Catatan Sunda
Tadinya saya hanya mencari-cari asal-usul nama jalan di
seputaran Dago, yaitu jalan Purnawarman, Sawunggaling, Mundinglaya,
Ciungwanara, Ranggagading, Ranggamalela, Ranggagempol, Hariangbanga, Geusan
Ulun, Adipati Kertabumi, Dipati Ukur, Suryakancana, Wira Angunangun,
Ariajipang, Prabu Dimuntur, Bahureksa, Wastukancana, Gajah Lumantung,
Sulanjana, Badaksinga, Bagusrangin, Panatayuda, dan Singaperbangsa. Tidak
banyak yang saya dapat dari pencarian Google, juga tidak punya buku referensi
untuk saya dongengkan kembali. Jadi hanya saya tulis asal-usul Sunda saja,
mungkin nanti saya temukan juga dongeng atau pun sejarah tentang nama-nama
jalan di atas.
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam
tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara.
Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman
Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun
670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya
nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali,
Pakuan atau Pajajaran).
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk
memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin
menghindarkan perang saudara, Maharaja Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh.
Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas (Cianjur ke Barat
wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah Galuh).
Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh
adalah sebagai berikut:
Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
Galuh Pakuan beribukota di Kawali - Ciamis
Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang
Gili
Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang
Pangramesan
Galuh Kalangon berlokasi di Alas Roban beribukota Medang
Pangramesan
Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang
Kamulan
Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar
Pataruman
Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan
Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau
Sena. Purbasora –yang termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta
Galuh di tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena
melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu
Kalingga).
Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora.
Sanjaya mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu
Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora diserang habis-habisan hingga yang
selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu Balangantrang.
Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik
tahta juga sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di
Sundapura. Sunda-Galuh disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan
kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang
memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada
Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani,
bahkan disebut rajaresi karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat
seperti Purnawarman. Premana menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan
Sunda– sebagai ikatan politik.
Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari
orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian
kekuasaan antara putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh
menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung
diperintah oleh Resiguru Demunawan.
Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan
dipegang oleh Tamperan yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan
terlibat skandal dengan Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat
disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang
bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh
Balangantrang.
Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam.
Dalam cerita rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger
Sunten yang dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam,
semua ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua
orang tuanya hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan
Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.
Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin
Medang atas titah ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah
sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan
akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja
Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan
kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik
tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan
yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat
pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara
tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh
iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung
karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari
faktor inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya
disampaikan.
Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota
mulai bergeser ke arah timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali
tempat air). Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu
Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra
mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan.
Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di
Pakuan, kembali ke Jawa Timur.
Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga
jaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali
kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak
gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak
peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat
keraton Majapahit.
Menurut Kidung Sundayana, inti kisah Perang Bubat adalah
sebagai berikut, dikutip dari Jawa Palace:
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra
perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama,
berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan.
Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya
sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur
negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa
demikian..? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri. Konon ceritanya, ia
menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja
Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar
putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.
Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang
bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau
satu, jiwanya yang senantiasa menjerit meminta pada yang kuasa akan kehadiran
jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang
memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.
Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus
untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan
Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima,
direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat
menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba
dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk
bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya.
Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah
Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu
tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali
Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia
menganggap putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari
pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam
dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling
ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara
keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena
bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang
mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat
menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian
inti Kidung.
Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana,
turun temurun hingga beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami
keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut
sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan
kembali ibukota pindah ke barat.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran
memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah
sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah Jung (kapal laut
model Cina) untuk perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis
Pariaman mencapai 4000 ekor / tahun).
Selain tahun 1511 Portugis menguasai Malaka, VOC masuk Sunda
Kalapa, Kerajaan Islam Banten, Cirebon dan Demak semakin tumbuh membuat
kerajaan besar Sunda-Galuh Pajajaran semakin terpuruk hingga perlahan-lahan
pudar, ditambah dengan hubungan dagang Pajajaran-Portugis dicurigai kerajaan di
sekeliling Pajajaran.
Setelah Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran memudar
kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan Pajajaran mulai bangkit dan
berdiri-sendiri, salah satunya adalah Kerajaan Sumedang Larang (ibukotanya kini
menjadi Kota Sumedang). Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Geusan
Ulun Adji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh
dipindahkan kembali ke Pakuan Pajajaran, Bogor.
Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami
kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama (terutama penyebaran
Islam), militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608,
putranya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata / Rangga Gempol I atau yang
dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa naik tahta. Namun, pada saat Rangga
Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620M Sumedang Larang dijadikan
wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai
‘kerajaan’ diubah menjadi ‘kabupaten’.
Sultan Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta
pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan
pemerintahan sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede. Hingga
suatu ketika, pasukan Kerajan Banten datang menyerbu dan karena setengah
kekuatan militer kabupaten Sumedang Larang diberangkatkan ke Madura atas titah
Sultan Agung, Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten dan
akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia
menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada
Dipati Ukur. Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk
bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di
Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan
Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa
ia kabur dari pertanggungjawabannya dan akhirnya tertangkap dari
persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah
Priangan.
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan
kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang, sedangkan wilayah Priangan di
luar Sumedang dan Galuh (Ciamis) dibagi kepada tiga bagian; Pertama, Kabupaten
Bandung, yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraangunangun, kedua, Kabupaten
Parakanmuncang oleh Tanubaya dan ketiga, kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh
Tumenggung Wiradegdaha atau R. Wirawangsa atau dikenal dengan “Dalem Sawidak”
karena memiliki anak yang sangat banyak.
Selanjutnya Sultan Agung mengutus Penembahan Galuh bernama
R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III
(anak Prabu Dimuntur, keturunan Geusan Ulun) untuk menduduki Rangkas Sumedang
(Sebelah Timur Citarum). Selain itu juga mendirikan benteng pertahanan di
Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan. Setelah mendirikan
benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat.
Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi
daerahnya berawa-rawa, karawaan.
Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati
Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang,
pada Tahun 1656M. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan
Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Pada masa
pemerintahan R. Anom Wirasuta putra Panembahan Singaperbangsa yang bergelar
R.A.A. Panatayuda Iantara Tahun 1679M dan 1721M ibu kota Karawang dari
Udug-udug pindah ke Karawang. Stop..!! kepanjangan ceritanya.. ^_^
Jadi nama jalan Sawunggaling, Mundinglaya, Ranggagading,
Ranggamalela, Suryakancana, Ariajipang, Bahureksa, Gajah Lumantung, Sulanjana,
Badaksinga dan Bagusrangin belum saya temukan dongeng atau sejarahnya, sebagian
kalau tidak salah ingat adalah tokoh-tokoh dalam cerita rakyat Lutung Kasarung.
Pepeling
Papatah Ti Kolot Baheula, anu pituduh dina kahirupan di dunya ... 1. Sacangreud pageuh sagolek pangkek (Commitment, menepati janji &
consitent).
2. Kudu hade gogod hade tagog (Appearance harus dijaga agar punya
performance yg oke dan harus consitent dengan perilakunya .
3. Kudu silih asih, silih asah jeung silih asuh (harus saling
mencintai, memberi nasihat dan mengayomi).
4. Ulah ngaliarkeun taleus ateul (jangan menyebarkan isu ,memfitnah)
5. Bengkung ngariung bongok ngaronyok (dalam hal menghadapi
kesulitan/ problems/ masalah harus dipecahkan bersama).
6. Mulih kajati mulang kaasal (semuanya berasal dari Yang Maha Kuasa
yang maha murbeng alam, semua orang akan kembali keasalnya).
7. Dihin pinasti anyar pinanggih (semua kejadian telah ditentukan
oleh Yang Maha Kuasa yang selalu menjaga hukum-hukumnya).
CANGGREUD
Bila Subuh Utuh,
Pagi tumbuh, hati teduh, pribadi tidak angkuh, keluarga tidak keruh, maka damai berlabuh.
Bila Dhuhur Teratur,
Diri jadi jujur, hati tidak kufur, rasa hati selalu bersyukur, amal ibadah tidak udzur, keluarga akur, maka hidup jadi makmur.
Bila Asar Kelar,
Jiwa jadi sabar, raga jadi tegar, senyum menyebar, maka rezeki jadi lancar.
Bila Maghrib Tertib,
Ngaji jadi wajib, wirid jadi tertib, jauh dari aib, maka syafaat jadi karib.
Bila Isya Terjaga,
Malam bercahaya, gelap tidak terasa, hidup damai sejahtera, bahagia selamanya.
Semoga kita dapat istiqomah menjalaninya.
