Kadangkala, kejadian-kejadian di masa
lalu seringkali dijadikan sebuah pembenaran untuk memelihara sentiment-sentimen
rasial, meskipun sulit ditemukan relevansinya saat ini. Kenyataan yang harus diakui bawa peristiwa di Bubat
yang terjadi sekitar 7 abad yang lalu (tepatnya tahun 1279 M) merupakan
pembantaian dan menjadi contoh bagi masyarakat sunda dan keluarga kerajaan Galuh, karena seluruh
anggota keluarga kerajaan, mulai dari Prabu Linggabuana dan permaisuri Lara
Linsing, serta putrinya yang cantik jelita (khas tanah Parahiyangan) Dyah
Pitaloka Citraresmi, terbantai di Palagan Bubat
.
Mungkin peristiwa
Bubat adalah awal mulanya muncul sentimen bagi orang jawa dan orang sunda.yang berkepanjangan menjadi mitos bahwa Pria Sunda
tidak boleh menikahi wanita jawa, dimulai dari pembantaian Lapang Bubat kerajaan
Majapahit.
Sebagian
sejarawan menganggap peristiwa di Bubat adalah peperangan, padahal kalau
diteliti secara mendalam tidak lain adalah
sebuah pembantaian yang direncanakan.
Disatu sisi rombongan orang sunda memenuhi permintaan Prabu Hayam Wuruk untuk menjalin hubungan
dengan Kerajaan Sunda Galuh dengan menyandingkan Dyah sebagai permaisuri
Kerajaan Majapahit yang akhirnya
rombongan dari Sunda Galuh membawa calon pengantin yaitu sang putri Dyah
Pitaloka Citraresmi yang akhirnya membuat luluh hati sang raja.
Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan
putri Dyah Pitaloka dengan diiringi para pengiring pengantin sebagaimana termaktub dalam Kidung Sundayana,
Namun
timbul
niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin
memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta,
sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit,
hanya kerajaan Sunda yang belum dikuasai.
Rombongan
dari Sunda Galuh terhenti di lapangan Bubat Gajah
Mada membuat alasan untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di
Pesanggrahan Bubat adalah bentuk pasrah bongkokan Kerajaan
Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah
Pitaloka bukan sebagai pengantin, melainkan sebagai tanda takluk Negeri Sunda
dan sebagai bentuk pengakuan superioritas Majapahit atas Kerajaan Sunda
di Nusantara. Oleh karenanya penyambutanpun tidak diadakan bagi pihak Sunda Galuh sehingga pihak Majapahit
yang menyangka bahwa kedatangan Sunda Galuh memang akan dimanfaatkan oleh Gajah Mada yang tidak menginginkan
pernikahan antara Dyah Pitaloka dan Prabu Hayam terjadi..
Didalam
berbagai sejaran senantiasan disebutkan Perang
Bubat, padahal dalam kondisi rombongan sunda mengantarkan calon mempelai
bukanlah untuk berperang, melainkan untuk mendapat sambutan bagi calon
pengantin, akibat perbuatan Gajah Mada maka terjadilah hal mengeruhkan suasana dan kehormatan para
Sunda Galuh yang tinggi terjadi pertengkaran di Bubat terkait tatakrama menyambut
pengantinyang akhirnya Dyah Pitaloka membunuh dirinya sendiri ketika mengetahui
kedua orang tuanya sudah meninggal demi menjaga harga diri dan kehormatan
rakyatnya
Cerita
diakhiri dengan suasana kerajaan yang mendengar berita habisnya pasukan Sunda
Galuh diperangi oleh pasukan Majapahit membuat suasana Prabu Hayam Wuruk
bersedih dan mengumumkan berkabung, dan
akhirnya Raja Majapahit meminta pertanggungjawaban Patih Gajah Mada untuk
meletak jabatan dan diasingkan di Madakaripura. Sebuah rapor merah bagi seorang
Gajah Mada diantara ambisinya melebarkan sayap Majapahit diseluruh nusantara namun
terantuk dengan kebodohannya menyambut rombongan
calon pengantin dengan pedang di lapangan Bubat.
Kebodohan
Sang Mahapatih
Jika saja mau melihat lebih jauh sejarah
ke belakang, dan kemudian diteliti kembali untuk mencari persamaan-persamaan
antara dua kebudayaan yang sebenarnya masih saudara tersebut, semestinya
Palagan Bubat tidak menjadikan dua saudara bersitegang (untuk jangka waktu yang
lama).
Sejarah dimulai ketika pendiri kerajaan
Galuh, Sang Wretikandayun (612 M) memisahkan diri dari kerajaan Tarumanegara
yang memang sudah lemah dibawah pemerintahan Prabu Tarusbawa (yang selanjutnya
mengganti nama kerajaan Tarumanegara menjadi kerajaan Sunda yang berkedudukan
di Pakuan –Bogor sekarang). Sang Wretikandayun memiliki
tiga orang putra, salah satu diantaranya adalah Amara alias Sang Mandiminyak.
Sang Mandiminyak memiliki dua orang istri. Dari istri pertama (Pohaci Rababu)
memiliki putra bernama Sena (Bratasenawa), sedang dari istri kedua (Dewi
Parwati putri Kartikayesinga penguasa Kalingga – Jawa Tengah) memiliki putri
bernama Sannaha. Oleh Ratu Sima (istri Kartikayesinga), Sena dan Sannaha, yang
masih saudara kandung tersebut, dikawinkan. Dari perkawinan keduanya lahir
Sanjaya yang kemudian terkenal sebagai pendiri wangsa Sanjaya yang berkuasa di
tanah Jawa (taraju Jawadwipa), yang selanjutnya menjadi penguasa tunggal Bumi
Mataram (Hindu). Sebelum menjadi penguasa Mataram, Sanjaya juga menjadi raja di
kerajaan Sunda Pakuan dan kerajaan Sunda Galuh. Inilah hubungan kekerabatan
(dekat) pertama antara tanah Pasundan dan Jawa.
Bagaimana dengan Majapahit ?
Penguasa Majapahit adalah wangsa Rajasa
yang didirikan oleh Ken Arok (Awuku Tumapel). Pendiri Wilwatikta adalah Rakian
(Rakean=Rahadian=Raden) Wijaya. Ibunda Raden Wijaya adalah Dyah Lembu Tal (Dyah
Daramurti) dari Tumapel dari suami keluarga kerajaan Sunda, Rahiyang Jayadarma.
Bahkan ketika Raden Wijaya menjadi Maharaja Majapahit yang bergelar Sri
Kertarajasa Jayawardhana dengan kekuasaan yang besar, masih sering mengunjungi
kakeknya, Prabu Guru Darmasiksa di Sunda Pakuan.
Dalam kunjungan tersebut, Prabu Guru
Darmasiksa pernah memberikan nasehat kepada Sanggramawijaya (gelar Raden
Wijaya) : Hawya ta sira kedo athawamerep ngalindih
Bhumi Sunda mapan wus kinaliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi.
Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa wruh ngwang kottaman ri puyut
katisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng
Hiyang Tunggal mwang dumadi sarataya.
Ikang sayogyanya rajya Jawa lawan rajya
Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padudulur.
Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsowang. Yatanyan siddha
hitasukha. Yan rajya Sunda dukhantara, Wilwatikta sakopayanya maweh carana;
mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatikta.
(Jangan hendaknya engkau mengganggu,
menyerang, dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada saudaramu,
bila kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya
serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluarbiasaan, dan keperkasaanmu
kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugerah dari Yang Maha Esa dan menjadi
suratan-Nya.
Sudah selayaknya kerajaan Jawa dengan
kerajaan Sunda saling membantu, bekerja sama dan saling mengasihi antara
anggota keluarga. Karena itu janganlah berselisih dalam memerintah kerajaan
masing-masing. Bila demikian akanmencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
sempurna. Bila kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya
sungguh-sungguh memberikan bantuan; demikian pula halnya kerajaan Sunda kepada
Majapahit) (Danasasmita, 1983:23)
Terlihat bahwa sebenarnya antara kerajaan Sunda dan Jawa (baca: Majapahit)
terjalin hubungan yang demikian erat, dari satu leluhur yang seharusnya
tercipta hubungan yang harmonis dan saling kerjasama antara keduanya. Bukannya
ketegangan dan permusuhan. Perkara perang Bubat adalah persoalan politik, yang
memang tidak seharusnya masuk lebih jauh dalam ranah kebudayaan dan kemanusiaan
secara umum. Semestinya Perang Bubat dapat dilihat seperti kita melihat
peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di negeri ini, meskipun mungkin
menyakitkan tetapi tidak seharusnya itu menghancurkan hubungan persaudaraan
yang telah berlangsung berabad-abad. Kalau kita mau jujur melihat
persamaan-persamaan yang ada pada dua kebudayaan tersebut, seperti linguistik,
seni, budaya, dan hasil-hasil peradaban antara dua kebudayaan, mestinya hal
tersebut dapat lebih saling mempererat hubungan antar-keduanya.from
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.
Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara pasukan
Gajah Mada yang berjumlah besar melawan pasukan pengawal Linggabuana yang
berjumlah kecil ditambah para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam
kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para
menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di lapangan
Bubat.
Tragedi ini kemudian merusak hubungan diplomatik antar kedua
negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan
Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Pangeran Niskalawastu
Kancana, adik Putri Pitaloka yang kemudian naik takhta, selanjutnya menerapkan
kebijakan pemutusan hubungan diplomatik dengan Majapahit.
Isolasi terbatas pun diterapkannya. Akibat peristiwa ini
pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan istri ti luaran, yang
isinya, antara lain, tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda.
Sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan
ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk
menikahi orang Jawa.
Alhamdulillah, tak ada pengaruh yang kami rasakan akibat
melanggar larangan ini. Semoga demikian selamanya. Semoga bersatunya saya dengan
isteri saya ini bisa menjadi simbol rekonsiliasi atau upaya menempuh jalan
damai antara nenek moyang saya (Kerajaan Sunda) dengan leluhur isteri saya
(Majapahit).
Stigma kesukuan harus
sudah mulai kita tinggalkan sebab amuk massa yang berlangsung di sebagaian
kecil penjuru tanah air, di antaranya, dipicu olehsentimen kesukuan.
Lepaskan kesukuan sebagai kriteria dalam menetapkan jodohmu.
Islamedia:Seorang sejarawan pernah berujar bahwa
sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini
sangat tergantung dengan niat atau motivasi si pembuatnya. Barangkali ini pula
yang terjadi dengan Majapahit, sebuah kerajaan maha besar masa lampau yang
pernah ada di negara yang kini disebut Indonesia. Kekuasaannya membentang luas
hingga mencakup sebagian besar negara yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara.
Namun demikian, ada sesuatu yang ‘terasa aneh’ menyangkut kerajaan yang
puing-puing peninggalan kebesaran masa lalunya masih dapat ditemukan di kawasan
Trowulan Mojokerto ini. Sejak memasuki Sekolah Dasar, kita sudah disuguhi
pemahaman bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada
dalam sejarah masa lalu kepulauan Nusantra yang kini dkenal Indonesia. Inilah
sesuatu yang terasa aneh tersebut. Pemahaman sejarah tersebut seakan melupakan
beragam bukti arkeologis, sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan
Majapahit yang jika dicerna dan dipahami secara ‘jujur’ akan mengungkapkan
fakta yang mengejutkan sekaligus juga mematahkan pemahaman yang sudah
berkembang selama ini dalam khazanah sejarah masyarakat Nusantara.
‘Kegelisahan’ semacam inilah yang
mungkin memotivasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah dan
Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta untuk melakukan
kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah sekian lama berkutat dengan
beragam fakt-data arkeologis, sosiologis dan antropolis, maka Tim kemudian
menerbitkannya dalam sebuah buku awal berjudul ‘Kesultanan Majapahit, Fakta
Sejarah Yang Tersembunyi’.
Buku ini hingga saat ini
masih diterbitkan terbatas, terutama menyongsong Muktamar Satu Abad
Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang
dikenal selama ini di kalangan masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk
kepentingan penjajah (Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan
Nusantara. Akibatnya, sejarah masa lampau yang berkaitan dengan kawasan ini
dibuat untuk kepentingan tersebut. Hal ini dapat pula dianalogikan dengan
sejarah mengenai PKI. Sejarah yang berkaitan dengan partai komunis ini yang
dibuat di masa Orde Baru tentu berbeda dengan sejarah PKI yang dibuat di era
Orde Lama dan bahkan era reformasi saat ini. Hal ini karena berkaitan dengan
kepentingan masing-masing dalam membuat sejarah tersebut. Dalam konteks
Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai Nusantara yang mayoritas
penduduknya adalah muslim. Untuk itu, diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit
yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam
masuk ke Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang
dan ada dalam masyarakat.
Apa yang diungkapkan oleh
buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta dan data yang selama ini tersembunyi
atau sengaja disembunyikan. Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan
bahwa kerajaan Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam atau Kesultanan
Majapahit adalah sebagai berikut:
1. Ditemukan atau adanya
koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad
Rasulullah’. Koin semacam ini dapat ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan
Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku
di sebuah wilayah kerajaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangat tidak
mungkin sebuah kerajaan Hindu memiliki alat pembayaran resmi berupa koin emas
bertuliskan kata-kata Tauhid.
2. Pada batu nisan Syeikh
Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem
Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang
menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang
dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan
sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau
kerajaan Islam.
3. Pada lambang Majapahit
yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu
shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang
beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada
lambang Majapahit ini. Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai lambang Majapahit
ini, maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,
atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau
Kesultanan Islam karena menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol
Islam.
4. Pendiri Majapahit, Raden
Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari
Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan
yang mengajarkan hidup prihatin layaknya ajaran-ajaran suf, sedangkan neneknya
adalah seorang muslimah, keturunan dari penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar
Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan bahasa
Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah seorang
penganut Hindu. Bahasa Sanskerta di masa lalu lazim digunakan untuk memberi
penghormatan yang tinggi kepada seseorang, apalagi seorang raja. Gelar seperti
inipun hingga saat ini masih digunakan oleh para raja muslim Jawa, seperti
Hamengku Buwono dan Paku Alam Yogyakarta serta Paku Buwono di Solo. Di samping
itu, Gajah Mada yang menjadi Patih Majapahit yang sangat terkenal terutama
karena Sumpah Palapanya ternyata adalah seorang muslim. Hal ini karena nama
aslinya adalah Gaj Ahmada, seorang ulama Islam yang mengabdikan kemampuannya
dengan menjadi Patih di Kerajaan Majapahit. Hanya saja, untuk lebih memudahkan
penyebutan yang biasanya berlaku dalam masyarakat Jawa, maka digunakan
Gajahmada saja. Dengan demikian, penulisan Gajah Mada yang benar adalah
Gajahmada dan bukan ‘Gajah Mada’. Pada nisan makam Gajahmada di Mojokerto pun
terdapat tulisan ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang menunjukkan bahwa
Patih yang biasa dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada setelah pengunduran
dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim.
5. Jika fakta-fakta di atas
masih berkaitan dengan internal Majapahit, maka fakta-fakta berikut berhubungan
dengan sejarah dunia secara global. Sebagaimana diketahui bahwa 1253 M, tentara
Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Akibatnya, Timur Tengah
berada dalam situasi yang berkecamuk dan terjebak dalam kondisi konflik yang
tidak menentu. Dampak selanjutnya adalah terjadinya eksodus besar-besaran kaum
muslim dari Timur Tengah, terutama para keturunan Nabi yang biasa dikenal
dengan ‘Allawiyah. Kelompok ini sebagian besar menuju kawasan Nuswantara
(Nusantara) yang memang dikenal memiliki tempat-tempat yang eksotis dan kaya
dengan sumberdaya alam dan kemudian menetap dan beranakpinak di tempat ini.
Dari keturunan pada pendatang inilah sebagian besar penguasa beragam kerajaan
Nusantara berasal, tanpa terkecuali Majapahit.
Inilah beberapa bukti dari fakta dan data yang
mengungkapkan bahwa sesungguhnya Majapahit adalah Kesultanan Islam yang
berkuasa di sebagian besar kawasan yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara ini.
Sekali lagi terbukti bahwa sejarah itu adalah versi, tergantung untuk apa
sejarah itu dibuat dan tentunya terkandung di dalamnya beragam kepentingan. Wallahu A’lam Bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar