajaan Sunda, warisan dari kakeknya. Perang yang berlangsung selama 5 tahun itu berakhir dengan perdamaian. Surawisesa wafat pada tahun 1535 M dan dipusarakan di Padaren.

Putera Surawisesa, Ratu Dewata menggantikan ayahnya. Ia sangat alim (lumaku ngarajaresi) dan merasa aman karena sangat percaya pada jaminan perjanjian damai yang dibuat ayahnya dengan Cirebon. Namun Banten, sekutu Cirebon, kurang setuju terhadap isi perjanjian karena hanya aman bagi Cirebon, tapi kurang aman bagi Banten. Agar tidak melanggar perjanjian, Banten membentuk pasukan tambuh sangkane (tanpa identitas) untuk menyerang Pakuan, namun benteng yang dibangun Sri Baduga sulit ditembus. Ratu Dewata wafat tahun 1543 M setelah memerintah selama 8 tahun (1535 M-1543 M) dan dipusarakan di Sawah Tampian Dalem.

Ia digantikan oleh putranya, Pangeran Sakti. Berbeda dengan ayahnya, raja ini memerintah tanpa mempedulikan norma-norma pemerintahan. Membunuh orang tak berdosa, merampas harta rakyat, tidak berbakti kepada orang tua dan menghina para pendeta. Raja ini diturunkan dari tahta setelah memerintah selama 8 tahun (1543 M-1551 M). Dan setelah wafat, ia dipusarakan di Pengpelengan.

Anaknya, Nilakendra menggantikan sang ayah. Dalam pemerintahannya, Pajajaran sudah demikian rusak. Setiap saat berpesta-pora dan mabuk-mabukan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa-kilang (air memabukkan menjadi penyedap makan dan minum). Tatan agama gyang kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar (Tidak ada ilmu yang disukai kecuali makan lezat sesuai dengan kekayaannya).
Ajaran tentang nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang (makan sekadar pelepas lapar, minum tuak sekadar pelepas dahaga) telah ditinggalkan. Semua itu terjadi dalam keadaan kerajaan terancam musuh dan rakyat kelaparan. Tiba saatnya kaliyuga, yaitu zaman yang penuh kejahatan dan kemaksiatan yang kemudian akan diikuti oleh pralaya (kehancuran). Dalam keadaan demikian Nilakendra bersama pengikutnya meninggalkan kerajaan. Tidak diketahui di mana raja ini wafat dan dipusarakan setelah memerintah selama 16 tahun (1551 M-1567 M).

Ragamulya Suryakancana, raja terakhir, mengungsi bersama pengikutnya ke Kadu Hejo di lereng Gunung Pulasari Pandeglang. Ia bertahan di salah satu kerajaan daerah dan gugur di sana sebelum pasukan gabungan Banten-Cirebon menghancurkan Pajajaran. Konon benteng Pakuan dapat ditembus karena adanya pengkhianatan "orang dalam".

Setelah itu, Pakuan tidak ada beritanya lagi. Reruntuhannya ditemukan sebagai puing dalam keadaan kosong tanpa penghuni oleh pasukan ekspedisi Kumpeni Belanda pimpinan Sersan Scipio pada 1 September 1687  M.
Dari episode di atas, dapat kita simpulkan bahwa betapa pun Prabu Siliwangi membawa Pajajaran ke jenjang zaman keemasan, membangun benteng pertahanan yang sangat kuat, namun akibat mental dan prilaku penerusnya, Pajajaran harus mengalami kehancuran. Beberapa episode lainnya tak kalah tragis bahkan juga memalukan, namun episode di atas rasanya cukup mewakili sebagai pembanding keberadaan kita di era Sunda kiwari.

"Sunda kiwari" 

Saat ini kita dapat melihat dan merasakan fenomena kaliyuga yang menimpa Ki Sunda walau dalam bobot dan versi yang berbeda.Kemaksiatan, kerakusan, pengkhianatan, anarkis telah membayang-bayangi. Banyak motif yang menjurus kepada kehancuran, antara lain pola hidup konsumtif yang berlebihan yang kemudian berdampak di antaranya kepada perilaku korupsi, pelecehan seksual, dan narkoba. Tentu kita berharap tidak terjadi pralaya, keterpurukan, atau kehancuran seperti yang pernah dialami leluhur kita dan ini perlu kita
tafakuri, patut dijadikan cermin agar flek-flek yang tampak pada wajah kita dapat segera diobati, diprotek sebelum menjadi parah.

Keberadaan Ki Sunda kiwari dan masa datang sangat bergantung kepada Ki Sunda sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu sendiri tidak mengubah nasibnya. Sudah saatnya kini Ki Sunda paheuyeuk-heuyeuk leungeun membangun kembali Benteng Pajajaran yang tangguh.

Ki Sunda, baik pituin maupun mukimin harus sejalan menjunjung tinggi budaya tatar Sunda. Kita gali dan pelihara bersama budaya warisan para leluhur yang ada, namun wayahna harus rela meninggalkan kultur yang selalu membuat kita statis, menghambat kemajuan, dan mulai menerima segala perubahan dengan lapang dada sehingga kita tidak selalu ketinggalan langkah.

Kita belum terpuruk dan kita belum kehilangan jati diri, namun harus kita sadari bahwa Ki Sunda kini sedang dalam proses metamorposis untuk menjadi Ki Sunda baru yang tidak lagi ku'uleun atau yang betah berkutat dalam alam feodal warisan masa lalu. Ki Sunda harus menjadi komunitas yang tangguh dan mampu beradaptasi dengan segala kondisi setiap saat. Budaya Mataram yang dominan memengaruhi identitas Ki Sunda selama berabad-abad, khususnya yang ribet (tidak praktis) kini tengah berada pada titik puncak perubahan dan mulai ditinggalkan. Jadi tidak perlu heran jika perubahan terjadi dan ini akan terus dan terus berlanjut di masa yang akan datang. Pada era teknologi dan informasi saat ini waktu sangat berharga, sehari saja kita tertinggal, kita sudah menjadi manusia masa lalu.

Kita tidak perlu pesimistis. Hanya dengan rasa memiliki (sense of belonging) dan semangat yang tinggi, Ki Sunda akan tetap eksis. Ki Sunda akan tetap Ki Sunda di mana pun berada walau dikelilingi budaya mana pun.

Memang tidak banyak Ki Sunda yang peduli terhadap keberadaannya karena kebanyakan sibuk dengan kepentingannya dalam usaha mempertahankan hidup, namun dari yang sedikit ini kita sangat berharap banyak. Saat ini kita berpacu dengan waktu, juga dengan komunitas lain. Kita harus berusaha tegas dan berjuang keras agar tidak selalu ketinggalan langkah sehingga istilah jati kasilih ku junti bagi keberadaan Ki Sunda tidak pernah kita dengar lagi. Ki Sunda harus kembali mengesankan bagi orang lain maupun orang asing seperti halnya kesan Tom Pires di abad 16M.

Hanya dengan ketulusan dan kebersihan hati serta tekad yang kuat kita akan menggapai suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa (bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera), seperti yang pernah dialami pada zaman keemasan Pajajaran di masa silam. Insya Allah.


Istilah Hyang Dalam Sunda

Pada masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali kuno, kekuatan alam tak kasat mata dan roh leluhur ini diidentifikasi sebagai "hyang". Roh leluhur ini menghuni tempat-tempat yang tinggi, seperti gunung dan bukit. Tempat-tempat ini disucikan dan dimuliakan sebagai tempat jiwa leluhur bersemayam.

Dalam bahasa Sunda istilah "nga-hyang" berarti "menghilang", "tilem" atau "tak terlihat". Diduga kata ini memiliki kaitan kebahasaan dengan kata "hilang" dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Pada perkembangannya istilah "hyang" menjadi akar kata beberapa nama, sebutan, dan istilah yang hingga kini masih dikenal di Indonesia:

Gelar: Jika disandingkan dengan kata panggil atau sebutan Sang-, Dang-, Ra-; menjadi kata Sanghyang, Danghyang, atau Rahyang, kata ini menjadi sebutan kehormatan untuk memuliakan dewa atau leluhur yang sudah meninggal. Sebagai contoh kata Sanghyang Sri Pohaci dan Sang Hyang Widhi merujuk kepada dewa-dewi, sedangkan gelaran Rahyang Dewa Niskala merujuk pada nama seorang raja Kerajaan Sunda yang telah meninggal. Disamping itu istilah Danghyang atau Danyang merujuk pada roh-roh penunggu tempat-tempat tertentu. Nama raja pendiri kemaharajaan Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, juga mengandung nama "hyang" yang menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan adikodrati.

Tempat: Ranah tempat para hyang bersemayam disebut Kahyangan yang dibentuk dari susunan kata ka-hyang-an. Kini kahyangan diidentikkan dengan surga. Karena adanya kepercayaan bahwa hyang menghuni tempat-tempat yang tinggi, maka wilayah pegunungan kerap kali dianggap sebagai tempat hyang bersemayam. Nama tempat seperti Parahyangan merujuk pada jajaran pegunungan di Jawa Barat. Berasal dari gabungan kata para-hyang-an, para menunjukkan bentuk jamak, sedangkan akhiran -an menunjukkan tempat, jadi Parahyangan berarti tempat para hyang bersemayam. Kata parahyangan juga dikenal sebagai salah satu jenis pura Hindu Bali, pura parahyangan adalah pura yang terletak di pegunungan sebagai sandingan pura segara yang terletak di tepi laut. Pegunungan Dieng di Jawa Tengah juga memiliki akar kata di-hyang yang juga berarti "tempat hyang".

Kerja: Kata sembahyang dalam bahasa Indonesia kini disamakan dengan kegiatan ibadah atau salat dalam agama Islam. Sesungguhnya istilah ini memiliki akar kata sembah-hyang yang berarti menyembah hyang. Tari Bali yang sakral Sanghyang Dedari menampilkan gadis muda yang kerasukan hyang.

Konsep "hyang" berasal dari sistem kepercayaan masyarakat Indonesia asli, bukan berasal dari konsep spiritual Hindu-Buddha India.

Masyarakat di kepulauan Nusantara sebelum masuknya ajaran Hindu, Buddha dan Islam, percaya akan keberadaan suatu entitas tak kasat mata yang memiliki kekuatan gaib yang dapat mengakibatkan hal baik maupun buruk dalam kehidupan manusia. Mereka juga percaya bahwa roh leluhur yang sudah meninggal tidak menghilang dan pergi begitu saja, tetapi turut berperan serta dan memengaruhi kehidupan keturunannya yang masih hidup. Leluhur yang sudah meninggal dianggap memiliki kekuatan supranatural yang mendekati kekuatan para dewa. Karena itulah pemuliaan terhadap leluhur menjadi unsur penting dalam kepercayaan masyarakat asli Indonesia, seperti ditemukan dalam sistem kepercayaan suku Nias, Dayak, Toraja, suku-suku di Papua, dan berbagai suku lainnya di Indonesia.



MALURUH NASKAH SUNDA KUNO ASTANA GEDE KAWALI 

Kawali tidak akan menjadi tempat penting dalam sejarah sunda jika di tempat ini tidak terdapat peninggalan sejarah yang sudah diakui keabsahannya. Baik sumber primer seperti prasasti dari abad 14 M yang terdapat di Astana Gede, maupun sumber sekunder lainnya berupa catatan atau naskah yang ditulis dengan cara ditoreh atau digores dalam daun lontar atau nipah dengan menggunakan peso pengot. Kegiatan menulis dengan menggunakan daun lontar dan pisau pengot rupanya sudah menjadi budaya pada waktu untuk melahirkan karya-karya sastra sunda buhun. Umumnya naskah yang ditulis di dalam lontar, bahasa maupun aksaranya, lebih muda usianya dari inskripsi (Kata-kata yang diukir pada batu, monument dsb.Red) yang tercatat pada batu tulis yang menggunakan hurup Pallawa dengan bahasa Sansekerta dan Sunda kuno.

Menurut para peneliti naskah Sunda seperti Prof.Dr. Edi S. Ekadjati, Drs. Undang A.Darsa dan Mamat Ruhimat S.S. sebetulnya keberadaan naskah sunda diperkirakan jumlahnya cukup banyak, lebih dari 2000 naskah yang tersebar menjadi koleksi lembaga penyimpanan naskah di dalam maupun di luar negeri. Sebagian lagi terdapat di perorangan. Sebagian besar naskah-naskah tersebut usianya lebih muda dan terbuat dari bahan seperti janur, daun enau, pandan, daluang maupun dari kertas Belanda. Dengan jenis aksara Arab, Carakan, Pegon, dan Latin. Sedangkan bahasanya menggunakan Bahasa Arab, Jawa Tengahan, Sunda Baru, Melayu dan Belanda.

Sedangkan jumlah naskah kuno yang ditulis diatas daun lontar kurang lebih berjumlah 100 naskah dan hampir 80 % belum tersentuh oleh peneliti (Filolog). Dan naskah-naskah sunda kuna yang ditulis dalam lontar tersebut merupakan naskah yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi karena factor bahasa dan aksaranya yang menggunakan bahasa Sunda kuno dan Jawa Kuno karena lebih dari 250 tahun kedua bahasa dan aksara tersebut tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat sunda.

Disamping itu pemilik perorangan naskah sunda kuno umumnya masih ketakutan untuk menyetorkan naskah tersebut ke pemerintah dikarenakan sebagai peninggalan leluhurnya harus dipusti-pusti sebaik-baiknya tanpa pernah membuka atau mempelajari isi teksnya. Padahal naskah-naskah tersebut sangat penting untuk diteliti dan disebarkan kepada masyarakat, sebagai bukti adanya tingkat peradaban sunda di masa silam yang tertuang dalam isinya, baik itu berupa hasil pemikiran maupun referensi sejarah yang tercatat.

Naskah-Naskan Kuno yang berhasil ditemukan di Kawali dan kini disimpan di Bagian Naskah Perpustakaan Nasional dengan menggunakan no kode kropak. Dan yang sudah di terjemahkan serta diberi judul diantaranya ialah Carita Parahyangan (kropak406), Sang Sewaka Darma (kropak 408), Sunan Gunung Jati (kropak 420), Naskah yang berisi teks campuran atau Gemenged (kropak 421), Naskah Jatiraga (kropak422) dan Darmajati (kropak 23). Sedangkan yang belum teridentifikasi adalah naskah kropak 407, Kropak 409, kropak 411, Kropak 412, Kropak 413, Kropak 414, dan Kropak 415.

Semua naskah kuno tersebut ditulis antara tahun 1099 M sampai tahun 1579 M yaitu maswa sebelum pra Islam. Dalam naskah Carita Parahyangan tertulis candrasangkala ekadasi suklapaksa wesakamasa 1591 ikang sakakala atau sekitar 6 Mei 1979 M yang merupakan masa setelah Pajajaran Sirna Ing Bumi. Sedangkan naskah Sewaka Darma tertulis candrasangkala nanu namas haba jaja atau sekitar tahun 1099 M. Khusus mengenai Naskah Sunan Gunung Jati ternyata isinya bukanlah menceritakan tentang pendiri kerajaan Islam di Cirebon yang bernama Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Kandungan teksnya sama sekali tidak mengemukakan tentang ajaran Islam sedikitpun melainkan membahas tentang pengaruh ajaran Hindu-Budha . Nama Gunung Jati ternyata merujuk pada nama lokasi tempat kedudukan Bungawari di alam kahyangan.

KABUYUTAN ASTANA GEDE PUSAT KEAGAMAAN DAN INTELEKTUAL

Naskah-naskah sunda kuno selama ini keberadaannya kurang terpublikasikan sehingga masyarakatpun banyak yang tidak tahu tentang gambaran lengkap kebudayaan sunda di masa lalu. Padahal kandungan naskah-naskah tersebut selain catatan nama-nama penguasa dan kejadian pada jamannya juga berisi ajaran dan petuah yang isinya masih kontekstual dengan jaman kiwari. Salah satu naskah tersebut adalah Naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian yang berisi ajaran bimbingan hidup agar mencapai kebahagiaan. Naskah ini mempunyai candrasangkala nora catur sagara wulan atau tahun 1518 M. Selain berisi ajaran kehidupan, naskah ini juga dapat disebut semacam ensiklopedia tentang pemerintahan, kebudayaan, kepercayaan, kesusastraan, pertanian, etika, militer, dan lain-lainnya.

Menurut Saleh Danasasmita Siksa Kandang Karesian ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Pajajaran atau dikenal Prabu Siliwangi (1482-1521 M) dan berfungsi juga sebagai pedoman dalam tatacara kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sri Baduga adalah cucu dari Prabu Niskala Wastu Kancana yang berkuasa di Galuh dan Sunda . Saat masih kecil Sri Baduga tinggal yaitu di Keraton Surawisesa yang terletak di Kawali. Sedangkan Kawali pada abad 14 dan 15 merupakan ibukota kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Wastu Kancana merupakan salah satu raja yang terkenal dengan ajaran karahayuannya sehingga berhasil meneruskan kebesaran nama ayahnya Prabu Linggabuana (Prabu Wangi) yang gugur di Bubat.

Ajaran atau filsafat kakeknya yang sarat dengan kebijakan dan kebajikan itu turut mempengaruhi jalan pikirannya dalam memimpin kerajaan Pajajaran dikemudian hari. Hal itu terbukti, Sri Baduga atau Sang Pamanah Rasa atau Jayadewata menjadi salah satu raja besar sunda yang sukses mengelola negaranya. Siksa Kandang Karesian boleh jadi berisi pemikiran-pemikiran Sri Baduga yang dirangkum oleh seseorang dalam sebuah buku. Sri Baduga kemudian lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi.

Ditemukannnya naskah-naskah sunda kuno dari Astana Gede karena tempat tersebut dulunya merupakan kabuyutan atau mandala sebagai pusat kegiatan keagamaan dan intelektual. Salah satu kegiatan intelektual tersebut adalah menyusun dan menulis sesuatu yang menghasilkan naskah lontar. Selain itu kabuyutan berfungsi juga menyimpan naskah-naskah yang berasal dari kabuyutan lain. Seperti dari Kabuyutan Panjalu, Kabuyutan Pakuan Pajajaran, Kabuyutan Ciburuy Bayongbong Garut, maupun Kabuyutan Cikuray dan kabuyutan Karangkamulyan.

Indikasi tersebut salah satunya dapat dilihat dari penulis naskahnya. Kai Raga adalah penulis naskah Carita Ratu Pakuan (Kropak 410) Darmajati (Kropak 423), Carita Purnawijaya (kropak 416), Kropak 411 dan kropak 419. tokoh ini menyusun naskah-naskah tersebut di pertapaan Suta Nangtung di Gunung Larang Srimanganti yang merupakan salah satu Puncak Gunung Cikuray. Namun ternyata salah satu naskahnya ( Darmajati) ditemukan di Kabuyutan Astana Gede Kawali.

Adanya naskah-naskah di Kabuyutan Kawali pertama kali diketahui umum setelah muncul buku berjudul Tafereelen en merkwaardigheden uit Oost-Indie karangan seorang Pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang bekerja di Al-gemene Secretrie (Sekretris Negara) bernama J.Olivier. Dalam bukunya, ia bersama rombongannya menyaksikan keberadaan naskah-naskah berbahasa kawi ketika mengunjungi Kawali dan wilayah priangan lainnya (Desember 1821 – 1827). Naskah beserta benda budaya lainnya dikatakan berasal dari peninggalan-raja-raja Pajajaran dan saat itu pemeliharaannya berada dibawah perlindungan Raden Tumenggung Adipati Adikusumah sebagai bupati Galuh yang memerintah pada tahun 1819 – 1839. Seluruh Anggota rombongan tidak ada yang mampu membaca naskah-naskah tersebut. tetapi ada salah seorang anggota rombongan yang bernama J.H. Domis menyalin 12 judul Naskah tersebut.

R.A.A. KUSUMADININGRAT PENYELAMAT NASKAH SUNDA KUNO

Salah satu penyebab banyaknya naskah-naskah sunda kuno yang tersimpan di kabuyutan Astana Gede Kawali dikarenakan pada saat Pakuan Pajajaran yang menjadi ibu kota kerajaan sunda mulai dihancurkan oleh pasukan Islam dari Cirebon dan Demak banyak pembesar kerajaan dan rakyatnya yang mengungsi ke Kawali dan keturunannya menjadi bagian dari penduduk Kawali. Hal ini berdasarkan keterangan Pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang bernama J.Olivier dalam bukunya yang berjudul berjudul Tafereelen en merkwaardigheden uit Oost-Indie (Kejadian-kejadian dan Hal-hal Menarik dari Hindia Timur). Ia sendiri masih menyaksikan keberadaan sejumlah prabotan dan barang lainya yang dibawa oleh pengungsi, termasuk diantaranya adalah naskah-naskah kuno.

Agaknya pejabat Belanda inilah yang memberitakan keberadaan naskah kuno tersebut kepada C.M. Pleyte. Akhirnya Pleyte berhasil mengkoleksi 13 naskah kuno dari Kabuyutan Astana Gede. Naskah-naskah tersebut diserahkan oleh Raden Aria Adipati Kusumadiningrat yang saat itu memerintah sebagai Bupati Galuh tahun 1839-1886. R.A.A. Kusumahdiningrat adalah seorang bupati yang memiliki haluan maju serta memiliki perhatian besar terhadap pembangunan termasuk bidang kebudayaan. Penyerahan naskah tersebut diperkirakan terjadi sesudah tanggal 10 Mei 1851 saat Kusumadiningrat berpangkat Adipati Aria. Sebelumnya tokoh ini berpangkat Raden Tumenggung bernama Kusumadinata IV. Ayahnya adalah Raden Tumenggung Adipati Adikusumah yang memerintah Galuh pada tahun 1819–1839 dan sempat bertemu dengan J.Olivier

Tahun 1800-an di Batavia telah berdiri Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Batavia Pencinta Kesenian dan Ilmu Pengetahuan) atau yang biasa disingkat BGKW. Koleksi Pleyte kemudian di serahkan kepada lembaga ini untuk diteliti. Ternyata selain R.A.A. Kusumadiningrat tokoh lainnya yang mengkoleksi dan kemudian menyerahkan naskah-naskah sunda kuno dari wilayah Priangan terutama dari Kawali ke BGKW adalah pelukis terkenal Raden Saleh. Hal tersebut diumumkan oleh K.F. Holle dalam artikelnya yang berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige Lontar-Handschriften Afkomstig uit de soenda-landen, door Radhen Saleh aan het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten geschenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawali. (Berita Singkat tentang beberapa Naskah Lontar yang Berasal dari Tatar Sunda, yang diberikan Raden Saleh sebagai hadiah kepada BGKW beserta salinan Prasasti Kawali).

Artikel tersebut diterbitkan oleh majalah TBG tahun 1867 di Batavia (Jakarta). Adapun 3 naskah lontar yang disebut dalam article K.F. Holle ternyata adalah Naskah Amanat Galunggung (Kropak 632), Sanghiang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630) dan Naskah Candrakirana (Kropak 631). Prasasti Kabantenan dan naskah lontar kropak 410 juga merupakan hasil pengumpulan Raden Saleh yang diserahkan kepada BGKW. Institusi ini memang sejak tahun 1845 melakukan kegiatan rutin untuk mencari dan mengkoleksi benda-benda budaya termasuk prasasti dan naskah.

Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, maka tanggal 26 Januari 1950 BGKW diubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Dan nama museum yang dimilikinya berubah menjadi Museum Pusat dan terakhir menjadi Musium Nasional. Sedangkan perpustakaan yang ada di bawahnya dipisahkan menjadi lembaga yang berdiri sendiri dan dinamai Perpustakaan Nasional. Di tempat itulah kini naskah-naskah sunda kuno yang berasal dari Kabuyutan Astana Gede tersimpan dengan keheningannya.

Sumber : HU. Kabar Priangan


Banyaknya Manuskrip Ulama Nusantara Yang Dijarah Penjajah
kaping: 8/10/2012 09:17:00 AM

Sejak abad pertama Hijriyah, sahabat Nabi saw sudah melakukan penelitian terhadap naskah al-Qur'an sebelum dikodifikasikan. Para ulama hadits juga menetapkan sistem hak cipta buku, catatan kehadiran siswa, tata cara penulisan teks, metode periwayatan, sistem perbandingan antar teks dan banyak lagi. Ini mengharuskan para perawi dan pencatat hadits melakukan penelitian terhadap tulisan yang mereka temukan. Hingga kini, Studi Ilmu Hadits memiliki cabang rusum at tahdits yang menganalisa sistem filologi ilmu hadits sejak abad pertama Hijriyah dan periode berikutnya (Tesis Magister Dr M Luthfi Fathullah di University of Jordan tentang Filologi Hadits). Karenanya, salah besar, jika menganggap Islam tak memiliki tradisi ilmu filologi. Seolah-olah ilmu ini dikembangkan Barat, khususnya antropolog dan arkeolog Belanda seperti Scouck Hurgronje. Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah, khususnya naskah-naskah kuno. Islam memiliki tradisi ini, tapi tidak menyebut Ilmu Filologi. Hanya Islam yang melahirkan peradaban lengkap dengan ilmu pengetahuan yang melingkuinya.

Buktinya tradisi menulis di kalangan ulama sejak abad pertama Hijriyah hingga kini tetap terjalin. Ketika Islam masuk ke Nusantara, para ulama juga menuangkan pemikiran dengan menulis. Tulisan tangan asli para ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di kawasan ini. Untuk mengetahui peran manuskrip Islam di Nusantara dalam penyebaran Islam, Dwi Hardianto dan Arief Kamaluddin dari Sabili mewawancarai DR H Uka Tjandrasasmita. Arkeolog Islam senior yang dimiliki bangsa ini menerima di rumahnya, kawasan Semplak, Kota Bogor, Kamis (19/6). Berikut petikannya:

Apa saja karya ulama di Nusantara yang masuk kategori manuskrip?

Yang dimaksud manuskrip adalah tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan aksen Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.

Contoh manuskrip Islam yang berpengaruh di Nusantara?

Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.

Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.

Manuskrip Islam tertua di Nusantara?

Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.

Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka. Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.

Manuskrip berhuruf Pegon misalnya karya siapa?

Umumnya ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tatar Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam karyanya, Sunan Bonang menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliallah dan para ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-kawan) seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Manuskrip-manuskrip itu berada di mana?

Sebagian besar berada di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. Pada masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan, kemudian melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam klasik untuk kepentingan mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan dan menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah. Dengan dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara menjadi kehilangan sumber otentik perkembangan Islam. Inilah yang menyebabkan penjajahan berlangsung hingga ratusan tahun.

Perbandingan manuskrip Islam yang ada di Indonesia dan Belanda?

Manuskrip dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar 1.000 naskah. Yang lainnya, yang menggunakan huruf Arab atau bahasa Arab jumlahnya lebih sedikit. Sementara di Belanda, manuskrip Islam asal Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan huruf Pegon atau huruf Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka melakukan pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh daerah di Indonesia. Saya ke Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan Bonang, ar Raniri, Hikayat Aceh, Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan lainnya. Di Indonesia hanya ada kopiannya saja.

Manuskrip Islam yang ada di Belanda bisa diambil lagi tidak?

Mengembalikan secara fisik sekarang ini gampang-gampang susah, karena terkait bentuk fisik yang sudah berumur ratusan tahun sehingga banyak bagian yang rawan rusak jika disentuh. Memang sudah ada Konvensi Internasional tentang benda-benda cagar budaya termasuk manuskrip dari suatu negara harus dikembalikan pada negara yang bersangkutan. Caranya dengan melakukan perundingan bilateral antar negara yang bersangkutan.

Contoh manuskrip yang sudah dikembalikan secara fisik ke Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama. Kitab ini diambil Belanda pada saat perang Lombok. Contoh lain adalah Arca Pradnya Paramitha dari zaman Singasari yang paling bagus juga sudah dikembalikan. Pelana kuda Pangeran Diponegoro juga sudah dikembalikan ke tanah air oleh Belanda, termasuk satu peti cincin dan emas berlian dari Lombok juga sudah kembali. Jika pengembalian secara fisik riskan rusak, pemerintah bisa melakukan upaya dokumentasi dengan microfilm secara digital.

Bagaimana cara menyelamatkan manuskrip Islam yang ada di Indonesia agar tidak rusak?

Perpustakaan Nasional sudah melakukan dokumetasi sebagian dengan merekam dalam microfilm. Saat terjadi tsunami di Aceh, juga banyak naskah-naskah asli Aceh yang hilang. Karenanya, saat ini dilakukan upaya dokumentasi menggunakan microfilm digital terhadap naskah-naskah yang tersisa. Untungnya, di sebuah Pesantren di Kawasan Tanobe, NAD, masih tersimpan 2.000 lebih naskah klasik dari abad 13 sampai 19 karya ulama-ulama Aceh, dan Timur Tengah.

Untuk proses penyelamatan ini, seharusnya dilakukan oleh Pemda setempat. Jika tak sanggup bisa melakukan kerjasama dengan lembaga- universitas. Di Jawa Barat, sudah mulai dilakukan katalogus naskah-naskah klasik sejak zaman batu sampai abad 19 yang berbahasa Sunda atau bahasa lainnya yang ada di berbagai negara. Dikumpulkan, di katalogus, di buat microfilm-nya dan bisa dipelajari kembali saat ini. Malaysia juga sudah membuatnya, demikian juga dengan Sulawesi Selatan. Harus ada gerakan penyelamatan manuskrip kuno, termasuk manuskrip Islam secara nasional.

Apa sebenarnya fungsi manuskrip Islam ini?

Pertama, naskah-naskah ini mengandung informasi yang sangat lengkap tentang peradaban Islam dalam arti lengkap, sehingga bermanfaat untuk menjaga kesinambungan peradaban Islam. Kedua, berisi kajian keagamaan yang bersumber dari karya para sahabat di masa Rasul, sehingga bermanfaat untuk menjaga dan mengembangkan otentisitas ajaran Islam di masa mendatang. Ketiga, berisi tentang seluk beluk pemerintahan pada saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam. Keempat, berisi struktur sosial masyarakat dan model perekonomian yang berlaku saat itu, sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pembangunan ekonomi yang tepat pada saat ini. Kelima, berisi adat kebiasaan, hukum dan teknologi yang berkembang saat itu. Keenam, bersisi tentang obat-obatan yang digunakan saat itu dan lainnya. Sehingga saat ini mulai dikembangkan lagi model pengobatan tradisional yang bersumber dari ajaran Islam atau tradisi pada masa Rasulullah.

Apa maksudnya para ulama saat itu menulis karyanya dengan huruf Jawi, bahasa Melayu atau bahasa daerah?

Ini sebagai bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan secara bertahap. Ada proses pentahapan yang sistematis sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Para ulama tidak langsung menggunakan bahasa dan tulisan Arab yang belum dikenal masyarakat. Hamzah Fansuri menulis, ”Aku menerjemahkan kitab-kitab dari Bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Jawi, karena masyarakat tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.”

Tapi, untuk pemakaman, sejak tahun 1297 H atau 96 H (abad 13) orang Islam, ulama atau pemimpin Islam saat itu sudah menggunakan bahasa dan tulisan Arab untuk menulis di batu nisannya. Tapi di manuskrip dan karya-karya tulis lainnya sampai Abad 16 masih menggunakan tulisan Jawi atau Pegon dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Tapi setelah memasuki Abad 17, mulai banyak karya ulama yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, di samping bahasa Melayu. Pada Abad ini juga mulai banyak karya-karya terjemahan dari Timur Tengah. Ini memang strategi penyebaran Islam pada saat itu, sehingga karya para ulama ini bisa dibaca oleh masyarakat umum dan Islam pun cepat menyebar di seluruh Nusantara.

Jadi, pada saat itu, ulama merupakan orang pilihan yang paling canggih?

Betul. Saat itu mereka menjadi sosok paling canggih, bisa melakukan pendekatan budaya, sosiologis dan atropologis untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Saya bisa katakan, pengislaman di kawasan ini sesuai dengan konsep surat al-Baqarah: 256. Saat itu, ulama juga melakukan pendekatan bertahap dan gradual. Sehingga, jika dinilai dengan ilmu pendidikan, apa yang diterapkan oleh para ulama dan para wali pada abad 13 -17 itu sangat luar biasa.

Coba lihat, surat al-Baqarah ayat 1–2, ayat ini tidak tiba-tiba memerintahkan umat Islam untuk shalat, puasa, zakat, tapi didahului dengan memberikan pemahaman terlebih dulu. Setelah mereka paham baru diberi perintah untuk menjalankan kewajiban. Inilah yang dilakukan oleh para ulama dan wali abad 13–17 dalam menyebarkan Islam di Nusantra. Al Qur’an itu sungguh sangat luar biasa, Allah SWT itu ”Maha Pendidik.”

Proses Islamisasi melalui penaskahan juga gradual, ya?

Sangat gradual, melalui proses pentahapan yang sangat cermat dan matang. Coba, perhatikan, sejak Abad 13 sampai 16, naskah-naskah Islam semuanya masih ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa daerah setempat dengan tulisan huruf Jawi atau Pegon. Proses ini berakhir ketika memasuki Abad 17. Berapa abad coba, proses tarbiyahnya (pendidikan) dan penanaman nilai-nilai Islam?

Jadi pada Abad 13 peradaban di Nusantara sudah Islam?

Oh ya jelas, pada saat itu sudah ada Kesultanan Samudra Pasai sebagai Kasultanan Islam pertama di Asia Tenggara. Memang, pada saat itu, belum seluruh penduduk Nusantara memeluk Islam, tapi proses penyebaran Islam sudah berjalan. Dan, jauh sebelum berdirinya Samudera Pasai sudah banyak penyebar-penyebar Islam datang ke Nusantara secara individu. Dari Samudera Pasai timbul Malaka, setelah itu Malaka berhubungan dengan Jawa dan seluruh pulau di Nusantara. Timbulah kerajaan Demak, Cirebon, Kesultanan Makassar, Ternate, Tidore dan seterusnya.

Secara politik, kapan Nusantara menjadi negeri Islam secara keseluruhan?

Menjadi Islam keseluruhan pada abad 17, karena pada saat itu semua pemimpin dan tokoh masyarakat di kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam. Dari catatan sejarah, pemimpin masyarakat yang paling akhir memeluk Islam adalah Gowa Tallo. Ini terjadi pada tahun 1605 bertepatan dengan abad 17. Pada saat itu, VOC memang sudah masuk ke sebagian wilayah Nusantara tapi belum bisa mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang ke Nusantara pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten.

catatan : DR H Uka Tjandrasasmita, Arkeolog Islam

Wasiat Wastu Kencana


Wastu Kencana dikenal sebagai raja yang adil dan minandita. Didalam Cerita Parahyangan Ia sangat dipuji-puji melebihi dari raja manapun, dan ia putra dari Prabu Wangi yang gugur didalam peristiwa bubat. Didalam Naskah Parahyangan di uraikan sebagai berikut : 

"Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang."

Ketika terjadi peristiwa Bubat yang menewaskan Prabu Linggabuana (1357 M) Wastu Kencana baru berusia 9 tahun dan untuk mengisi kekosongan pemerintah Pajajaran di isi oleh pamannya, yakni Sang Bunisora yang bergelar Prabu Batara Guru Pangdiparamarta Jayadewabrata atau sering juga disebut Batara Guru di Jampang atau Kuda Lalean.

Wastu Kencana dibawah asuhan pamannya tekun mendalami agama (Bunisora dikenal juga sebagai satmata, pemilik tingkat batin kelima dalam pendalaman agama). Iapun dididik ketatanegaraan. Kemudian naik tahta pada usia 23 tahun menggantikan Bunisora dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kencana atau Praburesi Buanatunggaldewata. Dalam naskah selanjutnya disebut juga Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.

Menurut sumber sejarah Jawa Barat, Wastu Kencana memerintah selama 103 tahun lebih 6 bulan dan 15 hari. Dalam Carita Parahyangan disebutkan: "Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah."

Ketika jaman kekuasaanya Wastu Kencana menyaksikan dan mengalami beberapa peristiwa: 
1. Menyaksikan Kerajaan Majapahit dilanda perang paregreg / perebutan tahta (1453 – 1456), selama peristiwa tersebut Majapahit tidak mempunyai raja, namun Wastu Kencana tak terpikat untuk membalas dendam peristiwa Bubat, karena ia lebih memilih pemerintahannya yang tentram dan damai. Ia pun rajin beribadat. 
2. Kedatangan Laksamana Cheng H0 dan Ulama Islam yang kemudian mendirikan Pesantren di Karawang.

Tanda keberadaan Wastu Kencana terdapat pada dua buah prasasti batu di Astana Gede. Prasati yang kedua dikenal dengan sebuat Wangsit (wasiat) Prabu Raja Wastu kepada para penerusnya tentang Tuntutan untuk membiasakan diri berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan membiasakan diri berbuat kesejahteraan yang sejati (pakena kereta bener) yang merupakan sumber kejayaan dan kesentausaan negara.

Prasasti Kawali
Tulisan ini saya copas dari Sejarah jawa Barat - Cuplikan Wasiat Wastu Kencana dari naskah Sanghyang siksakanda (Koropak 630), sbb:
"teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byakta warta manah, mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu."

"kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta..
sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta..
sang ameng pageuh di kaamenganna, kreta..
sang wasi pageuh dikawalkaanna, kreta..
sang wong tani pageuh di katanianna, kreta..
sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta..
sang gusti pageuh di kagustianna, kreta..
sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta..
sang masang pageuh di kamasanganna, kreta..
sang tarahan pageuh di katarahanna, kreta..
sang disi pageuh di kadisianna, kreta..
sang rama pageuh di karamaanna, kreta..
sang prebu pageuh di kaprebuanna, kreta.."

"ngun sang pandita kalawan sang dewarata pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sakasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh."
Terjemah Indonesia:
"Teguhan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuhi kenyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejahteralah dunia, maka akan sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan. demikianlah hendaknya. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wiku teguh dalam tugasnya sebagai wiku, akan sejakhtera. Bila manguyu teguh dalam tugasnya sebagai akhli gamelan, akan sejakhtera. Bila paliken teguh dalam tugasnya sebagai akhli seni rupa, akan sejahtera. Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wasi teguh dalam tugasnya sebagai santi, akan sejakhtera. Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biarawati, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera. Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera. Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera. Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan sejahtera. Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan sejaktera. Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan sejahtera. Bila tarahan teguh dalam tugasnya sebagai penambang penyebrangan, akan sejahtera. Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang peramal, akan sejahtera. Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh rakyat, akan sejakhtera. Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja, akan sejakhtera."

"Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia"

Wasiat ini mengandung pula konsep tentang bagaimana manusia harus focus dan professional dibidang keahliannya. Lebih maju dari praktek kenegaraan sekarang. Saat ini banyak bukan negarawan mengurusi masalah Negara. Para ahli agama banyak yang terjun jadi politikus, banyak politikus jadi pedagang, banyak kaum pedagang jadi penentu kebijakan Negara. Semuanya menyebabkan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesentosaan.

Konsep dan tipe kondisi yang diharapkan pernah dikemukakan BK dalam bentuk partai tunggal, yang mengharapkan bukan pada banyaknya partai yang ada tapi menghimpunan seluruh kepentingan profesi, seperti keompok tani, buruh, cendekiawan, agama dll. Banyaknya partai hanya menyiptakan satu golongan yang kuat, yakni politikus. Ia sangat tidak inheren dengan kelompok lainnya diluar politikus, seperti kaum tani dan buruh. Para politikus lebih berorienasti pada bagaimana mempertahankan kekuasaannya, adakalanya mengenyampingkan amanah mengapa ia harus ada. Namun memang bentuk partai tunggal dari kacamata demokrasi barat dianggap sangat bertentangan dengan kebebasan individu warga dan dianggap anti demokrasi. Ditambah waktu itu, BK tidak mau tunduk pada kuasanya asing.

Demokrasi yang “western oriented” mengandalkan pada dasar persamaan hak individu, namun bisa berjalan sukses jika ada kesetaraan dalam mentatai aturan, sebagai cara untuk membatasi terganggunya hak seseorang dari orang yang lainnya. Disamping itu perlu ada penghormatan terhadap hak-hak lain. Disini tidak perlu ada dominasi dari satu individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Masalahnya, kebebasan individu memberikan legitimasi terjadinya "free ficht competition", mensyahkan jika yang kuat akan semakin kuat dan lemah menjadi tertindas. Karena negara tidak boleh turut campur, termasuk memberikan proteksi, sekalipun kepada yang lemah.

Wujud dari cita-cita demikian pernah ada pada konsep lanjutan sebagaimana pada cita-cita awal dan dasar didirikannya Golongan Karya, yang menginginkan seluruh warga bangsa dapat menghimpun kekuatan didalam wujud profesinya. Namun godaan untuk bermain politik praktis dan kekuasaan, serta adanya pengaruh asing yang sangat eksis dalam menentukan kebijakan politik dan ekonomi ternyata menjadi penghancur yang sangat dahsyat didalam perkumbuhan social bangsa, bahkan menjadikan Indonesia mandiri didalam ekonomi, tidak berdaulat didalam berpolitik dan tidak memiliki kepribadian didalam budaya.

Mungkin kita perlu renungkan kembali tentang nilai-nilai luhur, melalui Wasiat dari Galunggung, leluhur raja-raja Galuh :



Hana nguni hana mangke..
Tan hana nguni tan hana mangke..
Aya ma baheula hanteu teu ayeuna..
Henteu ma baheula henteu teu ayeuna..
Hana tunggak hana watang..
Hana ma tunggulna aya tu catangna..


"ada dahulu ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini. Bila tidak ada masa silam maka tiada masa kini. Ada tonggak tentu ada batang. Bila tak ada tonggak tentu tidak ada batang. Bila ada tunggulnya tentu ada dahan atau batangnya."

Saya pikir pesan itu sangat jelas, bahwa masa kini merupakan akumulasi dari masa lalu, tidak akan ada masa kini kalau tidak ada masa lalu. Dengan demikian jika dikatikan dengan masalah perkumbuhan bangsa dapat ditarik benang merahnya, bahwa sejarah suatu bangsa tidak akan selalu sama dengan bangsa lainnya. Dan dari kesejarahannya masing-masing dapat ditarik dan dijadikan cermin tentang nilai-nilai mana yang cocok dan sangat tepat.
Marilah kita bertindak profesional dan menyerahkan suatu persoalan kepada ahlinya masing-masing. Masalah agama bertanyalah kepada ahli agama, masalah perniagaan bertanyalah kepada ahli niaga, masalah kenegaraan bertanyaan kepada negarawan. Jangan ahli agama turut campur memaksakan kehendaknya untuk mengurus Negara, tukang dagang ikut-ikutan ngurusin Negara, karena semua itu bukan bidangnya.
Demikian seharusnya ahli agama dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia.

Naskah Sunda Kuno - Sulanjana

Ringkasan isi:
Di Suralaya para dewa bermusyarawah untuk mendirikan bakal Panca Warna. Dewi Anta ditugas membuat batu penyangga tiang. Tetapi Dewi Anta tidak dapat melaksanakan tugasnya, karena badannya berbentuk ular. Dewi Anta menangis sedih dan meneteskan air mata tiga butir. Air mata itu kemudian berubah menjadi tiga butir telur yang dibawanya dengan cara digenggam oleh mulut.

Karena kesalahpahaman seekor burung elang, telur itu jatuh dua butir yang kemudian menetas menjadi Kalabuat dan Budug Basu. Sapi Gumarang, raja segala binatang jelmaan Kencing Idajil (setan) memelihara Kalbuat dan Budug Basu sebagai anak angkat. Atas perintah Batara Guru telur yang tinggal satu butir dierami Dewi Anta. Telur menetas, lahirlah seorang putri cantik yang diberi nama Dewi Puhaci Terus Dangdayang atau juga Dewi Aruman. Batara Guru mencintai Dewi Puhaci dan berniat memperistri. Akan tetapi ditentang oleh Batara Narada karena hal itu akan merusak citra Batara Guru sendiri. Disamping itu Batara Guru dianggap melanggar hukum dan merusak agama sebab Dewi Puhaci diasuh dan disusui oleh Dewi Umah, istri Batara Guru. Oleh karena itu Dewi Puhaci masih tergolong anak Batara Guru, maka perkawinannya tidak boleh terjadi.

Agar perkawinan Batar Guru dengan Dewi Puhaci tidak terjadi, Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Puhaci buah Koldi sehingga berhenti menyusui. Tetapi karena ketagihan dan buah koldi itu tidak ada lagi, maka Dewi Puhaci jatuh sakit hingga meninggal dunia. Mayat Dewi Puhaci diurus oleh bagawat Sang Sri dan kuburannya dijaga siang malam sambil menyalakan dupa. Kemudian keluarlah dari dalam tanah kuburan itu berjenis-jenis bibit tanaman. Dari kuburan bagian kepala keluar kelapa, dari telinga keluar macam-macam pohon bamboo, dari ari-ari keluar macam-macam tumbuhan menjalar, dari payudara keluar macam-macam buah-buahan. Pendek kata semua jenis pepohonan berasal dari tubuh Dewi Puhaci.

Semar ditugasi Batara Guru untuk membawa bibit tanaman itu ke negeri Pakuan yang dirajai Prabu Siliwangi. Istri Prabu Siliwangi bernama Nawang Wulan adalah putra Batara Guru. Maka dengan adanya bibit tanaman itu, negeri Pakuan menjadi subur makmur. Akan tetapi Prabu Siliwangi dilarang mengetahui bagaimana Dewi Nawang Wulan menanak nasi. Jika Sang Prabu Siliwangi melanggar larangan, maka akan jatuh telak kepada Nawang Wulan.

Tersebutlah Budug Basu yang diasuh oleh Sapi Gumarang di Tegal Kapapan sedang mencari Dewi Puhaci. Tiba di kuburan Dewi Puhaci, Budug Basu mengelilingi kuburan sebanyak tujuh kali. Setelah itu Budug Basu meninggal dunia. Mayat Budug Basu oleh Kalamullah dan Kalamuntir dibawa keliling dunia sebanyak tujuh kali. Di tengah jalan mayat Budug Basu pun menjelma menjadi seekor badak. Kalamullah dan Kalamuntir menjaga binatang-binatang tersebut menjadi dua bagian yaitu bagian darat dan laut.
Selanjutnya dikisahkan Sulanjana putra laki-laki yang diasuh Dewi Pratiwi, dititipi negeri Suralaya sebab Batara Guru dan Narada akan turun ke bumi memeriksa negeri Pakuan. Kedua Batara itu menjelma menjadi burung Pipit.

Tersebutlah Dempu Awang dari negeri seberang akan membeli padi dari Pakuan. Karena padi-padi tersebut hanya titipan Batara Guru, oleh putra Siliwangi permohonan Dempu Awang itu ditolak. Dempu Awang sakit hati, maka dimintanya bantuan dari Sapi Gumarang untuk merusak tanaman padi. Sapi Gumarang dibantu oleh binatang-binatang jelmaan Budug Basu, merusak tanaman padi. Sementara Sulanjana dan kedua orang adik perempuannya yang bernama Talimendang dan Talimendir, diperintah Batara Guru untuk menjaga dan menyembuhkan padi. Terjadilah peperangan antara penjaga dan perusak. Akan tetapi Sapi Gumarang kalah dan berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana asal pada setiap mulai menanam padi 'disambat' (atau dipanggil secara batin) serta disediakan daun paku pada 'pupuhunan' (tempat sesaji di ladang atau di sawah).

Prabu Siliwangi penasaran ingin melihat cara Dewi Nawang Wulan menanak nasi. Dibukanya padi yang sedang dimasak, maka Dewi Nawang Wulan kembali ke Kahiyangan. Namun sebelum pergi sempat berpesan dulu agar membuat lesung, dulang, kipas (bahasa sunda:hihid), bakul dan periuk untuk menanak nasi. Prabu Siliwangi menyesal dan menghadap Batara Guru minta pengampunan agar Dewi Nawang Wulan kembali ke Pakuan. Permohonan Sang Prabu ditolak, kemudian ia sendiri pergi ke Pakuan setelah menerima pelajaran bagaimana cara menanak nasi dan bercocok tanam padi yang baik. Dewi Anta oleh Batara Guru diturunkan ke bumi untuk menjaga padi.


Kondisi Naskah:
Kecamatan : Sukawening
Nama Pemegang naskah : Adang
Tempat naskah : Kp. Cieunteung Desa Mekarluyu
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 17 x 22 cm
Ruang tulisan : 14 x 18 cm
Keadaan naskah : tidak utuh
Tebal naskah : 49 Halaman
Jumlah baris per halaman : 14 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 11 baris dan -
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : besar
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tumpul
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kecoklat-coklatan
Keadaan kertas : agak tipis halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi



Naskah Sunda Kuno - Babad Limbangan

Ringkasan isi:
Pada zaman dahulu kala Prabu Layaran Wangi (Prabu Siliwangi) dari kerajaan Pakuan Raharja mempunyai seorang pembantu bernama Aki Panyumpit. Setiap hari Aki Panyumpit diberi tugas berburu binatang dengan menggunakan alat sumpit (panah) dan busur.

Pada suatu hari Aki Panyumpit pergi berburu ke arah Timur. Sampai tengah hari ia belum memperoleh hasil buruannya, padahal telah banyak bukit dan gunung didaki. Sesampainya di puncak gunung, ia mencium wewangian dan melihat sesuatu yang bersinar di sebelah Utara pinggir sungai Cipancar. Ternyata harum wewangian dan sinar itu keluar dari badan seorang putri yang sedang mandi serta mengaku putra Sunan Rumenggong, yaitu Putri Rambut Kasih penguasa daerah Limbangan.

Peristiwa pertemuan dengan Nyi Putri dari Limbangan dikisahkan oleh Aki Panyumpit kepada Prabu Layaran Wangi. Berdasarkan peristiwa itu Prabu Layaran Wangi menamai gunung itu Gunung Haruman (haruman = wangi). Prabu Layaran Wangi bermaksud memperistri putri dari Limbangan. Ia mengirimkan Gajah Manggala dan Arya Gajah (keduanya pembesar Pakuan Raharja).

Aki Panyumpit serta sejumlah pengiring bersenjata lengkap untuk meminang putri tersebut dengan pesan lamaran itu harus berhasil dan jangan kembali sebelum berhasil. Kendatipun pada awalnya Nyi Putri menolak lamaran tetapi setelah berhasil dinasehati Sunan Rumenggong, ayahnya, akhirnya menerima dijadikan istri oleh Prabu Layaran Wangi.

Selang 10 tahun antaranya, Nyi Putri (Rambut Kasih) mempunyai dua orang putra dari Raja Pakuan Raharja, yaitu Basudewa dan Liman Senjaya. Kedua anak itu dibawa ke Limbangan oleh Sunan Rumenggong (kakeknya) dan kemudian dijadikan kepala daerah di sana. Basudewa menjadi penguasa Limbangan dengan gelar Prabu Basudewa dan Liman Senjaya penguasa daerah Dayeuh Luhur di sebelah Selatan dengan gelar Prabu Liman Senjaya.

Di kemudian hari Prabu Liman Senjaya setelah beristri membuka tanah, membuat babakan pidayeuheun (kota) dan lama kelamaan dibangun sebuah Negara dengan nama Dayeuh Manggung. Negara baru ini bisa berkembang sehingga dikenal baik oleh tetangga-tetangganya, seperti Sangiang Mayok, Timbanganten, Mandalaputang. Dayeuh Manggung terkenal karena keahlian dalam membuat tenunan. Rajanya yang lain yang termashur adalah Sunan Ranggalawe.


Kondisi Naskah:
Kecamatan : Garut Kota
Nama pemegang naskah : R. Sulaeman Anggapradja
Tempat naskah : Jln Ciledug 225 Kel. Kota Kulon. Kec Garut Kota
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 20.5 x 32 cm
Ruang tulisan : 17 x 17 cm
Keadaan naskah : baik
Tebal naskah : 16 Halaman
Jumlah baris per halaman : 39 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 39 dan 23 baris
Huruf : Latin
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : agak tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas bergaris ukuran folio
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : putih
Keadaan kertas : agak tebal, halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest





Naskah Sunda Kuno - Suryakanta

Ringkasan isi:
Adalah sebuah kerajaan Tanjung Karoban Bagendir yang jauhnya dari kerajaan Banurungsit tujuh bulan perjalanan. Raja Tanjung Karoban Bagendir bernama Dengali dengan patihnya Dungala yang kedua-duanya siluman. Raja Dengali mempunyai istri dua orang, Kala Andayang dan Kala Jahar. Pada suatu hari Raja Dengali didatangi oleh Emban Turga, Emban melaporkan bahwa kerajaan Nusantara baru saja dikalahkan oleh Raden Suryaningrat dari kerajaan Erum. Emban Turka terpikat oleh ketampanan dan kegagahan Raden Suryaningrat. Tatkala ia menyatakan cintanya, serta merta ditolak oleh Raden Suryaningrat, bahkan Emban Turga diusir. Emban Turga mohon bantuan Raja Dengali agar memperoleh Raden Suryanigrat untuk dijadikan suami. Raja Dengali menjanjikan akan membantu menangkap Raden Suryaningrat. Ia menyuruh seorang raksasa untuk mencuri putra mahkotanya bernama Suryakanta. Raden Suryakanta dapat diculik ketika sedang bermain ditaman. Maka hebohlah kerajaan Erum dan Nusantara karena kehilangan putra mahkota. Istri raja yang bernama Ningrumkusumah diusir karena dianggap dialah yang menjadi sebab hilangnya Raden Suryakanta. Ningrumkusumah pergi tanpa tujuan. Dalam perjalanannya ia sampai ke tempat pertapaan Pandita Syeh Rukman,yang memberitahu bahwa ia telah difitnah oleh seseorang yang bernama Jamawati.
Untuk membalas dendam kepada yang memfitnah dan mendapatkan kembali Raden Suryakanta yang diculik atas perintah Raja Dengali, Ningrumkusumah harus berganti nama menjadi Jaya Komara Diningrat atau Jaya Lalana Di Ningrat. menyamar seolah-olah menjadi laki-laki.

Ningrumkusumah alias Jaya Komara dapat membunuh Raja Dengali dan Emban Turga. Tetapi untuk menemukan kembali Raden Suryakanta ia harus mengalami bermacam-macam kesengsaraan dan peperangan. Dalam peperangan yang terjadi, Ningrukusumah selalu menang. Di setiap negara yang dikalahkannya, raja dan pemeluknya diharuskan memeluk agama Islam, diantaranya kerajaan Yunan, Turki, Raja Bahrain, Raja Gosman. Prabu Suryaningrat sepeninggalan Ningrumkusumah jatuh sakit. Ia selalu teringat kepada istrinya dan menyesali kepergiannya. Ditambah lagi putra kesayangannya Suryakanta belum ditemukan juga. Ia tidak menyangka bahwa Ningrumkusumah telah difitnah oleh Jamawati, istrinya yang lain.

Lama-kelamaan Raja Suryaningrat mengetahui dari seorang mentri bahwa Jamawati lah yang telah memfitnah Ningrumkusumah. Raden Suryaningrat sangat marah kepada Jamawati dan terbukalah bahwa yang telah mencuri Suryakanta adalah Raja Dengali atas permintaan Emban Turga.

Raden Suryaningrat menantang perang kepada Raja Dengali dari Kerajaan Tanjung Karoban Bagendir. Berkat kegagahan Ningrumkusumah dan Ratna Wulan (keduanya istri Raden Suryaningrat), Dengali dikalahkan dan Suryakanta kembali.


Kondisi Naskah:
Kecamatan : Balubur Limbangan
Nama pemegang naskah : Duki bin Saleh
Tempat naskah : Desa Cigagade
Asal naskah : pemberian
Ukuran naskah : 17 x 22 cm
Ruang tulisan : 14 x 19 cm
Keadaan naskah : relatif baik
Tebal naskah : 241 Halaman
Jumlah baris per halaman : 12 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 11 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tumpul
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kecoklatan
Keadaan kertas : tebal
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi



Naskah Sunda Kuno - Walangsungsang

Ringkasan isi:
Prabu Siliwangi, raja Padjadjaran mempunyai dua orang putra, yang sulung laki-laki bernama Walangsungsang, dan adiknya perempuan bernama Rara Santang. Disamping kedua putranya itu, Baginda mempunyai putra yang lainnya pula sebanyak sembilan orang. Tetapi mereka meloloskan diri dari keratin. Kesembilan putranya itu terdiri atas lima orang laki-laki dan empat orang perempuan. Mereka bertapa di Gunung yang saling berjauhan. Seorang putranya laki-laki bertapa di Jakarta, yang lain di Tanjung Kuning bernama Santang Partala, sedang yang lainnya lagi bernama Garantang Setra, Ishu Gumare di Lebak dan Sang Sekarsari. Adapun putra-putranya yang perempuan adalah Nyi Tanjung Buana betapa di Pesisir Barat, Nyi Gending Juri atau Nyi Panjang Nagara di pesisir Selatan, Nyi Ratu di Kawali, dan Nyi Sekar Bang di Karang Pangantik.

Pada suatu malam Walangsungsang bermimpi. Dalam mimpi ia bertemu dengan Rosul yang menganjurkan agar pergi menuju Gunung Amparan dan menemui Syeh Jati, seorang guru dari Mekah. Keesokan harinya Walangsungsang memberikan impiannya itu kepada ayahnya. Prabu Siliwangi setelah mendengar pembicaraan Walangsungsang sangat murka. Lalu Walangsungsang berjalan menuju Karawang menemui Syeh Orah, yaitu seorang guru keturunan Qurais yang menganggap guru kepada Syeh Gunung Jati.

Atas petunjuk Syeh Ora, Walangsungsang pergi menuju Gunung Amparan untuk berguru kepada Syeh Nurjati. Tetapi di tengah perjalanan ia singgah dulu di padepokan agama Budha. Ia belajar agama Budha dari Pandita Danuwarsi sampai paham betul tentang seluk-beluk agama itu.

Dikisahkan Rara Santang akhirnya melaksanakan pula pesan kakaknya. Ia meninggalkan keraton menyusul Walangsungsang. Di Gunung Tangkuban Perahu ia bertemu dengan Nyai Indang Sakiti, yakni adik Prabu Siliwangi. Dari Nyai Indang, Rara Santang memperoleh hadiah azimat baju antakusumah. Khasiat baju tersebut, barangsiapa yang memakai baju tersebut maka ia dapat terbang. Kemudian Rara Santang berganti nama menjai Nyi Batin. Ia meninggalkan Gunung Tangguban Perahu dan pergi ke Gunung Cilawung, atas anjuran Nyi Indang Sakiti. Di Gunung Cilawung Nyi Batin bertemu dengan Sang Banjaran Angganati, seorang pendeta. Sebuah nama diberikan oleh pendeta itu kepada Nyi Batin, ialah nama Nyi Eling.

Pertemuan kakak beradik, Walangsungsang dan Rara Santang terjadi di tempat kediaman pendeta Danu Wargi. Pendeta itu mempunyai seorang anak perempuan bernama Nyi Endang Geulis yang kemudian dikawin oleh Walangsungsang. Walangsungsang diberi sebentuk cincin ampil ali-ali dan nama baru yakni Samadulahi. Walangsungsang terus mencari guru agama Islam. Sampai ada petunjuk terus melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati. Petunjuk itu datang dari raja Bango yang berhasil ditaklukan Walangsungsang ketika ia akan mendapatkan azimat berupa pandil baja. Di Gunung Jati ada Syeh Nurjati, nama lainnya Syeh Nurbayan, cucu Nabi Muhammad. Putra raja Padjadjaran itu menyatakan tunduk kepada Syeh Nurjati dan ia berguru agama Islam. Syeh Nurjati memberi nama kepada Walangsungsang, Cakrabumi.

Pada suatu waktu Syeh Nurjati menengok Walangsungsang di Sembung Luwung. Saat itulah Syeh Nurjati menyuruh Walangsungsang dan Rara Santang untuk pergi ke Baitulloh. Kemudian kedua kakak beradik itu pergi ke Mekah dengan membawa sepucuk surat dari Syeh Nurjati yang dialamatkan kepada Syeh Bayan. Kepada Syeh Bayan inilah Walangsungsang berguru agama Islam.

Dikisahkan Rara Santang diperistri oleh raja Mesir dan mempunyai dua orang anak, ialah Syarif Hidayat dan Syarif Arifin. Adapun Walangsungsang setelah diberi Sorban oleh raja Mesir dan perbekalan di Arab kembali lagi ke Pulau Jawa dengan Nama Abdul Keman. Dalam perjalanannya ia singgah dulu di Aceh. Di sana ia mengobati Sultan Kut dan kawin dengan anak sultan itu.

Diceritakan oleh yang empunya cerita bahwa Syarif Hidayat mencari Nabi Muhammad. Atas pertolongan Abdul Safari dengan memberikan dua buah barang yang berasal dari Malaikat Jibril. Syarif Hidayat dapat mengadakan perjalanan Mi?raj. Ia bertemu dengan Nabi Muhammad dan mengadakan percakapan tentang rahasia hidup dan mati. Atas perintah Nabi Muhammad. Syarif Hidayat akhirnya pergi ke Gunung Jati di Pulau Jawa dan berjumpa lagi dengan ibunya, Rara Santang yang sudah pulang dari Mesir, di Cirebon. Sebelum ia bermukim di Gunung Jati dengan nama Sunan Jati Purba, ia pernah berkelana di Jawa, Madura, Palembang dan Cina.


Kondisi Naskah:
Kecamatan : Wanaraja
Nama Pemegang naskah : Imas Darwati
Tempat naskah : Desa Tegalsari
Asal naskah : pemberian dari Ny. Titi, Cinunuk Garut
Ukuran naskah : 17 x 21.5 cm
Ruang tulisan : 11 x 15 cm
Keadaan naskah : baik
Tebal naskah : 266 Halaman
Jumlah baris per halaman : 13 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 14 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kekuning-kuningan
Keadaan kertas : tebal, halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest

Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?

Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.




Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara

Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan perkampungan Arab Islam tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka para pedagang Arab Islam ini bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu.

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.

Pangeran Cakrabuana, Raden Syarif Hidayatullah, Prabu Kian Santang : Tiga Tokoh Penyebar Ajaran Agama Islam di Tanah Pasundan

Berbicara tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber Sejarah

Sebenarnya banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Pangeran Cakrabuana

Berdasarkan sumber sejarah lokal (seperti Babad Cirebon) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.

Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Prabu Kian Santang
Sebagaimana halnya dengan Prabu Siliwangi, Kian Santang (Ki Hyang Sancang) merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.

Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Raden Syarif Hidayatullah
Seperti telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).


Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Penutup

Demikianlah sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hidayatullah.

Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).

Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Daftar Pustaka
Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
Edi S. Ekajati. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.
Ringkasan isi:
Naskah ini berisi cerita tentang kisah seorang tokoh yang bernama Keyan Santang (Ki Hyang Sancang) putra Raja Padjajaran Sewu. Prabu Siliwangi, yang gagah perkasa kemudian masuk Islam. Ia menyebarkan agama baru yang dianutnya itu di Pulau Jawa dan menetap di Godog, Suci Kecamatan Karangpawitan Garut sampai akhir hayatnya. Nama-nama lain yang disandang tokoh itu adalah Gagak Lumayung, Garantang Sentra. Pangeran Gagak Lumiring. Sunan Rahmat, dan Sunan Bidayah.

Pada suatu hari Keyan Santang berdatang sembah kepada ayahandanya. Ia ingin menyampaikan sesuatu yakni hasrat hatinya untuk dapat melihat darah sendiri. Kemudian baginda memanggil para ahli nujum untuk menanyakan siapa gerangan orang yang sanggup memenuhi keinginan Keyan Santang seperti yang diucapkannya tadi. Para ahli nujum tidak seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan raja. Tetapi kemudian seorang kakek yang sudah tua renta datang menghadap baginda raja dan berkata. "Daulat tuanku, hamba hendak mengabarkan kepada tuanku bahwa sebenarnya ada orang yang dapat memperlihatkan darah raja putra itu. Ialah Baginda Ali di Mekah."

Prabu Siliwangi bertanya, "Siapa kiranya yang akan unggul bila anakku bertarung dengan dia?" Selesai pertanyaan itu diucapkan, maka tanpa memperlihatkan jawaban kakek itu pun lenyap dari pandangan. Menurut yang empunya cerita, kakek itu tak lain adalah Malaikat Jibril.

Nama Baginda Ali terkesan pada hati Keyan Santang. Sekarang ia ingin mencari orang yang memiliki nama itu ke Mekah. Setelah meminta izin dari Prabu Siliwangi dan menyetujuinya untuk berangkat, maka Keyan Santang terbang. Namun ia belum tahu jalan ke Mekah. Baru saja ia tinggal landas, di atasnya terdengar suara tanpa wujud sumbernya, "Engkau bernama Geranta Sentra!"

Setelah itu tampak olehnya seorang putri yang sangat cantik turun dari langit. Terjadilah percakapan antara Keyan Santang dengan putri itu. Kemudian putri itu minta kepada Keyan Santang agar diambilkan bintang-bintang dari langit. Setelah selesai mengucapkan permintaannya itu, maka hilanglah putri itu. Ingin memenuhi permintaan sang putri, Keyan Santang bertambah tinggi terbangnya, ia bermaksud akan memetik bintang. Tetapi malah bintang itu berterbangan jauh ke langit. Keyan Santang tidak putus asa, ia terus mengejar bintang itu hingga akhirnya ia sampai di atas Mekah. Karena Keyan santang demikian bernafsunya ia ingin dapat menangkap salah satu bintang, maka langit di atas Mekah pun menjadi hingar bingar. Suara gaduh itu membuat baginda Ali ingin melihat keadaan langit.

Tak lama kemudian bertemulah Baginda Ali dengan Keyan Santang. Terjadilah percakapan antara mereka. Kata Baginda Ali, "Kau dapat mengambil bintang, asal kau tahu dahulu mantranya." Keyan Santang menanyakan bagaimana bunyi mantra itu. Kemudian Baginda Ali mengucapkan mantra yang berbunyi. "Allohusoli ala nu dimakbul Sayidina Muhammad". Setelah Keyan Santang mengucapkan mantra itu, ia dapat menangkap bintang dari langit. Ternyata bintang itu berupa untaian tasbih.

Diketahui akhirnya oleh putra raja Padjadjaran itu bahwa yang mengajarkan mantra itu adalah baginda Ali yang tengah dicarinya. Timbul keinginan Keyan Santang untuk mengajak bertarung dengan Baginda Ali. Tetapi Baginda Ali sudah tidak ada. Keyan Santang hanya bertemu dengan seorang tua bangka yang sedang membawa tungked (tongkat) dan tiang mesjid. Terjadilah percakapan antara Keyan Santang dengan orang tua itu. Keyan Santang mencoba untuk mencabut tongkat yang ditancapkan oleh orang tua tadi dengan sekuat tenaga hingga tidak disadari darah bercucuran keluar melalui pori-pori kulitnya dan tetap saja tongkat itu tidak berhasil dicabut, Setelah diketahui bahwa orang tua itu tidak lain adalah Baginda Ali, maka Keyan Santang pun menyatakan takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam. Keyan Santang berganti nama menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah.

Keyan Santang pun memeiliki tugas untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Prabu Siliwangi menolak bahkan tidak mau memeluk agama Islam. Kemudian dengan jalan menembus bumi raja Padjadjaran itu pergi dari Padjadjaran Sewu. Sementara itu para bangsawan Padjadjaran bersalin rupa menjadi bermacam-macam jenis harimau. Sedangkan keraton serta merta berubah menjadi hutan belantara. Konon harimau-harimau itu menuju hutan Sancang mengikuti Prabu Siliwangi.

Sementara itu Sunan Rahkmat meng-Islamkan rakyat yang ada di Batulayang, Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Godog, Curug Sempur, dan Padusunan. Sewaktu itu Sunan Rahmat kawin dengan Nyi Puger Wangi yang berasal dari Puger. Dari Puger Wangi Sunan Rahmat mempunyai anak kembar, kedua-duanya laki-laki, kakaknya bernama Ali Muhammad dan adiknya Pangeran Ali Akbar. Sayang sekali tak lama kemudian setelah melahirkan Nyi Puger Wangi meninggal dunia.

Dalam kesedihan karena ditinggal istri, Sunan Rahmat terus menyiarkan agama Islam di Karang Serang, Cilageni, Dayeuh Handap, Dayeuh Manggung, Cimalati, Cisieur, Cikupa, Cikaso, Pagaden, Haur Panggung, Cilolohan, warung Manuk, Kadeunghalang, dan Cihaurbeuti. Pada suatu saat pernah pula Sunan Rahmat berangkat lagi ke Mekah.

Waktu akan pulang lagi ke Jawa, Sunan Rahmat dibekali tanah Mekah yang dimasukan ke dalam peti. Di dalam peti itu diletakkan pula sebuah buli-buli berisi air zam-zam. Selain itu Sunan Rahmat diberi hadiah kuda Sembrani oleh ratu Jin dan Jabalkop.

Alkisah disebutkan bila peti itu gesah (bergoyang) di suatu tempat di Pulau Jawa, maka itulah tandanya Sunan Rahmat mesti berhenti. Di sanalah ia mesti bermukim. Adapun menurut yang empunya cerita, tempat bergoyangnya peti itu di Godog. Itulah sebabnya Sunan Rahmat yang nama aslinya Keyan Satang dimakamkan di Godog Karangpawitan Garut.



Menguak Konsep Kosmologi Sunda Kuno
kaping: 2/05/2013 01:50:00 AM
Pada zaman kuno (masa pra-Islam) orang Sunda memiliki konsep tersendiri tentang jagat raya. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara konsep Sunda asli, ajaran agama Budha, dan ajaran agama Hindu. Uraian mengenai hal ini antara lain terdapat dalam naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak 422 yang kini tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua naskah yang ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis sekarang.

Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar Sunda dan barang pusaka lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu kota kerajaan mereka (Pakuan Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang dan diduduki oleh pasukan Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah lontar lainnya, kedua naskah lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A. Kusumadiningrat (memerintah tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum Nasional sekarang) pada perempatan ketiga abad ke-19.

Kosmologi Sunda kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam, yaitu bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan neraka.

Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai penghuni buana niskala. Di samping itu, penghuni buana niskala lainnya di antaranya 9 dewi, seperti Dewi Tunyjung Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang, Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang disebutkan namanya, antara lain Bidadari Tunyjung Maba, Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala, Bidadari Sedajati.

Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan tugas/kewenangannya berbeda.

Kosmologi Sunda kuna berbeda dengan kosmoligi Islam. Dalam ajaran Islam jagat raya digambarkan terdiri dari 5 alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Kosmologi menurut konsep Islam cenderung didasarkan pada urutan kronologis kehidupan manusia (dan makhluk lainnya). Alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.

Jika kosmologi Islam mencerminkan gambaran urutan kronologis kehidupan manusia, kosmologi Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya dan tingkat kegaibannya. Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula tinggi-rendah kedudukannya, baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda kuna tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala). Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu (1) kembali ke alam dunia dalam wujud yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan, tumbuhan atau benda lainnya sesuai dengan kepercayaan reinkarnasi) dan (2) menuju alam niskala, bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian mahadewa).

Yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan larangan ajaran agama, ia akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan dengan larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan. Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu didambakan oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia mati mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan situasi dan kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku, dan perbuatannya di alam dunia.

Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling tinggi derajatnya.

Kropak 420 membuka penuturannya dengan pernyataan dan pertanyaan, "Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya, maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?" (Berjalan teriring rasa senang, saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah harus meminta tolong?).

Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala), "Ka saha geusan ngahiras, di sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati mahapandita," (Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di niskala, terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat mahapandita).

Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup di bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri kehidupan di bumi sakala bahwa, "Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa utama, beunang ku rasa wisisa." (Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita, terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan mulia).

Ajaran moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara pendeta utama dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah Sanghyang Sri (penjaga alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya bagaikan dewa.

Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.

Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi pendeta, janganlah hanya mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan sejati.

Nasihat pendeta utama yang lain adalah "Mulah cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak ngabigal, mati-mati uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag, pregi ngajuk ngajalanan," (Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak menghalangi, menggertak merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak berdosa, iri dengki melukai memukul, berani mengawali berutang). Adapun berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut rumput dan berbagai umbi, berbagai dedaunan tak pernah kurang, ilalang arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut sarba beuti, tangtarukan tada kurang, kusa madi sarba pala).

Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala, tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon, dan makhluk halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak dibatasi oleh keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada teks Kropak 422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna, menurut naskah ini, adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di Kahyangan (surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak yang lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Kalaupun mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus mengalami reinkarnasi di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah dari manusia.

Bahwa yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati) terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan, kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya sendiri. Rumusannya adalah, "Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana premana aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip hurip aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap aing." (Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri, kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku sendiri, kalaulah itu terlal u berkuasa, sebab kesentosaan kesentosaanku sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku sendiri, ucapan ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).

"Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan aing, hamwa waya nu leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika hanteu nu ngawisisa aing, ka pangikuna aci jatinistmen." (Ah begitu berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku, tak mungkin ada yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada yang suci lebih dariku, sehingga mustahil ada yang menguasaiku, sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati).

Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud kekuasaannya luar biasa sehingga, "Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana pemaga, na jati tan hana urip." (Berhasillah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan).

Salah satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi berwujud jenis wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan, menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang Sri dengan ciri-cirinya, "Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu bidito hurip, ti nu hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu alit niskala, ti nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata." (Dari yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh sejahtera, dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari yang indah halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang sempurna bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).

Di dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa benar itu artinya, jika, "Bayu dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap dihdapan deui, hurip dihuripan deui, hirang dihirangan deui, jati dijatyan deui, niskala diniskalaan deui, alit dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui, talinga ditalingakeun deui, leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun deui." (Kekuatan diper kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan dirasakan lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi, pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi, sadar disadarkan lagi).

Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.


Oleh EDI S. EKADJATI - Pikiran Rakyat, Kamis, 2 Juni 2005 
Penulis Ketua Badan Pengurus Pusat Studi Sunda dan Guru Besar pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad.



Agama Asli Ageman Urang Sunda Baheula

Seueur pisan rerencangan (sanes urang sunda) nu naroskeun ka kuring, soal "Naon sabab urang sunda mayoritas agamana Islam jeung kunaon mani babari pisan ngagem kana ajaran Islam?"



Inget kana pertarosan ieu, minggon kamari nuju boboran di ciamis, kuring ngahajakeun silaturahim kanu jadi guru di hiji lembur di lereng gunung papandayan - garut, waktuna paamprok sareng pun guru pok we ku kuring teh ditarosan ku pertarosan nu diluhur tadi, anjeuna ngajawab singket pisan, cenah :
"Da islam mah memang agamana urang sunda, urang sunda asli geus pasti agamana islam." 
kuring bingung, ku kuring ditaros deui naon maksudna, tuluy anjeuna nyarios deui :
"Samemeh datangna aqidah Islam anu mawa ajaran Tauhid, urang sunda mah geus leuwih tiheula Nauhid, urang sunda baheula ngan nyembah jeung muja ka hiji Sanghyang Widi (gusti nu ngawidian / tuhan yang memiliki kehendak atau yang memberikan izin) nyaeta gusti nu ngagaduhan Widi, atawa sok disebut oge Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atawa Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). oge sok disebut Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), jeung Batara Seda Niskala (Yang Gaib). anu nempat di Buana Nyungcung (Sidrotul-Muntaha). tah sanggeus datangna Islam ka tatar Sunda diperjelas we ku Sifat Wahdaniahna Gusti dina ajaran Tauhid nu nerangkeun sifat Wajib jeung Mustahilna Allah (Sanghyang Widi - ceuk urang sunda)."

Jadi ringkesna mah, "Tibaheula ge urang sunda mah geus wawuh ka Allah nyaeta kanu hiji nu dipikagusti, tegesna Sanghyang Widi teh Allah tea anu ngagaduhan widi. Matak mun diajak nyembah pangeran anu aya 3 atawa lewih loba teh moal daraekeun, iwal ti nu barodo jeung nu kadaresek ku haliah dunya." kitu saur anjeuna. Sanajan cariosanana rada beda sareng nu kacatet dina sejarah kanekes perkawis ngahyang/tilem (nyaeta puncakna elmu dina tarekat sunda buhun, samemeh datangna Islam nu jadi panyampurna sakabeh ajaran para Nabi anu jumlahna aya 124.000), ieu jadi bahan fikiran keur kuring, bisa jadi pangna disebut Parahyangan ge meureun baheulana para Nabi anu nga-hyang teh seuseurna ti Tataran Sunda. jeung bisa jadi penganut sunda wiwitan anu teu narima kana islam teh saking ku sieunna kaleungitan ajaran buhun bari manehna can nyaho yen datangna Islam teh keur Nyampurnakeun ajaranana.



Benarkah Ki Sunda Sudah Terpuruk?

Saat ini banyak kalangan di tatar Sunda mengulas tentang keberadaan Ki Sunda. Pada umumnya mereka mengulas tentang memudarnya jati diri Ki Sunda yang seolah telah hilang atau ditinggalkan oleh sebagian besar Ki Sunda khususnya oleh generasi muda karena bermacam sebab. kekecewaan demi kekecewaan tercetus karena merasa bahwa Ki Sunda saat ini sudah mulai terpuruk dan keberadaannya bagai jati kasilih ku junti, benarkah demikian?

Sejarah tatar Sunda, sepenggal kecil wilayah dari sekian luas kawasan nusantara, kepulauan terbesar di dunia, sejak dahulu kala konon sudah banyak disinggahi para pendatang dari berbagai belahan bumi, seakan memiliki pesona dan magnet yang mampu menyedot para pendatang untuk datang dan bermukim di sini. Pembauran ras dan budaya bercampur aduk, secara bertahap berkembang membentuk budaya baru dan baru lagi. Budaya yang selalu dinamis berkembang mengikuti perjalanan waktu, mulai dari pola pikir dan pola hidup yang paling sederhana sampai kepada pola yang kita jalani di abad 21 ini.

Sejarah mencatat bahwa langkah Ki Sunda telah berjalan menempuh rentang waktu yang amat panjang, konon sejak zaman Aki Tirem di ujung barat tatar Sunda di abad pertama masehi sampai saat ini. Kebangkitan dan keterpurukan Ki Sunda dari masa ke masa bergulir silih berganti, berfluktuasi sejalan dengan peran para tokoh sejarahnya. Berbagai episode telah menghias ilustrasi perjalanan skenario sejarah di tatar Sunda.

Salah satu episode yang paling dikenal oleh masyarakat Sunda adalah era Pajajaran (1482 M-1579 M) yang pernah mengalami masa kejayaan pada zaman pemerintahan pendirinya Prabu Siliwangi (1482 M-1521 M) dan kemudian terpuruk sampai pada total kehancurannya di tahun 1579 M akibat ulah para generasi penerusnya.

Tome Pires, orang Portugis yang berkunjung ke Pakuan tahun 1513 M, menyebutkan Sunda sebagai "negeri ksatria dan pahlawan laut". Menurutnya, orang Sunda menarik (goodly figure), ramah, tinggi kekar (robust), dan they are true man (orang jujur). "The Kingdom of Sunda is justly governed" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil).

Menurut cerita Parahiyangan, Purbatisti purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa (Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Oleh karena itu, tidak akan kedatangan musuh lahir dan musuh batin. Bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera). Tahun 1521 M, Prabu Siliwangi wafat dan dipusarakan di Rancamaya setelah memerintah selama 39 tahun.

Penggantinya, Surawisesa Sang Putera Mahkota naik tahta. Pada saat pemerintahan ayahnya, dia dua kali diutus sebagai duta Pajajaran untuk menjalin persahabatan dan hubungan dagang dengan Alfonso d'Albuquerque, raja muda Portugis di Malaka. Perjalanannya ke Malaka ini digubah oleh pujangga pantun menjadi cerita Raden Mundinglaya Dikusumah.

Pada era pemerintahannya, pecah perang saudara antara Pajajaran dan Cirebon. Galuh dikalahkan dan dikuasai Cirebon yang dibantu Demak sehingga Surawisesa hanya menguasai dan mempertahankan wilayah kerajaan Sunda, warisan dari kakeknya. Perang yang berlangsung selama 5 tahun itu berakhir dengan perdamaian. Surawisesa wafat pada tahun 1535 M dan dipusarakan di Padaren.

Putera Surawisesa, Ratu Dewata menggantikan ayahnya. Ia sangat alim (lumaku ngarajaresi) dan merasa aman karena sangat percaya pada jaminan perjanjian damai yang dibuat ayahnya dengan Cirebon. Namun Banten, sekutu Cirebon, kurang setuju terhadap isi perjanjian karena hanya aman bagi Cirebon, tapi kurang aman bagi Banten. Agar tidak melanggar perjanjian, Banten membentuk pasukan tambuh sangkane (tanpa identitas) untuk menyerang Pakuan, namun benteng yang dibangun Sri Baduga sulit ditembus. Ratu Dewata wafat tahun 1543 M setelah memerintah selama 8 tahun (1535 M-1543 M) dan dipusarakan di Sawah Tampian Dalem.

Ia digantikan oleh putranya, Pangeran Sakti. Berbeda dengan ayahnya, raja ini memerintah tanpa mempedulikan norma-norma pemerintahan. Membunuh orang tak berdosa, merampas harta rakyat, tidak berbakti kepada orang tua dan menghina para pendeta. Raja ini diturunkan dari tahta setelah memerintah selama 8 tahun (1543 M-1551 M). Dan setelah wafat, ia dipusarakan di Pengpelengan.

Anaknya, Nilakendra menggantikan sang ayah. Dalam pemerintahannya, Pajajaran sudah demikian rusak. Setiap saat berpesta-pora dan mabuk-mabukan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa-kilang (air memabukkan menjadi penyedap makan dan minum). Tatan agama gyang kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar (Tidak ada ilmu yang disukai kecuali makan lezat sesuai dengan kekayaannya).
Ajaran tentang nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang (makan sekadar pelepas lapar, minum tuak sekadar pelepas dahaga) telah ditinggalkan. Semua itu terjadi dalam keadaan kerajaan terancam musuh dan rakyat kelaparan. Tiba saatnya kaliyuga, yaitu zaman yang penuh kejahatan dan kemaksiatan yang kemudian akan diikuti oleh pralaya (kehancuran). Dalam keadaan demikian Nilakendra bersama pengikutnya meninggalkan kerajaan. Tidak diketahui di mana raja ini wafat dan dipusarakan setelah memerintah selama 16 tahun (1551 M-1567 M).

Ragamulya Suryakancana, raja terakhir, mengungsi bersama pengikutnya ke Kadu Hejo di lereng Gunung Pulasari Pandeglang. Ia bertahan di salah satu kerajaan daerah dan gugur di sana sebelum pasukan gabungan Banten-Cirebon menghancurkan Pajajaran. Konon benteng Pakuan dapat ditembus karena adanya pengkhianatan "orang dalam".

Setelah itu, Pakuan tidak ada beritanya lagi. Reruntuhannya ditemukan sebagai puing dalam keadaan kosong tanpa penghuni oleh pasukan ekspedisi Kumpeni Belanda pimpinan Sersan Scipio pada 1 September 1687  M.
Dari episode di atas, dapat kita simpulkan bahwa betapa pun Prabu Siliwangi membawa Pajajaran ke jenjang zaman keemasan, membangun benteng pertahanan yang sangat kuat, namun akibat mental dan prilaku penerusnya, Pajajaran harus mengalami kehancuran. Beberapa episode lainnya tak kalah tragis bahkan juga memalukan, namun episode di atas rasanya cukup mewakili sebagai pembanding keberadaan kita di era Sunda kiwari.

"Sunda kiwari" 

Saat ini kita dapat melihat dan merasakan fenomena kaliyuga yang menimpa Ki Sunda walau dalam bobot dan versi yang berbeda.Kemaksiatan, kerakusan, pengkhianatan, anarkis telah membayang-bayangi. Banyak motif yang menjurus kepada kehancuran, antara lain pola hidup konsumtif yang berlebihan yang kemudian berdampak di antaranya kepada perilaku korupsi, pelecehan seksual, dan narkoba. Tentu kita berharap tidak terjadi pralaya, keterpurukan, atau kehancuran seperti yang pernah dialami leluhur kita dan ini perlu kita
tafakuri, patut dijadikan cermin agar flek-flek yang tampak pada wajah kita dapat segera diobati, diprotek sebelum menjadi parah.

Keberadaan Ki Sunda kiwari dan masa datang sangat bergantung kepada Ki Sunda sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu sendiri tidak mengubah nasibnya. Sudah saatnya kini Ki Sunda paheuyeuk-heuyeuk leungeun membangun kembali Benteng Pajajaran yang tangguh.

Ki Sunda, baik pituin maupun mukimin harus sejalan menjunjung tinggi budaya tatar Sunda. Kita gali dan pelihara bersama budaya warisan para leluhur yang ada, namun wayahna harus rela meninggalkan kultur yang selalu membuat kita statis, menghambat kemajuan, dan mulai menerima segala perubahan dengan lapang dada sehingga kita tidak selalu ketinggalan langkah.

Kita belum terpuruk dan kita belum kehilangan jati diri, namun harus kita sadari bahwa Ki Sunda kini sedang dalam proses metamorposis untuk menjadi Ki Sunda baru yang tidak lagi ku'uleun atau yang betah berkutat dalam alam feodal warisan masa lalu. Ki Sunda harus menjadi komunitas yang tangguh dan mampu beradaptasi dengan segala kondisi setiap saat. Budaya Mataram yang dominan memengaruhi identitas Ki Sunda selama berabad-abad, khususnya yang ribet (tidak praktis) kini tengah berada pada titik puncak perubahan dan mulai ditinggalkan. Jadi tidak perlu heran jika perubahan terjadi dan ini akan terus dan terus berlanjut di masa yang akan datang. Pada era teknologi dan informasi saat ini waktu sangat berharga, sehari saja kita tertinggal, kita sudah menjadi manusia masa lalu.

Kita tidak perlu pesimistis. Hanya dengan rasa memiliki (sense of belonging) dan semangat yang tinggi, Ki Sunda akan tetap eksis. Ki Sunda akan tetap Ki Sunda di mana pun berada walau dikelilingi budaya mana pun.

Memang tidak banyak Ki Sunda yang peduli terhadap keberadaannya karena kebanyakan sibuk dengan kepentingannya dalam usaha mempertahankan hidup, namun dari yang sedikit ini kita sangat berharap banyak. Saat ini kita berpacu dengan waktu, juga dengan komunitas lain. Kita harus berusaha tegas dan berjuang keras agar tidak selalu ketinggalan langkah sehingga istilah jati kasilih ku junti bagi keberadaan Ki Sunda tidak pernah kita dengar lagi. Ki Sunda harus kembali mengesankan bagi orang lain maupun orang asing seperti halnya kesan Tom Pires di abad 16M.

Hanya dengan ketulusan dan kebersihan hati serta tekad yang kuat kita akan menggapai suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa (bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera), seperti yang pernah dialami pada zaman keemasan Pajajaran di masa silam. Insya Allah.


Istilah Hyang Dalam Sunda
kaping: 12/25/2012 10:22:00 AM
Pada masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali kuno, kekuatan alam tak kasat mata dan roh leluhur ini diidentifikasi sebagai "hyang". Roh leluhur ini menghuni tempat-tempat yang tinggi, seperti gunung dan bukit. Tempat-tempat ini disucikan dan dimuliakan sebagai tempat jiwa leluhur bersemayam.

Dalam bahasa Sunda istilah "nga-hyang" berarti "menghilang", "tilem" atau "tak terlihat". Diduga kata ini memiliki kaitan kebahasaan dengan kata "hilang" dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Pada perkembangannya istilah "hyang" menjadi akar kata beberapa nama, sebutan, dan istilah yang hingga kini masih dikenal di Indonesia:

Gelar: Jika disandingkan dengan kata panggil atau sebutan Sang-, Dang-, Ra-; menjadi kata Sanghyang, Danghyang, atau Rahyang, kata ini menjadi sebutan kehormatan untuk memuliakan dewa atau leluhur yang sudah meninggal. Sebagai contoh kata Sanghyang Sri Pohaci dan Sang Hyang Widhi merujuk kepada dewa-dewi, sedangkan gelaran Rahyang Dewa Niskala merujuk pada nama seorang raja Kerajaan Sunda yang telah meninggal. Disamping itu istilah Danghyang atau Danyang merujuk pada roh-roh penunggu tempat-tempat tertentu. Nama raja pendiri kemaharajaan Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, juga mengandung nama "hyang" yang menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan adikodrati.

Tempat: Ranah tempat para hyang bersemayam disebut Kahyangan yang dibentuk dari susunan kata ka-hyang-an. Kini kahyangan diidentikkan dengan surga. Karena adanya kepercayaan bahwa hyang menghuni tempat-tempat yang tinggi, maka wilayah pegunungan kerap kali dianggap sebagai tempat hyang bersemayam. Nama tempat seperti Parahyangan merujuk pada jajaran pegunungan di Jawa Barat. Berasal dari gabungan kata para-hyang-an, para menunjukkan bentuk jamak, sedangkan akhiran -an menunjukkan tempat, jadi Parahyangan berarti tempat para hyang bersemayam. Kata parahyangan juga dikenal sebagai salah satu jenis pura Hindu Bali, pura parahyangan adalah pura yang terletak di pegunungan sebagai sandingan pura segara yang terletak di tepi laut. Pegunungan Dieng di Jawa Tengah juga memiliki akar kata di-hyang yang juga berarti "tempat hyang".


Kerja: Kata sembahyang dalam bahasa Indonesia kini disamakan dengan kegiatan ibadah atau salat dalam agama Islam. Sesungguhnya istilah ini memiliki akar kata sembah-hyang yang berarti menyembah hyang. Tari Bali yang sakral Sanghyang Dedari menampilkan gadis muda yang kerasukan hyang.

Konsep "hyang" berasal dari sistem kepercayaan masyarakat Indonesia asli, bukan berasal dari konsep spiritual Hindu-Buddha India.


Masyarakat di kepulauan Nusantara sebelum masuknya ajaran Hindu, Buddha dan Islam, percaya akan keberadaan suatu entitas tak kasat mata yang memiliki kekuatan gaib yang dapat mengakibatkan hal baik maupun buruk dalam kehidupan manusia. Mereka juga percaya bahwa roh leluhur yang sudah meninggal tidak menghilang dan pergi begitu saja, tetapi turut berperan serta dan memengaruhi kehidupan keturunannya yang masih hidup. Leluhur yang sudah meninggal dianggap memiliki kekuatan supranatural yang mendekati kekuatan para dewa. Karena itulah pemuliaan terhadap leluhur menjadi unsur penting dalam kepercayaan masyarakat asli Indonesia, seperti ditemukan dalam sistem kepercayaan suku Nias, Dayak, Toraja, suku-suku di Papua, dan berbagai suku lainnya di Indonesia.