Aamiin...
Pagi tumbuh, hati teduh, pribadi tidak angkuh, keluarga tidak keruh, maka damai berlabuh.
Bila Dhuhur Teratur,
Diri jadi jujur, hati tidak kufur, rasa hati selalu bersyukur, amal ibadah tidak udzur, keluarga akur, maka hidup jadi makmur.
Bila Asar Kelar,
Jiwa jadi sabar, raga jadi tegar, senyum menyebar, maka rezeki jadi lancar.
Bila Maghrib Tertib,
Ngaji jadi wajib, wirid jadi tertib, jauh dari aib, maka syafaat jadi karib.
Bila Isya Terjaga,
Malam bercahaya, gelap tidak terasa, hidup damai sejahtera, bahagia selamanya.
Semoga kita dapat istiqomah menjalaninya.
Aamiin...
Tinangtu hate teduh, pribadi tidak angkuh, keluarga tidak keruh, maka damai berlabuh.
IKET SUNDA
“Nu lima diopatkeun.
Nu opat ditilukeun. Nu tilu diduakeun. Nu dua, dihijikeun. Nu hiji jadi kasep (Yang lima dijadikan empat. Yang empat
dijadikan tiga. Yang tiga dijadikan dua. Yang dua dijadikeun satu. Yang satu
menjadi tampan)”.
Kalimat itu diucapkan pengajar
Filsafat Seni, Prof Yakob Sumardjo saat mengajar mahasiswa pascasarjana di
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Kota Bandung. Menurut dia, filsafat Sunda
selalu merujuk alam.
Apakah kalimat tadi
dikenal di kalangan orang Sunda maka kini? Mungkin iya, mungkin juga tidak.
Mari melihat ke fenomena yang muncul kini, saat iket menjadi tren di kalangan
anak muda. Iket semula digunakan oleh masyarakat adat, namun sekarang tak lagi
demikian. Anak-anak muda dengan berbagai macam motif dan gaya memakai iket
tampak di setiap sudut Kota Bandung. Ada apakah ini?
Terlalu banyak
pertanyaan yang muncul. Tokoh masyarakat Sunda, Eka Santosa, mengurai sejumlah
jawaban yang memungkinkan hal itu terjadi. Menurut Eka, fenomena ini terjadi
secara alami. Ini menunjukkan adanya kerinduan akan tata nilai-nilai local.
“Penyebabnya pada kejenuhan akan modernisasi yang tidak menyelesaikan masalah.
Yang ada malah merumitkan tradisi, sehingga ada keinginan kembali pada tata
nilai tradisional,” katanya.
Iket yang dipakai oleh
generasi sekarang adalah sebagai sebuah identitas. Mereka sengaja menciptakan
kekhasan iket yang mereka pakai untuk menunjukkan siapa mereka. “Padahal,
pemakaian iket itu penuh dengan pemaknaan diri,” ujar Eka.
Dia member contoh di
tengah masyarakat Baduy yang menjadikan iket sebagai identitas diri sejak
lampau. Orang bias membedakan dengan mudah dari Baduy manakah seseorang dilihat
dari iket yang dipakainya. Selain itu, iket juga merupakan komitmen pada diri
yang harus terus terjaga.
Budayawan Sunda Nana
Munajat menerjemahkan iket sebagai batasan pada diri yang memakainya. Iket yang
dipasang di kepala orang Sunda, secara filosofis menandakan agar pemakainya
tidak ingkah (lepas) dan ngencar(lepas) dari kasundaan.
“Iket itu sebagai ikatan bagi pemakainya,” ucapnya.
Kebanggaan memakai
iket sekarang tinggal diarahkan pertanggungjawabannya melestarikan budaya
local. Namun, tidak bias dimungkiri iket juga menghadirkan berbagai macam
kreativitas gaya memakainya. Dulu, menurut Nana, dikenal tujuh gaya memakai
iket, di antaranya parekos nangka, lohen, tutup liwet atau julang ngapak, barangbang semplak, balukar peunggas, sampai, dan kole nyangsang.
“Munculnya banyak gaya memakai iket untuk kreativitas itu sah-sah saja. Karena
iket juga tidak bisa diklaim begitu saja
sebagai milik masyarakat Sunda. Daerah lain juga memiliki. Yang membedakan
hanyalah cara berpikir yang mesti selaras dengan pakaian yang digunakan,” kata
Nana.
(A = Barangbang Semplak), (B = Julang Ngapak), (C = Mahkota Wangsa), (D = Candra Sumirat), (E = Koncer), (F = Kole Nyangsang), (G = Kampung Adat Dukuh), (H = Parekos Jengkol), (I = Parekos Gedang), (J= Parekos Nangka),
(K =
Kebo Modol), (L =
Buaya Ngangsar)
Nana juga
mengapresiasi keinginan pemerintah mewajibkan memakai iket. Namun tidak hanya
memakai, diisi pula makna dari iket itu. “Untuk apa kepala dipakaikan iket
kalau isinya tetap ngencar. Fungsi iket itu kan, agar kita tidak ingkah dari budaya dan agama,“ tutur Nana.
Kalimat yang diucapkan
Prof. Yakob Sumardjo tadi sudah dikenal oleh orang Sunda sejak di masa lampau.
Kalimat itu pula yang mudah diingat ketika melipat kain iket sunda untuk
dipasangkan di kepala. Yakob mengatakan filsafat alam itu pula yang ada dalam
iket. Ia menggambarkan iket itu sebagai mandala (mata angin) yang memiliki
pusat di bumi. Itu pula digambarkan dalam warna-warna dasar iket yang selalu
dekat dengan alam. “Ketika dari lima menjadi satu, maka ia berusaha mendekatkan
diri dengan Tuhan yang satu. Setelah dekat dengan Tuhan, maka pemakainya akan
tampan luar dalam,” ucap Yakob.
Hal senada juga
diungkapkan salah seorang pendiri Paguyuban Sundawani Robby Maulana
Dzulkarnaen. Menurut dia, fenomena maraknya pemakaian iket, khususnya di
kalangan anak muda bisa diartikan sebagai tanda bangkitnya budaya Sunda. Meski
ini baru menjadi cirri, tapi diharapkan bisa mendongkrak kesadaran dalam
bertingkah laku. “Malu dengan iket jika ternyata masih berbuat di luar
Kasundaan,” katanya.
Robby melihat fenomena
ini menjalari kaum muda. Dengan begitu, antara kaum muda dan kaum sepuh
sama-sama menyandarkan diri.
Iket Kreasi
Kini, tidak hanya
warna polos dan mendekati tanah seperti biru, cokelat, dan putih yang menjadi
tren. Iket-iket dengan motif tertentu dibuat untuk menunjukkan identitas
pemakai. Ada yang dilukis atau pun dicetak. Untuk mempermudah pemakai, iket
telah dibuat praktis bak peci. Namun, yang tetap rajin berkreasi bertahan
dengan iket lepasan.
Budayawan Nana Munajat
juga membuat iket praktis sejak 2005. Hanya, dulu Nana menjualnya untuk
kalangan tertentu sesuai pesanan. Pemesanan iket praktis didominasi gaya kole
nyangsang, cikerak, kuda ngencar, dan barangbang semplak. Dengan harga
Rp50.000, Nana menerima pesanan minimal 10 buah. Pesanan pun lalu diproduksi di
rumahnya di Jalan Kuta Luhur No. 77, RT 02 RW 08 Desa Ciburuy, Kecamatan
Padalarang, Bandung Barat.
Iket praktis dengan
berbagai variasi di luar pola dasar pun bermunculan. Komunitas Iket Sunda (KIS) yang menanam benih
munculnya kreasi itu. Menurut Ketua KIS, Agus Roche, munculnya pemakaian iket
Sunda itu karena kecintaan anak muda terhadap budaya Sunda. Pemakaian iket itu
nantinya tidak hanya berfungsi merapikan rambut, melindungi kepala, membawa
barang, dan pelindung badan, tetapi juga bisa membuat pemakainya bisa mengikat hawa napsunya.
Soal
motif yang ada dalam iket, Agus membaginya dalam beberapa bagian yaitu pager,
modang, waruga, dan juru. Pager adalah motif yang ada di sekeliling iket.
Modang, bentuk kotak bujur sangkar pada bagian tengah iket. Waruga, bagian
tengah iket yang polos. Sedangkan juru adalah motif yang ada di setiap sudut
iket.
Gaya-gaya
iket juga terus bervariasi. Malahan jika pemakai iket memiliki gaya baru, ia
akan memamerkan di komunitas. “Saya berharap tren ini tidak sesaat dan bisa terus
bangga sebagai orang Sund,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar