Aksara Sunda
Angka / Nomer
Aksara / Huruf Vokal
Aksara / Huruf Konsonan
Contoh Penulisan Aksara Sunda
aya hiji rupa sato leutik, éngkang-éngkang,
éngkang-éngkang, sok luluncatan di cai, ari bangun arék
sarupa jeung lancah.
Prasasti Kawali Make Aksara Sunda
MALURUH NASKAH SUNDA KUNO ASTANA GEDE KAWALI
Kawali tidak akan menjadi tempat penting dalam sejarah sunda
jika di tempat ini tidak terdapat peninggalan sejarah yang sudah diakui
keabsahannya. Baik sumber primer seperti prasasti dari abad 14 M yang terdapat
di Astana Gede, maupun sumber sekunder lainnya berupa catatan atau naskah yang
ditulis dengan cara ditoreh atau digores dalam daun lontar atau nipah dengan
menggunakan peso pengot. Kegiatan menulis dengan menggunakan daun lontar dan
pisau pengot rupanya sudah menjadi budaya pada waktu untuk melahirkan
karya-karya sastra sunda buhun. Umumnya naskah yang ditulis di dalam lontar,
bahasa maupun aksaranya, lebih muda usianya dari inskripsi (Kata-kata yang diukir
pada batu, monument dsb.Red) yang tercatat pada batu tulis yang menggunakan
hurup Pallawa dengan bahasa Sansekerta dan Sunda kuno.
Menurut para peneliti naskah Sunda seperti Prof.Dr. Edi S.
Ekadjati, Drs. Undang A.Darsa dan Mamat Ruhimat S.S. sebetulnya keberadaan
naskah sunda diperkirakan jumlahnya cukup banyak, lebih dari 2000 naskah yang
tersebar menjadi koleksi lembaga penyimpanan naskah di dalam maupun di luar
negeri. Sebagian lagi terdapat di perorangan. Sebagian besar naskah-naskah
tersebut usianya lebih muda dan terbuat dari bahan seperti janur, daun enau,
pandan, daluang maupun dari kertas Belanda. Dengan jenis aksara Arab, Carakan,
Pegon, dan Latin. Sedangkan bahasanya menggunakan Bahasa Arab, Jawa Tengahan,
Sunda Baru, Melayu dan Belanda.
Sedangkan jumlah naskah kuno yang ditulis diatas daun lontar
kurang lebih berjumlah 100 naskah dan hampir 80 % belum tersentuh oleh peneliti
(Filolog). Dan naskah-naskah sunda kuna yang ditulis dalam lontar tersebut
merupakan naskah yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi karena factor
bahasa dan aksaranya yang menggunakan bahasa Sunda kuno dan Jawa Kuno karena
lebih dari 250 tahun kedua bahasa dan aksara tersebut tidak dipergunakan lagi
oleh masyarakat sunda.
Disamping itu pemilik perorangan naskah sunda kuno umumnya
masih ketakutan untuk menyetorkan naskah tersebut ke pemerintah dikarenakan
sebagai peninggalan leluhurnya harus dipusti-pusti sebaik-baiknya tanpa pernah
membuka atau mempelajari isi teksnya. Padahal naskah-naskah tersebut sangat
penting untuk diteliti dan disebarkan kepada masyarakat, sebagai bukti adanya
tingkat peradaban sunda di masa silam yang tertuang dalam isinya, baik itu
berupa hasil pemikiran maupun referensi sejarah yang tercatat.
Naskah-Naskan Kuno yang berhasil ditemukan di Kawali dan
kini disimpan di Bagian Naskah Perpustakaan Nasional dengan menggunakan no kode
kropak. Dan yang sudah di terjemahkan serta diberi judul diantaranya ialah
Carita Parahyangan (kropak406), Sang Sewaka Darma (kropak 408), Sunan Gunung
Jati (kropak 420), Naskah yang berisi teks campuran atau Gemenged (kropak 421),
Naskah Jatiraga (kropak422) dan Darmajati (kropak 23). Sedangkan yang belum
teridentifikasi adalah naskah kropak 407, Kropak 409, kropak 411, Kropak 412,
Kropak 413, Kropak 414, dan Kropak 415.
Semua naskah kuno tersebut ditulis antara tahun 1099 M
sampai tahun 1579 M yaitu maswa sebelum pra Islam. Dalam naskah Carita
Parahyangan tertulis candrasangkala ekadasi suklapaksa wesakamasa 1591 ikang
sakakala atau sekitar 6 Mei 1979 M yang merupakan masa setelah Pajajaran Sirna
Ing Bumi. Sedangkan naskah Sewaka Darma tertulis candrasangkala nanu namas haba
jaja atau sekitar tahun 1099 M. Khusus mengenai Naskah Sunan Gunung Jati
ternyata isinya bukanlah menceritakan tentang pendiri kerajaan Islam di Cirebon
yang bernama Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Kandungan teksnya sama
sekali tidak mengemukakan tentang ajaran Islam sedikitpun melainkan membahas
tentang pengaruh ajaran Hindu-Budha . Nama Gunung Jati ternyata merujuk pada
nama lokasi tempat kedudukan Bungawari di alam kahyangan.
KABUYUTAN ASTANA GEDE PUSAT KEAGAMAAN DAN INTELEKTUAL
Naskah-naskah sunda kuno selama ini keberadaannya kurang
terpublikasikan sehingga masyarakatpun banyak yang tidak tahu tentang gambaran
lengkap kebudayaan sunda di masa lalu. Padahal kandungan naskah-naskah tersebut
selain catatan nama-nama penguasa dan kejadian pada jamannya juga berisi ajaran
dan petuah yang isinya masih kontekstual dengan jaman kiwari. Salah satu naskah
tersebut adalah Naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian yang berisi ajaran
bimbingan hidup agar mencapai kebahagiaan. Naskah ini mempunyai candrasangkala
nora catur sagara wulan atau tahun 1518 M. Selain berisi ajaran kehidupan,
naskah ini juga dapat disebut semacam ensiklopedia tentang pemerintahan,
kebudayaan, kepercayaan, kesusastraan, pertanian, etika, militer, dan
lain-lainnya.
Menurut Saleh Danasasmita Siksa Kandang Karesian ditulis
pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Pajajaran atau dikenal Prabu
Siliwangi (1482-1521 M) dan berfungsi juga sebagai pedoman dalam tatacara
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sri Baduga adalah cucu dari Prabu
Niskala Wastu Kancana yang berkuasa di Galuh dan Sunda . Saat masih kecil Sri
Baduga tinggal yaitu di Keraton Surawisesa yang terletak di Kawali. Sedangkan
Kawali pada abad 14 dan 15 merupakan ibukota kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda.
Wastu Kancana merupakan salah satu raja yang terkenal dengan ajaran
karahayuannya sehingga berhasil meneruskan kebesaran nama ayahnya Prabu
Linggabuana (Prabu Wangi) yang gugur di Bubat.
Ajaran atau filsafat kakeknya yang sarat dengan kebijakan
dan kebajikan itu turut mempengaruhi jalan pikirannya dalam memimpin kerajaan
Pajajaran dikemudian hari. Hal itu terbukti, Sri Baduga atau Sang Pamanah Rasa
atau Jayadewata menjadi salah satu raja besar sunda yang sukses mengelola
negaranya. Siksa Kandang Karesian boleh jadi berisi pemikiran-pemikiran Sri
Baduga yang dirangkum oleh seseorang dalam sebuah buku. Sri Baduga kemudian
lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi.
Ditemukannnya naskah-naskah sunda kuno dari Astana Gede
karena tempat tersebut dulunya merupakan kabuyutan atau mandala sebagai pusat
kegiatan keagamaan dan intelektual. Salah satu kegiatan intelektual tersebut
adalah menyusun dan menulis sesuatu yang menghasilkan naskah lontar. Selain itu
kabuyutan berfungsi juga menyimpan naskah-naskah yang berasal dari kabuyutan
lain. Seperti dari Kabuyutan Panjalu, Kabuyutan Pakuan Pajajaran, Kabuyutan
Ciburuy Bayongbong Garut, maupun Kabuyutan Cikuray dan kabuyutan Karangkamulyan.
Indikasi tersebut salah satunya dapat dilihat dari penulis
naskahnya. Kai Raga adalah penulis naskah Carita Ratu Pakuan (Kropak 410)
Darmajati (Kropak 423), Carita Purnawijaya (kropak 416), Kropak 411 dan kropak
419. tokoh ini menyusun naskah-naskah tersebut di pertapaan Suta Nangtung di
Gunung Larang Srimanganti yang merupakan salah satu Puncak Gunung Cikuray.
Namun ternyata salah satu naskahnya ( Darmajati) ditemukan di Kabuyutan Astana
Gede Kawali.
Adanya naskah-naskah di Kabuyutan Kawali pertama kali
diketahui umum setelah muncul buku berjudul Tafereelen en merkwaardigheden uit
Oost-Indie karangan seorang Pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang bekerja di
Al-gemene Secretrie (Sekretris Negara) bernama J.Olivier. Dalam bukunya, ia
bersama rombongannya menyaksikan keberadaan naskah-naskah berbahasa kawi ketika
mengunjungi Kawali dan wilayah priangan lainnya (Desember 1821 – 1827). Naskah
beserta benda budaya lainnya dikatakan berasal dari peninggalan-raja-raja
Pajajaran dan saat itu pemeliharaannya berada dibawah perlindungan Raden
Tumenggung Adipati Adikusumah sebagai bupati Galuh yang memerintah pada tahun
1819 – 1839. Seluruh Anggota rombongan tidak ada yang mampu membaca
naskah-naskah tersebut. tetapi ada salah seorang anggota rombongan yang bernama
J.H. Domis menyalin 12 judul Naskah tersebut.
R.A.A. KUSUMADININGRAT PENYELAMAT NASKAH SUNDA KUNO
Salah satu penyebab banyaknya naskah-naskah sunda kuno yang
tersimpan di kabuyutan Astana Gede Kawali dikarenakan pada saat Pakuan
Pajajaran yang menjadi ibu kota kerajaan sunda mulai dihancurkan oleh pasukan
Islam dari Cirebon dan Demak banyak pembesar kerajaan dan rakyatnya yang
mengungsi ke Kawali dan keturunannya menjadi bagian dari penduduk Kawali. Hal
ini berdasarkan keterangan Pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang bernama
J.Olivier dalam bukunya yang berjudul berjudul Tafereelen en merkwaardigheden
uit Oost-Indie (Kejadian-kejadian dan Hal-hal Menarik dari Hindia Timur). Ia
sendiri masih menyaksikan keberadaan sejumlah prabotan dan barang lainya yang
dibawa oleh pengungsi, termasuk diantaranya adalah naskah-naskah kuno.
Agaknya pejabat Belanda inilah yang memberitakan keberadaan
naskah kuno tersebut kepada C.M. Pleyte. Akhirnya Pleyte berhasil mengkoleksi
13 naskah kuno dari Kabuyutan Astana Gede. Naskah-naskah tersebut diserahkan
oleh Raden Aria Adipati Kusumadiningrat yang saat itu memerintah sebagai Bupati
Galuh tahun 1839-1886. R.A.A. Kusumahdiningrat adalah seorang bupati yang
memiliki haluan maju serta memiliki perhatian besar terhadap pembangunan
termasuk bidang kebudayaan. Penyerahan naskah tersebut diperkirakan terjadi
sesudah tanggal 10 Mei 1851 saat Kusumadiningrat berpangkat Adipati Aria.
Sebelumnya tokoh ini berpangkat Raden Tumenggung bernama Kusumadinata IV.
Ayahnya adalah Raden Tumenggung Adipati Adikusumah yang memerintah Galuh pada
tahun 1819–1839 dan sempat bertemu dengan J.Olivier
Tahun 1800-an di Batavia telah berdiri Bataviasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Batavia Pencinta Kesenian
dan Ilmu Pengetahuan) atau yang biasa disingkat BGKW. Koleksi Pleyte kemudian
di serahkan kepada lembaga ini untuk diteliti. Ternyata selain R.A.A.
Kusumadiningrat tokoh lainnya yang mengkoleksi dan kemudian menyerahkan
naskah-naskah sunda kuno dari wilayah Priangan terutama dari Kawali ke BGKW
adalah pelukis terkenal Raden Saleh. Hal tersebut diumumkan oleh K.F. Holle
dalam artikelnya yang berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige
Lontar-Handschriften Afkomstig uit de soenda-landen, door Radhen Saleh aan het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten geschenke gegeven met
toepassing of de inscriptie van Kawali. (Berita Singkat tentang beberapa Naskah
Lontar yang Berasal dari Tatar Sunda, yang diberikan Raden Saleh sebagai hadiah
kepada BGKW beserta salinan Prasasti Kawali).
Artikel tersebut diterbitkan oleh majalah TBG tahun 1867 di
Batavia (Jakarta). Adapun 3 naskah lontar yang disebut dalam article K.F. Holle
ternyata adalah Naskah Amanat Galunggung (Kropak 632), Sanghiang Siksa Kandang
Karesian (Kropak 630) dan Naskah Candrakirana (Kropak 631). Prasasti Kabantenan
dan naskah lontar kropak 410 juga merupakan hasil pengumpulan Raden Saleh yang
diserahkan kepada BGKW. Institusi ini memang sejak tahun 1845 melakukan
kegiatan rutin untuk mencari dan mengkoleksi benda-benda budaya termasuk
prasasti dan naskah.
Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, maka tanggal 26
Januari 1950 BGKW diubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Dan nama museum
yang dimilikinya berubah menjadi Museum Pusat dan terakhir menjadi Musium
Nasional. Sedangkan perpustakaan yang ada di bawahnya dipisahkan menjadi
lembaga yang berdiri sendiri dan dinamai Perpustakaan Nasional. Di tempat
itulah kini naskah-naskah sunda kuno yang berasal dari Kabuyutan Astana Gede
tersimpan dengan keheningannya.
Sumber : HU. Kabar Priangan
Banyaknya Manuskrip Ulama Nusantara Yang Dijarah Penjajah
Sejak abad pertama Hijriyah, sahabat Nabi saw sudah melakukan
penelitian terhadap naskah al-Qur'an sebelum dikodifikasikan. Para ulama hadits
juga menetapkan sistem hak cipta buku, catatan kehadiran siswa, tata cara
penulisan teks, metode periwayatan, sistem perbandingan antar teks dan banyak
lagi. Ini mengharuskan para perawi dan pencatat hadits melakukan penelitian
terhadap tulisan yang mereka temukan. Hingga kini, Studi Ilmu Hadits memiliki
cabang rusum at tahdits yang menganalisa sistem filologi ilmu hadits sejak abad
pertama Hijriyah dan periode berikutnya (Tesis Magister Dr M Luthfi Fathullah
di University of Jordan tentang Filologi Hadits). Karenanya, salah besar, jika
menganggap Islam tak memiliki tradisi ilmu filologi. Seolah-olah ilmu ini
dikembangkan Barat, khususnya antropolog dan arkeolog Belanda seperti Scouck
Hurgronje. Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah, khususnya
naskah-naskah kuno. Islam memiliki tradisi ini, tapi tidak menyebut Ilmu
Filologi. Hanya Islam yang melahirkan peradaban lengkap dengan ilmu pengetahuan
yang melingkuinya.
Buktinya tradisi menulis di kalangan ulama sejak abad
pertama Hijriyah hingga kini tetap terjalin. Ketika Islam masuk ke Nusantara,
para ulama juga menuangkan pemikiran dengan menulis. Tulisan tangan asli para
ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di
kawasan ini. Untuk mengetahui peran manuskrip Islam di Nusantara dalam
penyebaran Islam, Dwi Hardianto dan Arief Kamaluddin dari Sabili mewawancarai
DR H Uka Tjandrasasmita. Arkeolog Islam senior yang dimiliki bangsa ini
menerima di rumahnya, kawasan Semplak, Kota Bogor, Kamis (19/6). Berikut
petikannya:
Apa saja karya ulama di Nusantara yang masuk kategori
manuskrip?
Yang dimaksud manuskrip adalah tulisan tangan asli yang
berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah,
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam.
Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni,
naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan
aksen Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon yakni,
naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti,
bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Contoh manuskrip Islam yang berpengaruh di Nusantara?
Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis
manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama
pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin
Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia
dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan
Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad
16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul
Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di
Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis
naskah-naskah keislaman.
Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga
berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan.
Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di
Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga
Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini.
Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti,
Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga
ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua
manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.
Manuskrip Islam tertua di Nusantara?
Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di
Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun
1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk
Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah
dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua
menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan
syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di
Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama
yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa
Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka.
Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan
mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh,
Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita
Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima,
Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi
ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.
Manuskrip berhuruf Pegon misalnya karya siapa?
Umumnya ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tatar
Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh
al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini
menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini
merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya
Imam al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam karyanya,
Sunan Bonang menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliallah dan para
ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-kawan)
seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan contoh
bahwa pada abad 16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam
waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam
penyebaran Islam di Nusantara.
Manuskrip-manuskrip itu berada di mana?
Sebagian besar berada di Belanda, tepatnya di Universitas
Leiden. Pada masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan,
kemudian melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam
klasik untuk kepentingan mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan
dan menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah.
Dengan dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara menjadi
kehilangan sumber otentik perkembangan Islam. Inilah yang menyebabkan penjajahan
berlangsung hingga ratusan tahun.
Perbandingan manuskrip Islam yang ada di Indonesia dan
Belanda?
Manuskrip dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di
Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar 1.000 naskah. Yang lainnya, yang
menggunakan huruf Arab atau bahasa Arab jumlahnya lebih sedikit. Sementara di
Belanda, manuskrip Islam asal Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi
mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan
huruf Pegon atau huruf Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak.
Mereka melakukan pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh daerah
di Indonesia. Saya ke Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan Bonang, ar
Raniri, Hikayat Aceh, Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan lainnya. Di Indonesia
hanya ada kopiannya saja.
Manuskrip Islam yang ada di Belanda bisa diambil lagi tidak?
Mengembalikan secara fisik sekarang ini gampang-gampang
susah, karena terkait bentuk fisik yang sudah berumur ratusan tahun sehingga
banyak bagian yang rawan rusak jika disentuh. Memang sudah ada Konvensi
Internasional tentang benda-benda cagar budaya termasuk manuskrip dari suatu
negara harus dikembalikan pada negara yang bersangkutan. Caranya dengan
melakukan perundingan bilateral antar negara yang bersangkutan.
Contoh manuskrip yang sudah dikembalikan secara fisik ke
Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama. Kitab ini diambil Belanda pada saat
perang Lombok. Contoh lain adalah Arca Pradnya Paramitha dari zaman Singasari
yang paling bagus juga sudah dikembalikan. Pelana kuda Pangeran Diponegoro juga
sudah dikembalikan ke tanah air oleh Belanda, termasuk satu peti cincin dan
emas berlian dari Lombok juga sudah kembali. Jika pengembalian secara fisik
riskan rusak, pemerintah bisa melakukan upaya dokumentasi dengan microfilm
secara digital.
Bagaimana cara menyelamatkan manuskrip Islam yang ada di
Indonesia agar tidak rusak?
Perpustakaan Nasional sudah melakukan dokumetasi sebagian
dengan merekam dalam microfilm. Saat terjadi tsunami di Aceh, juga banyak
naskah-naskah asli Aceh yang hilang. Karenanya, saat ini dilakukan upaya
dokumentasi menggunakan microfilm digital terhadap naskah-naskah yang tersisa.
Untungnya, di sebuah Pesantren di Kawasan Tanobe, NAD, masih tersimpan 2.000
lebih naskah klasik dari abad 13 sampai 19 karya ulama-ulama Aceh, dan Timur
Tengah.
Untuk proses penyelamatan ini, seharusnya dilakukan oleh
Pemda setempat. Jika tak sanggup bisa melakukan kerjasama dengan lembaga-
universitas. Di Jawa Barat, sudah mulai dilakukan katalogus naskah-naskah
klasik sejak zaman batu sampai abad 19 yang berbahasa Sunda atau bahasa lainnya
yang ada di berbagai negara. Dikumpulkan, di katalogus, di buat microfilm-nya
dan bisa dipelajari kembali saat ini. Malaysia juga sudah membuatnya, demikian
juga dengan Sulawesi Selatan. Harus ada gerakan penyelamatan manuskrip kuno,
termasuk manuskrip Islam secara nasional.
Apa sebenarnya fungsi manuskrip Islam ini?
Pertama, naskah-naskah ini mengandung informasi yang sangat
lengkap tentang peradaban Islam dalam arti lengkap, sehingga bermanfaat untuk
menjaga kesinambungan peradaban Islam. Kedua, berisi kajian keagamaan yang
bersumber dari karya para sahabat di masa Rasul, sehingga bermanfaat untuk
menjaga dan mengembangkan otentisitas ajaran Islam di masa mendatang. Ketiga,
berisi tentang seluk beluk pemerintahan pada saat itu, sehingga bermanfaat
untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam. Keempat, berisi
struktur sosial masyarakat dan model perekonomian yang berlaku saat itu,
sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pembangunan ekonomi yang tepat pada
saat ini. Kelima, berisi adat kebiasaan, hukum dan teknologi yang berkembang
saat itu. Keenam, bersisi tentang obat-obatan yang digunakan saat itu dan
lainnya. Sehingga saat ini mulai dikembangkan lagi model pengobatan tradisional
yang bersumber dari ajaran Islam atau tradisi pada masa Rasulullah.
Apa maksudnya para ulama saat itu menulis karyanya dengan
huruf Jawi, bahasa Melayu atau bahasa daerah?
Ini sebagai bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan
secara bertahap. Ada proses pentahapan yang sistematis sehingga tidak
menimbulkan gejolak sosial. Para ulama tidak langsung menggunakan bahasa dan
tulisan Arab yang belum dikenal masyarakat. Hamzah Fansuri menulis, ”Aku
menerjemahkan kitab-kitab dari Bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Jawi,
karena masyarakat tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.”
Tapi, untuk pemakaman, sejak tahun 1297 H atau 96 H (abad
13) orang Islam, ulama atau pemimpin Islam saat itu sudah menggunakan bahasa
dan tulisan Arab untuk menulis di batu nisannya. Tapi di manuskrip dan
karya-karya tulis lainnya sampai Abad 16 masih menggunakan tulisan Jawi atau
Pegon dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Tapi setelah memasuki
Abad 17, mulai banyak karya ulama yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, di
samping bahasa Melayu. Pada Abad ini juga mulai banyak karya-karya terjemahan
dari Timur Tengah. Ini memang strategi penyebaran Islam pada saat itu, sehingga
karya para ulama ini bisa dibaca oleh masyarakat umum dan Islam pun cepat
menyebar di seluruh Nusantara.
Jadi, pada saat itu, ulama merupakan orang pilihan yang
paling canggih?
Betul. Saat itu mereka menjadi sosok paling canggih, bisa
melakukan pendekatan budaya, sosiologis dan atropologis untuk menyebarkan Islam
di Nusantara. Saya bisa katakan, pengislaman di kawasan ini sesuai dengan
konsep surat al-Baqarah: 256. Saat itu, ulama juga melakukan pendekatan
bertahap dan gradual. Sehingga, jika dinilai dengan ilmu pendidikan, apa yang
diterapkan oleh para ulama dan para wali pada abad 13 -17 itu sangat luar
biasa.
Coba lihat, surat al-Baqarah ayat 1–2, ayat ini tidak
tiba-tiba memerintahkan umat Islam untuk shalat, puasa, zakat, tapi didahului
dengan memberikan pemahaman terlebih dulu. Setelah mereka paham baru diberi
perintah untuk menjalankan kewajiban. Inilah yang dilakukan oleh para ulama dan
wali abad 13–17 dalam menyebarkan Islam di Nusantra. Al Qur’an itu sungguh
sangat luar biasa, Allah SWT itu ”Maha Pendidik.”
Proses Islamisasi melalui penaskahan juga gradual, ya?
Sangat gradual, melalui proses pentahapan yang sangat cermat
dan matang. Coba, perhatikan, sejak Abad 13 sampai 16, naskah-naskah Islam
semuanya masih ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa daerah setempat dengan
tulisan huruf Jawi atau Pegon. Proses ini berakhir ketika memasuki Abad 17.
Berapa abad coba, proses tarbiyahnya (pendidikan) dan penanaman nilai-nilai
Islam?
Jadi pada Abad 13 peradaban di Nusantara sudah Islam?
Oh ya jelas, pada saat itu sudah ada Kesultanan Samudra
Pasai sebagai Kasultanan Islam pertama di Asia Tenggara. Memang, pada saat itu,
belum seluruh penduduk Nusantara memeluk Islam, tapi proses penyebaran Islam
sudah berjalan. Dan, jauh sebelum berdirinya Samudera Pasai sudah banyak
penyebar-penyebar Islam datang ke Nusantara secara individu. Dari Samudera
Pasai timbul Malaka, setelah itu Malaka berhubungan dengan Jawa dan seluruh
pulau di Nusantara. Timbulah kerajaan Demak, Cirebon, Kesultanan Makassar,
Ternate, Tidore dan seterusnya.
Secara politik, kapan Nusantara menjadi negeri Islam secara
keseluruhan?
Menjadi Islam keseluruhan pada abad 17, karena pada saat itu
semua pemimpin dan tokoh masyarakat di kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam.
Dari catatan sejarah, pemimpin masyarakat yang paling akhir memeluk Islam
adalah Gowa Tallo. Ini terjadi pada tahun 1605 bertepatan dengan abad 17. Pada
saat itu, VOC memang sudah masuk ke sebagian wilayah Nusantara tapi belum bisa
mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang ke Nusantara
pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten.
catatan : DR H Uka Tjandrasasmita, Arkeolog Islam
Wasiat Wastu Kencana
Wastu Kencana dikenal sebagai raja yang adil dan minandita.
Didalam Cerita Parahyangan Ia sangat dipuji-puji melebihi dari raja manapun,
dan ia putra dari Prabu Wangi yang gugur didalam peristiwa bubat. Didalam
Naskah Parahyangan di uraikan sebagai berikut :
"Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu
Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi
ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna,
lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di
Gegeromas. Batara Guru di Jampang."
Ketika terjadi peristiwa Bubat yang menewaskan Prabu
Linggabuana (1357 M) Wastu Kencana baru berusia 9 tahun dan untuk mengisi
kekosongan pemerintah Pajajaran di isi oleh pamannya, yakni Sang Bunisora yang
bergelar Prabu Batara Guru Pangdiparamarta Jayadewabrata atau sering juga
disebut Batara Guru di Jampang atau Kuda Lalean.
Wastu Kencana dibawah asuhan pamannya tekun mendalami agama
(Bunisora dikenal juga sebagai satmata, pemilik tingkat batin kelima dalam
pendalaman agama). Iapun dididik ketatanegaraan. Kemudian naik tahta pada usia
23 tahun menggantikan Bunisora dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kencana
atau Praburesi Buanatunggaldewata. Dalam naskah selanjutnya disebut juga Prabu
Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
Menurut sumber sejarah Jawa Barat, Wastu Kencana memerintah
selama 103 tahun lebih 6 bulan dan 15 hari. Dalam Carita Parahyangan
disebutkan: "Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade
ngajalankeun agama, nagara gemah ripah."
Ketika jaman kekuasaanya Wastu Kencana menyaksikan dan
mengalami beberapa peristiwa:
1. Menyaksikan Kerajaan Majapahit dilanda perang paregreg /
perebutan tahta (1453 – 1456), selama peristiwa tersebut Majapahit tidak
mempunyai raja, namun Wastu Kencana tak terpikat untuk membalas dendam
peristiwa Bubat, karena ia lebih memilih pemerintahannya yang tentram dan
damai. Ia pun rajin beribadat.
2. Kedatangan Laksamana Cheng H0 dan Ulama Islam yang
kemudian mendirikan Pesantren di Karawang.
Tanda keberadaan Wastu Kencana terdapat pada dua buah
prasasti batu di Astana Gede. Prasati yang kedua dikenal dengan sebuat Wangsit
(wasiat) Prabu Raja Wastu kepada para penerusnya tentang Tuntutan untuk
membiasakan diri berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan membiasakan diri
berbuat kesejahteraan yang sejati (pakena kereta bener) yang merupakan sumber
kejayaan dan kesentausaan negara.
Prasasti Kawali
Tulisan ini saya copas dari Sejarah jawa Barat - Cuplikan
Wasiat Wastu Kencana dari naskah Sanghyang siksakanda (Koropak 630), sbb:
"teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byakta
warta manah, mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma
kapahayu."
"kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta..
sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta..
sang ameng pageuh di kaamenganna, kreta..
sang wasi pageuh dikawalkaanna, kreta..
sang wong tani pageuh di katanianna, kreta..
sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta..
sang gusti pageuh di kagustianna, kreta..
sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta..
sang masang pageuh di kamasanganna, kreta..
sang tarahan pageuh di katarahanna, kreta..
sang disi pageuh di kadisianna, kreta..
sang rama pageuh di karamaanna, kreta..
sang prebu pageuh di kaprebuanna, kreta.."
"ngun sang pandita kalawan sang dewarata pageuh
ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sakasangga dening pretiwi
sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh."
Terjemah Indonesia:
"Teguhan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuhi
kenyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejahteralah dunia, maka akan
sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan. demikianlah
hendaknya. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera.
Bila wiku teguh dalam tugasnya sebagai wiku, akan sejakhtera. Bila manguyu
teguh dalam tugasnya sebagai akhli gamelan, akan sejakhtera. Bila paliken teguh
dalam tugasnya sebagai akhli seni rupa, akan sejahtera. Bila ameng teguh dalam
tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam
tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wasi teguh dalam tugasnya
sebagai santi, akan sejakhtera. Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai
biarawati, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta,
akan sejakhtera. demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa
yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera. Bila petani teguh dalam tugasnya
sebagai petani, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai
pendeta, akan sejakhtera. Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu
ladang, akan sejahtera. Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah,
akan sejahtera. Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan
sejahtera. Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan
sejaktera. Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan
sejahtera. Bila tarahan teguh dalam tugasnya sebagai penambang penyebrangan,
akan sejahtera. Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang
peramal, akan sejahtera. Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh
rakyat, akan sejakhtera. Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja,
akan sejakhtera."
"Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh
membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur,
diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan
seluruh umat manusia"
Wasiat ini mengandung pula konsep tentang bagaimana manusia
harus focus dan professional dibidang keahliannya. Lebih maju dari praktek
kenegaraan sekarang. Saat ini banyak bukan negarawan mengurusi masalah Negara.
Para ahli agama banyak yang terjun jadi politikus, banyak politikus jadi
pedagang, banyak kaum pedagang jadi penentu kebijakan Negara. Semuanya
menyebabkan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesentosaan.
Konsep dan tipe kondisi yang diharapkan pernah dikemukakan
BK dalam bentuk partai tunggal, yang mengharapkan bukan pada banyaknya partai
yang ada tapi menghimpunan seluruh kepentingan profesi, seperti keompok tani,
buruh, cendekiawan, agama dll. Banyaknya partai hanya menyiptakan satu golongan
yang kuat, yakni politikus. Ia sangat tidak inheren dengan kelompok lainnya
diluar politikus, seperti kaum tani dan buruh. Para politikus lebih
berorienasti pada bagaimana mempertahankan kekuasaannya, adakalanya
mengenyampingkan amanah mengapa ia harus ada. Namun memang bentuk partai
tunggal dari kacamata demokrasi barat dianggap sangat bertentangan dengan
kebebasan individu warga dan dianggap anti demokrasi. Ditambah waktu itu, BK tidak
mau tunduk pada kuasanya asing.
Demokrasi yang “western oriented” mengandalkan pada dasar
persamaan hak individu, namun bisa berjalan sukses jika ada kesetaraan dalam
mentatai aturan, sebagai cara untuk membatasi terganggunya hak seseorang dari
orang yang lainnya. Disamping itu perlu ada penghormatan terhadap hak-hak lain.
Disini tidak perlu ada dominasi dari satu individu atau kelompok terhadap
individu atau kelompok lainnya. Masalahnya, kebebasan individu memberikan
legitimasi terjadinya "free ficht competition", mensyahkan jika yang
kuat akan semakin kuat dan lemah menjadi tertindas. Karena negara tidak boleh
turut campur, termasuk memberikan proteksi, sekalipun kepada yang lemah.
Wujud dari cita-cita demikian pernah ada pada konsep
lanjutan sebagaimana pada cita-cita awal dan dasar didirikannya Golongan Karya,
yang menginginkan seluruh warga bangsa dapat menghimpun kekuatan didalam wujud
profesinya. Namun godaan untuk bermain politik praktis dan kekuasaan, serta
adanya pengaruh asing yang sangat eksis dalam menentukan kebijakan politik dan
ekonomi ternyata menjadi penghancur yang sangat dahsyat didalam perkumbuhan
social bangsa, bahkan menjadikan Indonesia mandiri didalam ekonomi, tidak
berdaulat didalam berpolitik dan tidak memiliki kepribadian didalam budaya.
Mungkin kita perlu renungkan kembali tentang nilai-nilai
luhur, melalui Wasiat dari Galunggung, leluhur raja-raja Galuh :
Hana nguni hana mangke..
Tan hana nguni tan hana mangke..
Aya ma baheula hanteu teu ayeuna..
Henteu ma baheula henteu teu ayeuna..
Hana tunggak hana watang..
Hana ma tunggulna aya tu catangna..
"ada dahulu ada sekarang, karena ada masa silam maka
ada masa kini. Bila tidak ada masa silam maka tiada masa kini. Ada tonggak
tentu ada batang. Bila tak ada tonggak tentu tidak ada batang. Bila ada
tunggulnya tentu ada dahan atau batangnya."
Saya pikir pesan itu sangat jelas, bahwa masa kini merupakan
akumulasi dari masa lalu, tidak akan ada masa kini kalau tidak ada masa lalu.
Dengan demikian jika dikatikan dengan masalah perkumbuhan bangsa dapat ditarik
benang merahnya, bahwa sejarah suatu bangsa tidak akan selalu sama dengan
bangsa lainnya. Dan dari kesejarahannya masing-masing dapat ditarik dan
dijadikan cermin tentang nilai-nilai mana yang cocok dan sangat tepat.
Marilah kita bertindak profesional dan menyerahkan suatu
persoalan kepada ahlinya masing-masing. Masalah agama bertanyalah kepada ahli
agama, masalah perniagaan bertanyalah kepada ahli niaga, masalah kenegaraan
bertanyaan kepada negarawan. Jangan ahli agama turut campur memaksakan
kehendaknya untuk mengurus Negara, tukang dagang ikut-ikutan ngurusin Negara,
karena semua itu bukan bidangnya.
Demikian seharusnya ahli agama dan raja harus teguh membina
kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur,
diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan
seluruh umat manusia.
Naskah Sunda Kuno - Sulanjana
kaping: 11/27/2012 07:24:00 PM
Ringkasan isi:
Di Suralaya para dewa bermusyarawah untuk mendirikan bakal
Panca Warna. Dewi Anta ditugas membuat batu penyangga tiang. Tetapi Dewi Anta
tidak dapat melaksanakan tugasnya, karena badannya berbentuk ular. Dewi Anta
menangis sedih dan meneteskan air mata tiga butir. Air mata itu kemudian
berubah menjadi tiga butir telur yang dibawanya dengan cara digenggam oleh
mulut.
Karena kesalahpahaman seekor burung elang, telur itu jatuh
dua butir yang kemudian menetas menjadi Kalabuat dan Budug Basu. Sapi Gumarang,
raja segala binatang jelmaan Kencing Idajil (setan) memelihara Kalbuat dan
Budug Basu sebagai anak angkat. Atas perintah Batara Guru telur yang tinggal
satu butir dierami Dewi Anta. Telur menetas, lahirlah seorang putri cantik yang
diberi nama Dewi Puhaci Terus Dangdayang atau juga Dewi Aruman. Batara Guru
mencintai Dewi Puhaci dan berniat memperistri. Akan tetapi ditentang oleh
Batara Narada karena hal itu akan merusak citra Batara Guru sendiri. Disamping
itu Batara Guru dianggap melanggar hukum dan merusak agama sebab Dewi Puhaci
diasuh dan disusui oleh Dewi Umah, istri Batara Guru. Oleh karena itu Dewi
Puhaci masih tergolong anak Batara Guru, maka perkawinannya tidak boleh
terjadi.
Agar perkawinan Batar Guru dengan Dewi Puhaci tidak terjadi,
Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Puhaci buah Koldi sehingga berhenti
menyusui. Tetapi karena ketagihan dan buah koldi itu tidak ada lagi, maka Dewi
Puhaci jatuh sakit hingga meninggal dunia. Mayat Dewi Puhaci diurus oleh
bagawat Sang Sri dan kuburannya dijaga siang malam sambil menyalakan dupa.
Kemudian keluarlah dari dalam tanah kuburan itu berjenis-jenis bibit tanaman.
Dari kuburan bagian kepala keluar kelapa, dari telinga keluar macam-macam pohon
bamboo, dari ari-ari keluar macam-macam tumbuhan menjalar, dari payudara keluar
macam-macam buah-buahan. Pendek kata semua jenis pepohonan berasal dari tubuh
Dewi Puhaci.
Semar ditugasi Batara Guru untuk membawa bibit tanaman itu
ke negeri Pakuan yang dirajai Prabu Siliwangi. Istri Prabu Siliwangi bernama
Nawang Wulan adalah putra Batara Guru. Maka dengan adanya bibit tanaman itu,
negeri Pakuan menjadi subur makmur. Akan tetapi Prabu Siliwangi dilarang
mengetahui bagaimana Dewi Nawang Wulan menanak nasi. Jika Sang Prabu Siliwangi
melanggar larangan, maka akan jatuh telak kepada Nawang Wulan.
Tersebutlah Budug Basu yang diasuh oleh Sapi Gumarang di
Tegal Kapapan sedang mencari Dewi Puhaci. Tiba di kuburan Dewi Puhaci, Budug
Basu mengelilingi kuburan sebanyak tujuh kali. Setelah itu Budug Basu meninggal
dunia. Mayat Budug Basu oleh Kalamullah dan Kalamuntir dibawa keliling dunia
sebanyak tujuh kali. Di tengah jalan mayat Budug Basu pun menjelma menjadi
seekor badak. Kalamullah dan Kalamuntir menjaga binatang-binatang tersebut
menjadi dua bagian yaitu bagian darat dan laut.
Selanjutnya dikisahkan Sulanjana putra laki-laki yang diasuh
Dewi Pratiwi, dititipi negeri Suralaya sebab Batara Guru dan Narada akan turun
ke bumi memeriksa negeri Pakuan. Kedua Batara itu menjelma menjadi burung
Pipit.
Tersebutlah Dempu Awang dari negeri seberang akan membeli
padi dari Pakuan. Karena padi-padi tersebut hanya titipan Batara Guru, oleh
putra Siliwangi permohonan Dempu Awang itu ditolak. Dempu Awang sakit hati,
maka dimintanya bantuan dari Sapi Gumarang untuk merusak tanaman padi. Sapi
Gumarang dibantu oleh binatang-binatang jelmaan Budug Basu, merusak tanaman padi.
Sementara Sulanjana dan kedua orang adik perempuannya yang bernama Talimendang
dan Talimendir, diperintah Batara Guru untuk menjaga dan menyembuhkan padi.
Terjadilah peperangan antara penjaga dan perusak. Akan tetapi Sapi Gumarang
kalah dan berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana asal pada setiap mulai
menanam padi 'disambat' (atau dipanggil secara batin) serta disediakan daun
paku pada 'pupuhunan' (tempat sesaji di ladang atau di sawah).
Prabu Siliwangi penasaran ingin melihat cara Dewi Nawang
Wulan menanak nasi. Dibukanya padi yang sedang dimasak, maka Dewi Nawang Wulan
kembali ke Kahiyangan. Namun sebelum pergi sempat berpesan dulu agar membuat
lesung, dulang, kipas (bahasa sunda:hihid), bakul dan periuk untuk menanak
nasi. Prabu Siliwangi menyesal dan menghadap Batara Guru minta pengampunan agar
Dewi Nawang Wulan kembali ke Pakuan. Permohonan Sang Prabu ditolak, kemudian ia
sendiri pergi ke Pakuan setelah menerima pelajaran bagaimana cara menanak nasi
dan bercocok tanam padi yang baik. Dewi Anta oleh Batara Guru diturunkan ke
bumi untuk menjaga padi.
Kondisi Naskah:
Kecamatan : Sukawening
Nama Pemegang naskah : Adang
Tempat naskah : Kp. Cieunteung Desa Mekarluyu
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 17 x 22 cm
Ruang tulisan : 14 x 18 cm
Keadaan naskah : tidak utuh
Tebal naskah : 49 Halaman
Jumlah baris per halaman : 14 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 11 baris dan -
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : besar
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tumpul
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kecoklat-coklatan
Keadaan kertas : agak tipis halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Naskah Sunda Kuno - Babad Limbangan
Ringkasan isi:
Pada zaman dahulu kala Prabu Layaran Wangi (Prabu Siliwangi)
dari kerajaan Pakuan Raharja mempunyai seorang pembantu bernama Aki Panyumpit.
Setiap hari Aki Panyumpit diberi tugas berburu binatang dengan menggunakan alat
sumpit (panah) dan busur.
Pada suatu hari Aki Panyumpit pergi berburu ke arah Timur.
Sampai tengah hari ia belum memperoleh hasil buruannya, padahal telah banyak
bukit dan gunung didaki. Sesampainya di puncak gunung, ia mencium wewangian dan
melihat sesuatu yang bersinar di sebelah Utara pinggir sungai Cipancar.
Ternyata harum wewangian dan sinar itu keluar dari badan seorang putri yang
sedang mandi serta mengaku putra Sunan Rumenggong, yaitu Putri Rambut Kasih
penguasa daerah Limbangan.
Peristiwa pertemuan dengan Nyi Putri dari Limbangan
dikisahkan oleh Aki Panyumpit kepada Prabu Layaran Wangi. Berdasarkan peristiwa
itu Prabu Layaran Wangi menamai gunung itu Gunung Haruman (haruman = wangi).
Prabu Layaran Wangi bermaksud memperistri putri dari Limbangan. Ia mengirimkan
Gajah Manggala dan Arya Gajah (keduanya pembesar Pakuan Raharja).
Aki Panyumpit serta sejumlah pengiring bersenjata lengkap
untuk meminang putri tersebut dengan pesan lamaran itu harus berhasil dan
jangan kembali sebelum berhasil. Kendatipun pada awalnya Nyi Putri menolak
lamaran tetapi setelah berhasil dinasehati Sunan Rumenggong, ayahnya, akhirnya
menerima dijadikan istri oleh Prabu Layaran Wangi.
Selang 10 tahun antaranya, Nyi Putri (Rambut Kasih)
mempunyai dua orang putra dari Raja Pakuan Raharja, yaitu Basudewa dan Liman
Senjaya. Kedua anak itu dibawa ke Limbangan oleh Sunan Rumenggong (kakeknya)
dan kemudian dijadikan kepala daerah di sana. Basudewa menjadi penguasa
Limbangan dengan gelar Prabu Basudewa dan Liman Senjaya penguasa daerah Dayeuh
Luhur di sebelah Selatan dengan gelar Prabu Liman Senjaya.
Di kemudian hari Prabu Liman Senjaya setelah beristri
membuka tanah, membuat babakan pidayeuheun (kota) dan lama kelamaan dibangun
sebuah Negara dengan nama Dayeuh Manggung. Negara baru ini bisa berkembang sehingga
dikenal baik oleh tetangga-tetangganya, seperti Sangiang Mayok, Timbanganten,
Mandalaputang. Dayeuh Manggung terkenal karena keahlian dalam membuat tenunan.
Rajanya yang lain yang termashur adalah Sunan Ranggalawe.
Kondisi Naskah:
Kecamatan : Garut Kota
Nama pemegang naskah : R. Sulaeman Anggapradja
Tempat naskah : Jln Ciledug 225 Kel. Kota Kulon. Kec Garut
Kota
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 20.5 x 32 cm
Ruang tulisan : 17 x 17 cm
Keadaan naskah : baik
Tebal naskah : 16 Halaman
Jumlah baris per halaman : 39 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 39 dan 23 baris
Huruf : Latin
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : agak tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas bergaris ukuran folio
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : putih
Keadaan kertas : agak tebal, halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Naskah Sunda Kuno - Suryakanta
Ringkasan isi:
Adalah sebuah kerajaan Tanjung Karoban Bagendir yang jauhnya
dari kerajaan Banurungsit tujuh bulan perjalanan. Raja Tanjung Karoban Bagendir
bernama Dengali dengan patihnya Dungala yang kedua-duanya siluman. Raja Dengali
mempunyai istri dua orang, Kala Andayang dan Kala Jahar. Pada suatu hari Raja
Dengali didatangi oleh Emban Turga, Emban melaporkan bahwa kerajaan Nusantara
baru saja dikalahkan oleh Raden Suryaningrat dari kerajaan Erum. Emban Turka terpikat
oleh ketampanan dan kegagahan Raden Suryaningrat. Tatkala ia menyatakan
cintanya, serta merta ditolak oleh Raden Suryaningrat, bahkan Emban Turga
diusir. Emban Turga mohon bantuan Raja Dengali agar memperoleh Raden
Suryanigrat untuk dijadikan suami. Raja Dengali menjanjikan akan membantu
menangkap Raden Suryaningrat. Ia menyuruh seorang raksasa untuk mencuri putra
mahkotanya bernama Suryakanta. Raden Suryakanta dapat diculik ketika sedang
bermain ditaman. Maka hebohlah kerajaan Erum dan Nusantara karena kehilangan
putra mahkota. Istri raja yang bernama Ningrumkusumah diusir karena dianggap
dialah yang menjadi sebab hilangnya Raden Suryakanta. Ningrumkusumah pergi
tanpa tujuan. Dalam perjalanannya ia sampai ke tempat pertapaan Pandita Syeh
Rukman,yang memberitahu bahwa ia telah difitnah oleh seseorang yang bernama
Jamawati.
Untuk membalas dendam kepada yang memfitnah dan mendapatkan
kembali Raden Suryakanta yang diculik atas perintah Raja Dengali,
Ningrumkusumah harus berganti nama menjadi Jaya Komara Diningrat atau Jaya
Lalana Di Ningrat. menyamar seolah-olah menjadi laki-laki.
Ningrumkusumah alias Jaya Komara dapat membunuh Raja Dengali
dan Emban Turga. Tetapi untuk menemukan kembali Raden Suryakanta ia harus
mengalami bermacam-macam kesengsaraan dan peperangan. Dalam peperangan yang
terjadi, Ningrukusumah selalu menang. Di setiap negara yang dikalahkannya, raja
dan pemeluknya diharuskan memeluk agama Islam, diantaranya kerajaan Yunan,
Turki, Raja Bahrain, Raja Gosman. Prabu Suryaningrat sepeninggalan Ningrumkusumah
jatuh sakit. Ia selalu teringat kepada istrinya dan menyesali kepergiannya.
Ditambah lagi putra kesayangannya Suryakanta belum ditemukan juga. Ia tidak
menyangka bahwa Ningrumkusumah telah difitnah oleh Jamawati, istrinya yang
lain.
Lama-kelamaan Raja Suryaningrat mengetahui dari seorang
mentri bahwa Jamawati lah yang telah memfitnah Ningrumkusumah. Raden
Suryaningrat sangat marah kepada Jamawati dan terbukalah bahwa yang telah
mencuri Suryakanta adalah Raja Dengali atas permintaan Emban Turga.
Raden Suryaningrat menantang perang kepada Raja Dengali dari
Kerajaan Tanjung Karoban Bagendir. Berkat kegagahan Ningrumkusumah dan Ratna
Wulan (keduanya istri Raden Suryaningrat), Dengali dikalahkan dan Suryakanta
kembali.
Kondisi Naskah:
Kecamatan : Balubur Limbangan
Nama pemegang naskah : Duki bin Saleh
Tempat naskah : Desa Cigagade
Asal naskah : pemberian
Ukuran naskah : 17 x 22 cm
Ruang tulisan : 14 x 19 cm
Keadaan naskah : relatif baik
Tebal naskah : 241 Halaman
Jumlah baris per halaman : 12 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 11 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tumpul
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kecoklatan
Keadaan kertas : tebal
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Naskah Sunda Kuno - Walangsungsang
Ringkasan isi:
Prabu Siliwangi, raja Padjadjaran mempunyai dua orang putra,
yang sulung laki-laki bernama Walangsungsang, dan adiknya perempuan bernama
Rara Santang. Disamping kedua putranya itu, Baginda mempunyai putra yang
lainnya pula sebanyak sembilan orang. Tetapi mereka meloloskan diri dari
keratin. Kesembilan putranya itu terdiri atas lima orang laki-laki dan empat
orang perempuan. Mereka bertapa di Gunung yang saling berjauhan. Seorang
putranya laki-laki bertapa di Jakarta, yang lain di Tanjung Kuning bernama
Santang Partala, sedang yang lainnya lagi bernama Garantang Setra, Ishu Gumare
di Lebak dan Sang Sekarsari. Adapun putra-putranya yang perempuan adalah Nyi
Tanjung Buana betapa di Pesisir Barat, Nyi Gending Juri atau Nyi Panjang Nagara
di pesisir Selatan, Nyi Ratu di Kawali, dan Nyi Sekar Bang di Karang Pangantik.
Pada suatu malam Walangsungsang bermimpi. Dalam mimpi ia
bertemu dengan Rosul yang menganjurkan agar pergi menuju Gunung Amparan dan
menemui Syeh Jati, seorang guru dari Mekah. Keesokan harinya Walangsungsang
memberikan impiannya itu kepada ayahnya. Prabu Siliwangi setelah mendengar
pembicaraan Walangsungsang sangat murka. Lalu Walangsungsang berjalan menuju
Karawang menemui Syeh Orah, yaitu seorang guru keturunan Qurais yang menganggap
guru kepada Syeh Gunung Jati.
Atas petunjuk Syeh Ora, Walangsungsang pergi menuju Gunung
Amparan untuk berguru kepada Syeh Nurjati. Tetapi di tengah perjalanan ia
singgah dulu di padepokan agama Budha. Ia belajar agama Budha dari Pandita Danuwarsi
sampai paham betul tentang seluk-beluk agama itu.
Dikisahkan Rara Santang akhirnya melaksanakan pula pesan
kakaknya. Ia meninggalkan keraton menyusul Walangsungsang. Di Gunung Tangkuban
Perahu ia bertemu dengan Nyai Indang Sakiti, yakni adik Prabu Siliwangi. Dari
Nyai Indang, Rara Santang memperoleh hadiah azimat baju antakusumah. Khasiat
baju tersebut, barangsiapa yang memakai baju tersebut maka ia dapat terbang.
Kemudian Rara Santang berganti nama menjai Nyi Batin. Ia meninggalkan Gunung
Tangguban Perahu dan pergi ke Gunung Cilawung, atas anjuran Nyi Indang Sakiti.
Di Gunung Cilawung Nyi Batin bertemu dengan Sang Banjaran Angganati, seorang
pendeta. Sebuah nama diberikan oleh pendeta itu kepada Nyi Batin, ialah nama
Nyi Eling.
Pertemuan kakak beradik, Walangsungsang dan Rara Santang
terjadi di tempat kediaman pendeta Danu Wargi. Pendeta itu mempunyai seorang
anak perempuan bernama Nyi Endang Geulis yang kemudian dikawin oleh
Walangsungsang. Walangsungsang diberi sebentuk cincin ampil ali-ali dan nama
baru yakni Samadulahi. Walangsungsang terus mencari guru agama Islam. Sampai
ada petunjuk terus melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati. Petunjuk itu datang
dari raja Bango yang berhasil ditaklukan Walangsungsang ketika ia akan
mendapatkan azimat berupa pandil baja. Di Gunung Jati ada Syeh Nurjati, nama
lainnya Syeh Nurbayan, cucu Nabi Muhammad. Putra raja Padjadjaran itu
menyatakan tunduk kepada Syeh Nurjati dan ia berguru agama Islam. Syeh Nurjati
memberi nama kepada Walangsungsang, Cakrabumi.
Pada suatu waktu Syeh Nurjati menengok Walangsungsang di
Sembung Luwung. Saat itulah Syeh Nurjati menyuruh Walangsungsang dan Rara
Santang untuk pergi ke Baitulloh. Kemudian kedua kakak beradik itu pergi ke
Mekah dengan membawa sepucuk surat dari Syeh Nurjati yang dialamatkan kepada
Syeh Bayan. Kepada Syeh Bayan inilah Walangsungsang berguru agama Islam.
Dikisahkan Rara Santang diperistri oleh raja Mesir dan
mempunyai dua orang anak, ialah Syarif Hidayat dan Syarif Arifin. Adapun
Walangsungsang setelah diberi Sorban oleh raja Mesir dan perbekalan di Arab
kembali lagi ke Pulau Jawa dengan Nama Abdul Keman. Dalam perjalanannya ia
singgah dulu di Aceh. Di sana ia mengobati Sultan Kut dan kawin dengan anak
sultan itu.
Diceritakan oleh yang empunya cerita bahwa Syarif Hidayat
mencari Nabi Muhammad. Atas pertolongan Abdul Safari dengan memberikan dua buah
barang yang berasal dari Malaikat Jibril. Syarif Hidayat dapat mengadakan
perjalanan Mi?raj. Ia bertemu dengan Nabi Muhammad dan mengadakan percakapan
tentang rahasia hidup dan mati. Atas perintah Nabi Muhammad. Syarif Hidayat
akhirnya pergi ke Gunung Jati di Pulau Jawa dan berjumpa lagi dengan ibunya,
Rara Santang yang sudah pulang dari Mesir, di Cirebon. Sebelum ia bermukim di
Gunung Jati dengan nama Sunan Jati Purba, ia pernah berkelana di Jawa, Madura,
Palembang dan Cina.
Kondisi Naskah:
Kecamatan : Wanaraja
Nama Pemegang naskah : Imas Darwati
Tempat naskah : Desa Tegalsari
Asal naskah : pemberian dari Ny. Titi, Cinunuk Garut
Ukuran naskah : 17 x 21.5 cm
Ruang tulisan : 11 x 15 cm
Keadaan naskah : baik
Tebal naskah : 266 Halaman
Jumlah baris per halaman : 13 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 14 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kekuning-kuningan
Keadaan kertas : tebal, halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup
Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat,
India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini
disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang
sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari
tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan
tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari
seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk
menghancurkan Islam?
Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai
tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai
seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di
zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh
sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara
para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah
ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki
Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah
soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di
Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di
Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa
sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir,
beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan
Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu
dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di
Jawa Timur membuktikan hal ini.
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di
Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara.
Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin
bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi
pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang,
Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan
bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan
hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara
dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang
dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang
luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru
didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja
terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai
sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan
tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem
penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa
antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri
Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di
Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar
pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama
Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts.
Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang
terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari
wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti
adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah
menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri
Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu
terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa
menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15
tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun
setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah
pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang
masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim
dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana.
Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian
al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan
pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa
seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah
menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir
Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah
mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air.
HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para
pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari
Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di
daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut
Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara
kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman
Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami
kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam
wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia
mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah
disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil,
Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah
seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad
ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat
sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan
wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari
kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi
pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5.
000 tahun sebelum Masehi!
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga
dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7
Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu
nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat
dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise
D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa
pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan
multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil,
Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi
yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di
Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri
dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka
memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun
pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut
berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga
dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering
pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin
banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja,
adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan
jalan damai
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of
Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh
mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.
Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini,
misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang
duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok
mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau
Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg:
Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah
batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal
tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah
Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M.
S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah
masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat
dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M,
dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M),
lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam
(sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah
secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah
ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9
tahun sejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memproklamirkan dakwah
Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan
Islam.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki
mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman
Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali
hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat
kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus,
(3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir
dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan
menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah
tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan
pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di
Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah
tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu
merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum
perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian
damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam
pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan
Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan
sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman
menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif
Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut
keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb,
Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu
diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para
al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M,
kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan
sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan perkampungan Arab
Islam tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau
raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan
dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi
Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan
pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak,
setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka para pedagang Arab Islam ini
bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah
kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu,
dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India,
konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625
dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam
bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam
seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5
hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab
yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam
generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu.
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur
Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah
masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi
dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih
memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang
pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah
hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari
Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan
mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau
dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,”
ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang
Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut
sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah,
telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan
bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti
kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di
perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah
Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah
Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab
sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di
Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama.
Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di
Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau
yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena
para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari
Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja
atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya
merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah
Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan
Sumatera.
Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa
para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang
sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang
meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama,
pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir
Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat
perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan
Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi
ke Cina atau Jawa.
Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus,
Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari
Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu
dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan
demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari
cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai
sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.
Pangeran Cakrabuana, Raden Syarif Hidayatullah, Prabu Kian
Santang : Tiga Tokoh Penyebar Ajaran Agama Islam di Tanah Pasundan
Berbicara tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di
seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah
Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang
tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut
sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar
Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu
Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah
yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya
keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada
mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan
bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah.
Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan
dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan
yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan
Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga
faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga
tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya
mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga
disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam
beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan
setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di
tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka
tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan,
fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan
demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap
khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih
kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para
peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber Sejarah
Sebenarnya banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai
bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber
tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik).
Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang
berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu
dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung
Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih
banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah
tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman,
Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan
Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting
yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah
Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk
mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik)
seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok
pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan
adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan
Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur
(Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam
itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan
penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik
berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya
merupakan tulisan tangan.
Pangeran Cakrabuana
Berdasarkan sumber sejarah lokal (seperti Babad Cirebon)
bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh
utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan
Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir
Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh
tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak.
Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian
Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang,
sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang,
dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan
Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang.
Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja
Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi
raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah
kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh
ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor)
masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai
Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin
atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di
negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh
Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad
Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di
karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu
ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh
Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut
merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan.
Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati
(Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok
pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi,
seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui
lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah
Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan,
Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk
kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti
itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya
Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama
ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap
tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa
Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada
ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di
Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak
mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya
meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana
mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu
Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara
Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada
Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng
Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di
daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra
tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April
1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus
Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata
“cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu
itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap
udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda)
pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang
oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu
(pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai
suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa,
terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106
orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang,
Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut
seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam,
pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah)
kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan
(Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di
tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini
masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah
tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna
historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir
Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci
Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran
Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang
penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara
geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati
atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan
ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai
Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas
Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di
Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga
bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang
sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari
fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke
Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki
Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris
tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana
tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa
harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan
tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di
Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan
berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama
di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran
Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam
bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri
Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia
mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran
Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka
Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan
(kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda
kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu
Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul
agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda
adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji
Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan
ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia
merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia
dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman
(panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Prabu Kian Santang
Sebagaimana halnya dengan Prabu Siliwangi, Kian Santang (Ki
Hyang Sancang) merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi
tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah
Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan
pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal
dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat
terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh
sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang
keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual
dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah
sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya.
Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang
dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa
sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah
patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di
daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu
adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir
yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah
yang sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan
tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat
legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog
yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad
Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat
mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding
kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut
tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang
membaca kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian
Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk
Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi
mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di
Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk
Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut
agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke
Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang
menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar
agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang”
atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran
itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya
seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh
jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M,
melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di
Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu
dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan
tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille
menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan
Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah
Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah
al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada
di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di
Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan
Garut.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang
suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia
membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang
setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de
Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah
Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah
Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7)
Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan
11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa
Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah
Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini
dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang
mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi
kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di
antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri
Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu
Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di
Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin
(ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang
Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi
ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang
merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang
diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di
daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu
Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih;
Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia
melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog,
op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di
Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu,
sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan
langsung dnegan para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti
Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar)
atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan
Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah
sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan
buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah
al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an
la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah
Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara
langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci
Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang);
2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang
sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang
dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke
seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para
penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq
(Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah
(Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah;
Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram
seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
Raden Syarif Hidayatullah
Seperti telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai
menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya
(Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan
al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul
Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah
Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau
raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat
Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw.
Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah
Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa
dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas
Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di
Mesir.
Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama
terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di
Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang
kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup
pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung
kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu
menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di
Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat
yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat
menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati
Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia
meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera
Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam
bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan
Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel)
yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan
agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu,
Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu
Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah
dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa
khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan
diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun
diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan
dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh.
Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya
ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya
Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata.
Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk
Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan
Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa
tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya
Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad
Limbangan, 1977:46).
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari
tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah
Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif
Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan
dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati
melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan
Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun
penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan
bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama
Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara
kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas
jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi
mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi
petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya
adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar
Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian
kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21
Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan.
Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak
Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa
pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan
seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik
dengan orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah
menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada
tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah
atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada
waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar
pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama
pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita
mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun
pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah
bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini,
yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase.
Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia
merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini
karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah
dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus
yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan
Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua
keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19
September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah
sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad
Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari
tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi
penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal
dengan nama Pangeran Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu,
Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad
Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki
tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung
selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu
komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati
Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.
Penutup
Demikianlah sekilas mengenai uraian historis tentang peran
Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses
penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu
Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat
beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan
untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di
daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati
Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang
mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hidayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan
Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada
tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana
Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada
tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia
merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah
Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah
nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda
dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.
Daftar Pustaka
Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta:
Interumas Sejahtera.
Edi S. Ekajati. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan
Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran
Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke
Masa. Diktat.
Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di
Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.
Ringkasan isi:
Naskah ini berisi cerita tentang kisah seorang tokoh yang
bernama Keyan Santang (Ki Hyang Sancang) putra Raja Padjajaran Sewu. Prabu
Siliwangi, yang gagah perkasa kemudian masuk Islam. Ia menyebarkan agama baru
yang dianutnya itu di Pulau Jawa dan menetap di Godog, Suci Kecamatan Karangpawitan
Garut sampai akhir hayatnya. Nama-nama lain yang disandang tokoh itu adalah
Gagak Lumayung, Garantang Sentra. Pangeran Gagak Lumiring. Sunan Rahmat, dan
Sunan Bidayah.
Pada suatu hari Keyan Santang berdatang sembah kepada
ayahandanya. Ia ingin menyampaikan sesuatu yakni hasrat hatinya untuk dapat
melihat darah sendiri. Kemudian baginda memanggil para ahli nujum untuk
menanyakan siapa gerangan orang yang sanggup memenuhi keinginan Keyan Santang
seperti yang diucapkannya tadi. Para ahli nujum tidak seorang pun yang dapat
menjawab pertanyaan raja. Tetapi kemudian seorang kakek yang sudah tua renta
datang menghadap baginda raja dan berkata. "Daulat tuanku, hamba hendak
mengabarkan kepada tuanku bahwa sebenarnya ada orang yang dapat memperlihatkan
darah raja putra itu. Ialah Baginda Ali di Mekah."
Prabu Siliwangi bertanya, "Siapa kiranya yang akan
unggul bila anakku bertarung dengan dia?" Selesai pertanyaan itu
diucapkan, maka tanpa memperlihatkan jawaban kakek itu pun lenyap dari
pandangan. Menurut yang empunya cerita, kakek itu tak lain adalah Malaikat
Jibril.
Nama Baginda Ali terkesan pada hati Keyan Santang. Sekarang
ia ingin mencari orang yang memiliki nama itu ke Mekah. Setelah meminta izin
dari Prabu Siliwangi dan menyetujuinya untuk berangkat, maka Keyan Santang
terbang. Namun ia belum tahu jalan ke Mekah. Baru saja ia tinggal landas, di
atasnya terdengar suara tanpa wujud sumbernya, "Engkau bernama Geranta
Sentra!"
Setelah itu tampak olehnya seorang putri yang sangat cantik
turun dari langit. Terjadilah percakapan antara Keyan Santang dengan putri itu.
Kemudian putri itu minta kepada Keyan Santang agar diambilkan bintang-bintang
dari langit. Setelah selesai mengucapkan permintaannya itu, maka hilanglah
putri itu. Ingin memenuhi permintaan sang putri, Keyan Santang bertambah tinggi
terbangnya, ia bermaksud akan memetik bintang. Tetapi malah bintang itu
berterbangan jauh ke langit. Keyan Santang tidak putus asa, ia terus mengejar
bintang itu hingga akhirnya ia sampai di atas Mekah. Karena Keyan santang
demikian bernafsunya ia ingin dapat menangkap salah satu bintang, maka langit
di atas Mekah pun menjadi hingar bingar. Suara gaduh itu membuat baginda Ali
ingin melihat keadaan langit.
Tak lama kemudian bertemulah Baginda Ali dengan Keyan
Santang. Terjadilah percakapan antara mereka. Kata Baginda Ali, "Kau dapat
mengambil bintang, asal kau tahu dahulu mantranya." Keyan Santang
menanyakan bagaimana bunyi mantra itu. Kemudian Baginda Ali mengucapkan mantra
yang berbunyi. "Allohusoli ala nu dimakbul Sayidina Muhammad".
Setelah Keyan Santang mengucapkan mantra itu, ia dapat menangkap bintang dari
langit. Ternyata bintang itu berupa untaian tasbih.
Diketahui akhirnya oleh putra raja Padjadjaran itu bahwa
yang mengajarkan mantra itu adalah baginda Ali yang tengah dicarinya. Timbul
keinginan Keyan Santang untuk mengajak bertarung dengan Baginda Ali. Tetapi
Baginda Ali sudah tidak ada. Keyan Santang hanya bertemu dengan seorang tua
bangka yang sedang membawa tungked (tongkat) dan tiang mesjid. Terjadilah
percakapan antara Keyan Santang dengan orang tua itu. Keyan Santang mencoba
untuk mencabut tongkat yang ditancapkan oleh orang tua tadi dengan sekuat
tenaga hingga tidak disadari darah bercucuran keluar melalui pori-pori kulitnya
dan tetap saja tongkat itu tidak berhasil dicabut, Setelah diketahui bahwa
orang tua itu tidak lain adalah Baginda Ali, maka Keyan Santang pun menyatakan
takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam. Keyan Santang berganti nama
menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah.
Keyan Santang pun memeiliki tugas untuk menyebarkan agama
Islam di Pulau Jawa. Prabu Siliwangi menolak bahkan tidak mau memeluk agama
Islam. Kemudian dengan jalan menembus bumi raja Padjadjaran itu pergi dari
Padjadjaran Sewu. Sementara itu para bangsawan Padjadjaran bersalin rupa
menjadi bermacam-macam jenis harimau. Sedangkan keraton serta merta berubah
menjadi hutan belantara. Konon harimau-harimau itu menuju hutan Sancang
mengikuti Prabu Siliwangi.
Sementara itu Sunan Rahkmat meng-Islamkan rakyat yang ada di
Batulayang, Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Godog, Curug Sempur, dan Padusunan.
Sewaktu itu Sunan Rahmat kawin dengan Nyi Puger Wangi yang berasal dari Puger.
Dari Puger Wangi Sunan Rahmat mempunyai anak kembar, kedua-duanya laki-laki,
kakaknya bernama Ali Muhammad dan adiknya Pangeran Ali Akbar. Sayang sekali tak
lama kemudian setelah melahirkan Nyi Puger Wangi meninggal dunia.
Dalam kesedihan karena ditinggal istri, Sunan Rahmat terus
menyiarkan agama Islam di Karang Serang, Cilageni, Dayeuh Handap, Dayeuh
Manggung, Cimalati, Cisieur, Cikupa, Cikaso, Pagaden, Haur Panggung, Cilolohan,
warung Manuk, Kadeunghalang, dan Cihaurbeuti. Pada suatu saat pernah pula Sunan
Rahmat berangkat lagi ke Mekah.
Waktu akan pulang lagi ke Jawa, Sunan Rahmat dibekali tanah
Mekah yang dimasukan ke dalam peti. Di dalam peti itu diletakkan pula sebuah
buli-buli berisi air zam-zam. Selain itu Sunan Rahmat diberi hadiah kuda
Sembrani oleh ratu Jin dan Jabalkop.
Alkisah disebutkan bila peti itu gesah (bergoyang) di suatu
tempat di Pulau Jawa, maka itulah tandanya Sunan Rahmat mesti berhenti. Di
sanalah ia mesti bermukim. Adapun menurut yang empunya cerita, tempat
bergoyangnya peti itu di Godog. Itulah sebabnya Sunan Rahmat yang nama aslinya
Keyan Satang dimakamkan di Godog Karangpawitan Garut.
Menguak Konsep Kosmologi Sunda Kuno
kaping: 2/05/2013 01:50:00 AM
Pada zaman kuno (masa pra-Islam) orang Sunda memiliki konsep
tersendiri tentang jagat raya. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara
konsep Sunda asli, ajaran agama Budha, dan ajaran agama Hindu. Uraian mengenai
hal ini antara lain terdapat dalam naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak
422 yang kini tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua
naskah yang ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda
kuna itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis
sekarang.
Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar
Sunda dan barang pusaka lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut
selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat
pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu
kota kerajaan mereka (Pakuan Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang
dan diduduki oleh pasukan Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah
lontar lainnya, kedua naskah lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A.
Kusumadiningrat (memerintah tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum
Nasional sekarang) pada perempatan ketiga abad ke-19.
Kosmologi Sunda kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam,
yaitu bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam
gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi
sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me miliki
jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia,
hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak.
Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk
gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi,
bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak
dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada
manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan
neraka.
Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah
Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai penghuni buana
niskala. Di samping itu, penghuni buana niskala lainnya di antaranya 9 dewi,
seperti Dewi Tunyjung Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang, Dewi Sari Banawati,
dan 45 bidadari yang disebutkan namanya, antara lain Bidadari Tunyjung Maba,
Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala, Bidadari Sedajati.
Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai
tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang
disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen.
Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah
pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam
mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan
tugas/kewenangannya berbeda.
Kosmologi Sunda kuna berbeda dengan kosmoligi Islam. Dalam
ajaran Islam jagat raya digambarkan terdiri dari 5 alam, yaitu alam roh, alam
rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Kosmologi menurut konsep
Islam cenderung didasarkan pada urutan kronologis kehidupan manusia (dan
makhluk lainnya). Alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi
tempat kehidupan manusia sebelum lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam
barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan
manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat
menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.
Jika kosmologi Islam mencerminkan gambaran urutan kronologis
kehidupan manusia, kosmologi Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya
dan tingkat kegaibannya. Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula
tinggi-rendah kedudukannya, baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda
kuna tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir
ke alam dunia (bumi sakala). Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi
setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu (1) kembali ke alam dunia
dalam wujud yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan, tumbuhan atau benda
lainnya sesuai dengan kepercayaan reinkarnasi) dan (2) menuju alam niskala,
bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian
mahadewa).
Yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah
sikap, perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku,
dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan larangan
ajaran agama, ia akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah
derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika
sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan
dengan larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang
menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan.
Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu didambakan
oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia mati
mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan situasi dan
kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku, dan
perbuatannya di alam dunia.
Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi
sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat),
maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang
ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422
dikemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana
jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju
buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala
yang paling tinggi derajatnya.
Kropak 420 membuka penuturannya dengan pernyataan dan
pertanyaan, "Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya,
maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?" (Berjalan teriring rasa senang,
saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah harus
meminta tolong?).
Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara
Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala), "Ka saha geusan ngahiras, di
sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati
mahapandita," (Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di
niskala, terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat
mahapandita).
Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup
di bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri
kehidupan di bumi sakala bahwa, "Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku
langit ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku
sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa
utama, beunang ku rasa wisisa." (Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup
oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita,
terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh
keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan mulia).
Ajaran moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara
pendeta utama dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah
Sanghyang Sri (penjaga alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap makhluk yang
ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu
menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda
(suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun
hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui
berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke
kodratnya bagaikan dewa.
Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi
oleh penuh rasa keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya
tidak tersesat kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak
berbuat kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat
pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang
benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.
Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang
yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi
hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi
pendeta, janganlah hanya mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan
sejati.
Nasihat pendeta utama yang lain adalah "Mulah
cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak ngabigal, mati-mati
uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag, pregi ngajuk
ngajalanan," (Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak
menghalangi, menggertak merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak
berdosa, iri dengki melukai memukul, berani mengawali berutang). Adapun
berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut rumput dan berbagai umbi, berbagai
dedaunan tak pernah kurang, ilalang arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut
sarba beuti, tangtarukan tada kurang, kusa madi sarba pala).
Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana
jatiniskala, tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon,
dan makhluk halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak
dibatasi oleh keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada
teks Kropak 422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna,
menurut naskah ini, adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk
berusaha berbuat amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat
sejati di Kahyangan (surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu
angkara murka, akan menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak
yang lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni
neraka. Kalaupun mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus
mengalami reinkarnasi di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah
dari manusia.
Bahwa yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati)
terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan,
kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya sendiri.
Rumusannya adalah, "Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang
Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana premana
aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip
hurip aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap
aing." (Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang
Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri,
kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku
sendiri, kalaulah itu terlal u berkuasa, sebab kesentosaan kesentosaanku
sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku sendiri, ucapan
ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).
"Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan
aing, hamwa waya nu leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika
hanteu nu ngawisisa aing, ka pangikuna aci jatinistmen." (Ah begitu
berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku, tak mungkin ada
yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada yang suci lebih dariku, sehingga
mustahil ada yang menguasaiku, sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati).
Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud
kekuasaannya luar biasa sehingga, "Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana
pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan
hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana
pemaga, na jati tan hana urip." (Berhasillah dia memerintah, pada bumi
tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada
purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada
angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan).
Salah satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi
berwujud jenis wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan,
menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang Sri
dengan ciri-cirinya, "Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu
bidito hurip, ti nu hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu
alit niskala, ti nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata."
(Dari yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh
sejahtera, dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari
yang indah halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang
sempurna bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).
Di dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa
benar itu artinya, jika, "Bayu dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap
dihdapan deui, hurip dihuripan deui, hirang dihirangan deui, jati dijatyan
deui, niskala diniskalaan deui, alit dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui,
talinga ditalingakeun deui, leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun
deui." (Kekuatan diper kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan
dirasakan lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan
lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi,
pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi, sadar disadarkan lagi).
Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep
kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata
mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar
kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman
hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.
Oleh EDI S. EKADJATI - Pikiran Rakyat, Kamis, 2 Juni
2005
Penulis Ketua Badan Pengurus Pusat Studi Sunda dan Guru
Besar pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad.
Agama Asli Ageman Urang Sunda Baheula
kaping: 8/28/2012 01:17:00 AM
Seueur pisan rerencangan (sanes urang sunda) nu naroskeun ka
kuring, soal "Naon sabab urang sunda mayoritas agamana Islam jeung kunaon
mani babari pisan ngagem kana ajaran Islam?"
Inget kana pertarosan ieu, minggon kamari nuju boboran di
ciamis, kuring ngahajakeun silaturahim kanu jadi guru di hiji lembur di lereng
gunung papandayan - garut, waktuna paamprok sareng pun guru pok we ku kuring
teh ditarosan ku pertarosan nu diluhur tadi, anjeuna ngajawab singket pisan,
cenah :
"Da islam mah memang agamana urang sunda, urang sunda
asli geus pasti agamana islam."
kuring bingung, ku kuring ditaros deui naon maksudna, tuluy
anjeuna nyarios deui :
"Samemeh datangna aqidah Islam anu mawa ajaran Tauhid,
urang sunda mah geus leuwih tiheula Nauhid, urang sunda baheula ngan nyembah
jeung muja ka hiji Sanghyang Widi (gusti nu ngawidian / tuhan yang memiliki
kehendak atau yang memberikan izin) nyaeta gusti nu ngagaduhan Widi, atawa sok
disebut oge Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atawa Nu Ngersakeun (Yang
Menghendaki). oge sok disebut Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat
(Penguasa Alam), jeung Batara Seda Niskala (Yang Gaib). anu nempat di Buana
Nyungcung (Sidrotul-Muntaha). tah sanggeus datangna Islam ka tatar Sunda
diperjelas we ku Sifat Wahdaniahna Gusti dina ajaran Tauhid nu nerangkeun sifat
Wajib jeung Mustahilna Allah (Sanghyang Widi - ceuk urang sunda)."
Jadi ringkesna mah, "Tibaheula ge urang sunda mah geus
wawuh ka Allah nyaeta kanu hiji nu dipikagusti, tegesna Sanghyang Widi teh
Allah tea anu ngagaduhan widi. Matak mun diajak nyembah pangeran anu aya 3
atawa lewih loba teh moal daraekeun, iwal ti nu barodo jeung nu kadaresek ku
haliah dunya." kitu saur anjeuna. Sanajan cariosanana rada beda sareng nu
kacatet dina sejarah kanekes perkawis ngahyang/tilem (nyaeta puncakna elmu dina
tarekat sunda buhun, samemeh datangna Islam nu jadi panyampurna sakabeh ajaran
para Nabi anu jumlahna aya 124.000), ieu jadi bahan fikiran keur kuring, bisa
jadi pangna disebut Parahyangan ge meureun baheulana para Nabi anu nga-hyang
teh seuseurna ti Tataran Sunda. jeung bisa jadi penganut sunda wiwitan anu teu
narima kana islam teh saking ku sieunna kaleungitan ajaran buhun bari manehna
can nyaho yen datangna Islam teh keur Nyampurnakeun ajaranana.
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Benarkah Ki Sunda Sudah Terpuruk?
Saat ini banyak kalangan di tatar Sunda mengulas tentang
keberadaan Ki Sunda. Pada umumnya mereka mengulas tentang memudarnya jati diri
Ki Sunda yang seolah telah hilang atau ditinggalkan oleh sebagian besar Ki
Sunda khususnya oleh generasi muda karena bermacam sebab. kekecewaan demi
kekecewaan tercetus karena merasa bahwa Ki Sunda saat ini sudah mulai terpuruk
dan keberadaannya bagai jati kasilih ku junti, benarkah demikian?
Sejarah tatar Sunda, sepenggal kecil wilayah dari sekian
luas kawasan nusantara, kepulauan terbesar di dunia, sejak dahulu kala konon
sudah banyak disinggahi para pendatang dari berbagai belahan bumi, seakan
memiliki pesona dan magnet yang mampu menyedot para pendatang untuk datang dan
bermukim di sini. Pembauran ras dan budaya bercampur aduk, secara bertahap
berkembang membentuk budaya baru dan baru lagi. Budaya yang selalu dinamis
berkembang mengikuti perjalanan waktu, mulai dari pola pikir dan pola hidup
yang paling sederhana sampai kepada pola yang kita jalani di abad 21 ini.
Sejarah mencatat bahwa langkah Ki Sunda telah berjalan
menempuh rentang waktu yang amat panjang, konon sejak zaman Aki Tirem di ujung
barat tatar Sunda di abad pertama masehi sampai saat ini. Kebangkitan dan
keterpurukan Ki Sunda dari masa ke masa bergulir silih berganti, berfluktuasi
sejalan dengan peran para tokoh sejarahnya. Berbagai episode telah menghias
ilustrasi perjalanan skenario sejarah di tatar Sunda.
Salah satu episode yang paling dikenal oleh masyarakat Sunda
adalah era Pajajaran (1482 M-1579 M) yang pernah mengalami masa kejayaan pada
zaman pemerintahan pendirinya Prabu Siliwangi (1482 M-1521 M) dan kemudian
terpuruk sampai pada total kehancurannya di tahun 1579 M akibat ulah para
generasi penerusnya.
Tome Pires, orang Portugis yang berkunjung ke Pakuan tahun
1513 M, menyebutkan Sunda sebagai "negeri ksatria dan pahlawan laut".
Menurutnya, orang Sunda menarik (goodly figure), ramah, tinggi kekar (robust),
dan they are true man (orang jujur). "The Kingdom of Sunda is justly
governed" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil).
Menurut cerita Parahiyangan, Purbatisti purbajati, mana mo
kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan
kena kretarasa (Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Oleh karena itu,
tidak akan kedatangan musuh lahir dan musuh batin. Bahagia sentosa di utara,
selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera). Tahun 1521 M, Prabu
Siliwangi wafat dan dipusarakan di Rancamaya setelah memerintah selama 39
tahun.
Penggantinya, Surawisesa Sang Putera Mahkota naik tahta. Pada
saat pemerintahan ayahnya, dia dua kali diutus sebagai duta Pajajaran untuk
menjalin persahabatan dan hubungan dagang dengan Alfonso d'Albuquerque, raja
muda Portugis di Malaka. Perjalanannya ke Malaka ini digubah oleh pujangga
pantun menjadi cerita Raden Mundinglaya Dikusumah.
Pada era pemerintahannya, pecah perang saudara antara
Pajajaran dan Cirebon. Galuh dikalahkan dan dikuasai Cirebon yang dibantu Demak
sehingga Surawisesa hanya menguasai dan mempertahankan wilayah kerajaan Sunda,
warisan dari kakeknya. Perang yang berlangsung selama 5 tahun itu berakhir
dengan perdamaian. Surawisesa wafat pada tahun 1535 M dan dipusarakan di
Padaren.
Putera Surawisesa, Ratu Dewata menggantikan ayahnya. Ia
sangat alim (lumaku ngarajaresi) dan merasa aman karena sangat percaya pada
jaminan perjanjian damai yang dibuat ayahnya dengan Cirebon. Namun Banten,
sekutu Cirebon, kurang setuju terhadap isi perjanjian karena hanya aman bagi
Cirebon, tapi kurang aman bagi Banten. Agar tidak melanggar perjanjian, Banten
membentuk pasukan tambuh sangkane (tanpa identitas) untuk menyerang Pakuan,
namun benteng yang dibangun Sri Baduga sulit ditembus. Ratu Dewata wafat tahun
1543 M setelah memerintah selama 8 tahun (1535 M-1543 M) dan dipusarakan di
Sawah Tampian Dalem.
Ia digantikan oleh putranya, Pangeran Sakti. Berbeda dengan
ayahnya, raja ini memerintah tanpa mempedulikan norma-norma pemerintahan.
Membunuh orang tak berdosa, merampas harta rakyat, tidak berbakti kepada orang
tua dan menghina para pendeta. Raja ini diturunkan dari tahta setelah
memerintah selama 8 tahun (1543 M-1551 M). Dan setelah wafat, ia dipusarakan di
Pengpelengan.
Anaknya, Nilakendra menggantikan sang ayah. Dalam
pemerintahannya, Pajajaran sudah demikian rusak. Setiap saat berpesta-pora dan
mabuk-mabukan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa-kilang (air memabukkan
menjadi penyedap makan dan minum). Tatan agama gyang kewaliya mamangan sadrasa
nu surup ka sangkan beunghar (Tidak ada ilmu yang disukai kecuali makan lezat
sesuai dengan kekayaannya).
Ajaran tentang nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang
(makan sekadar pelepas lapar, minum tuak sekadar pelepas dahaga) telah
ditinggalkan. Semua itu terjadi dalam keadaan kerajaan terancam musuh dan
rakyat kelaparan. Tiba saatnya kaliyuga, yaitu zaman yang penuh kejahatan dan
kemaksiatan yang kemudian akan diikuti oleh pralaya (kehancuran). Dalam keadaan
demikian Nilakendra bersama pengikutnya meninggalkan kerajaan. Tidak diketahui
di mana raja ini wafat dan dipusarakan setelah memerintah selama 16 tahun (1551
M-1567 M).
Ragamulya Suryakancana, raja terakhir, mengungsi bersama
pengikutnya ke Kadu Hejo di lereng Gunung Pulasari Pandeglang. Ia bertahan di
salah satu kerajaan daerah dan gugur di sana sebelum pasukan gabungan
Banten-Cirebon menghancurkan Pajajaran. Konon benteng Pakuan dapat ditembus
karena adanya pengkhianatan "orang dalam".
Setelah itu, Pakuan tidak ada beritanya lagi. Reruntuhannya
ditemukan sebagai puing dalam keadaan kosong tanpa penghuni oleh pasukan
ekspedisi Kumpeni Belanda pimpinan Sersan Scipio pada 1 September 1687 M.
Dari episode di atas, dapat kita simpulkan bahwa betapa pun
Prabu Siliwangi membawa Pajajaran ke jenjang zaman keemasan, membangun benteng
pertahanan yang sangat kuat, namun akibat mental dan prilaku penerusnya, Pajajaran
harus mengalami kehancuran. Beberapa episode lainnya tak kalah tragis bahkan
juga memalukan, namun episode di atas rasanya cukup mewakili sebagai pembanding
keberadaan kita di era Sunda kiwari.
"Sunda kiwari"
Saat ini kita dapat melihat dan merasakan fenomena kaliyuga
yang menimpa Ki Sunda walau dalam bobot dan versi yang berbeda.Kemaksiatan,
kerakusan, pengkhianatan, anarkis telah membayang-bayangi. Banyak motif yang
menjurus kepada kehancuran, antara lain pola hidup konsumtif yang berlebihan yang
kemudian berdampak di antaranya kepada perilaku korupsi, pelecehan seksual, dan
narkoba. Tentu kita berharap tidak terjadi pralaya, keterpurukan, atau
kehancuran seperti yang pernah dialami leluhur kita dan ini perlu kita
tafakuri, patut dijadikan cermin agar flek-flek yang tampak
pada wajah kita dapat segera diobati, diprotek sebelum menjadi parah.
Keberadaan Ki Sunda kiwari dan masa datang sangat bergantung
kepada Ki Sunda sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila
kaum itu sendiri tidak mengubah nasibnya. Sudah saatnya kini Ki Sunda
paheuyeuk-heuyeuk leungeun membangun kembali Benteng Pajajaran yang tangguh.
Ki Sunda, baik pituin maupun mukimin harus sejalan
menjunjung tinggi budaya tatar Sunda. Kita gali dan pelihara bersama budaya
warisan para leluhur yang ada, namun wayahna harus rela meninggalkan kultur
yang selalu membuat kita statis, menghambat kemajuan, dan mulai menerima segala
perubahan dengan lapang dada sehingga kita tidak selalu ketinggalan langkah.
Kita belum terpuruk dan kita belum kehilangan jati diri,
namun harus kita sadari bahwa Ki Sunda kini sedang dalam proses metamorposis
untuk menjadi Ki Sunda baru yang tidak lagi ku'uleun atau yang betah berkutat
dalam alam feodal warisan masa lalu. Ki Sunda harus menjadi komunitas yang
tangguh dan mampu beradaptasi dengan segala kondisi setiap saat. Budaya Mataram
yang dominan memengaruhi identitas Ki Sunda selama berabad-abad, khususnya yang
ribet (tidak praktis) kini tengah berada pada titik puncak perubahan dan mulai
ditinggalkan. Jadi tidak perlu heran jika perubahan terjadi dan ini akan terus
dan terus berlanjut di masa yang akan datang. Pada era teknologi dan informasi
saat ini waktu sangat berharga, sehari saja kita tertinggal, kita sudah menjadi
manusia masa lalu.
Kita tidak perlu pesimistis. Hanya dengan rasa memiliki
(sense of belonging) dan semangat yang tinggi, Ki Sunda akan tetap eksis. Ki
Sunda akan tetap Ki Sunda di mana pun berada walau dikelilingi budaya mana pun.
Memang tidak banyak Ki Sunda yang peduli terhadap
keberadaannya karena kebanyakan sibuk dengan kepentingannya dalam usaha
mempertahankan hidup, namun dari yang sedikit ini kita sangat berharap banyak.
Saat ini kita berpacu dengan waktu, juga dengan komunitas lain. Kita harus
berusaha tegas dan berjuang keras agar tidak selalu ketinggalan langkah
sehingga istilah jati kasilih ku junti bagi keberadaan Ki Sunda tidak pernah
kita dengar lagi. Ki Sunda harus kembali mengesankan bagi orang lain maupun
orang asing seperti halnya kesan Tom Pires di abad 16M.
Hanya dengan ketulusan dan kebersihan hati serta tekad yang
kuat kita akan menggapai suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa
(bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan
sejahtera), seperti yang pernah dialami pada zaman keemasan Pajajaran di masa
silam. Insya Allah.
Istilah Hyang Dalam Sunda
Pada masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali kuno, kekuatan alam
tak kasat mata dan roh leluhur ini diidentifikasi sebagai "hyang".
Roh leluhur ini menghuni tempat-tempat yang tinggi, seperti gunung dan bukit.
Tempat-tempat ini disucikan dan dimuliakan sebagai tempat jiwa leluhur
bersemayam.
Dalam bahasa Sunda istilah "nga-hyang" berarti
"menghilang", "tilem" atau "tak terlihat". Diduga
kata ini memiliki kaitan kebahasaan dengan kata "hilang" dalam bahasa
Melayu atau bahasa Indonesia. Pada perkembangannya istilah "hyang"
menjadi akar kata beberapa nama, sebutan, dan istilah yang hingga kini masih
dikenal di Indonesia:
Gelar: Jika disandingkan dengan kata panggil atau sebutan
Sang-, Dang-, Ra-; menjadi kata Sanghyang, Danghyang, atau Rahyang, kata ini
menjadi sebutan kehormatan untuk memuliakan dewa atau leluhur yang sudah
meninggal. Sebagai contoh kata Sanghyang Sri Pohaci dan Sang Hyang Widhi merujuk
kepada dewa-dewi, sedangkan gelaran Rahyang Dewa Niskala merujuk pada nama
seorang raja Kerajaan Sunda yang telah meninggal. Disamping itu istilah
Danghyang atau Danyang merujuk pada roh-roh penunggu tempat-tempat tertentu.
Nama raja pendiri kemaharajaan Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, juga
mengandung nama "hyang" yang menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan
adikodrati.
Tempat: Ranah tempat para hyang bersemayam disebut Kahyangan
yang dibentuk dari susunan kata ka-hyang-an. Kini kahyangan diidentikkan dengan
surga. Karena adanya kepercayaan bahwa hyang menghuni tempat-tempat yang
tinggi, maka wilayah pegunungan kerap kali dianggap sebagai tempat hyang
bersemayam. Nama tempat seperti Parahyangan merujuk pada jajaran pegunungan di
Jawa Barat. Berasal dari gabungan kata para-hyang-an, para menunjukkan bentuk
jamak, sedangkan akhiran -an menunjukkan tempat, jadi Parahyangan berarti
tempat para hyang bersemayam. Kata parahyangan juga dikenal sebagai salah satu
jenis pura Hindu Bali, pura parahyangan adalah pura yang terletak di pegunungan
sebagai sandingan pura segara yang terletak di tepi laut. Pegunungan Dieng di
Jawa Tengah juga memiliki akar kata di-hyang yang juga berarti "tempat
hyang".
Kerja: Kata sembahyang dalam bahasa Indonesia kini disamakan
dengan kegiatan ibadah atau salat dalam agama Islam. Sesungguhnya istilah ini
memiliki akar kata sembah-hyang yang berarti menyembah hyang. Tari Bali yang
sakral Sanghyang Dedari menampilkan gadis muda yang kerasukan hyang.
Konsep "hyang" berasal dari sistem kepercayaan
masyarakat Indonesia asli, bukan berasal dari konsep spiritual Hindu-Buddha
India.
Masyarakat di kepulauan Nusantara sebelum masuknya ajaran
Hindu, Buddha dan Islam, percaya akan keberadaan suatu entitas tak kasat mata
yang memiliki kekuatan gaib yang dapat mengakibatkan hal baik maupun buruk
dalam kehidupan manusia. Mereka juga percaya bahwa roh leluhur yang sudah
meninggal tidak menghilang dan pergi begitu saja, tetapi turut berperan serta
dan memengaruhi kehidupan keturunannya yang masih hidup. Leluhur yang sudah
meninggal dianggap memiliki kekuatan supranatural yang mendekati kekuatan para
dewa. Karena itulah pemuliaan terhadap leluhur menjadi unsur penting dalam
kepercayaan masyarakat asli Indonesia, seperti ditemukan dalam sistem kepercayaan
suku Nias, Dayak, Toraja, suku-suku di Papua, dan berbagai suku lainnya di
Indonesia.
MALURUH NASKAH SUNDA KUNO ASTANA GEDE KAWALI
Kawali tidak akan menjadi tempat penting dalam sejarah sunda
jika di tempat ini tidak terdapat peninggalan sejarah yang sudah diakui
keabsahannya. Baik sumber primer seperti prasasti dari abad 14 M yang terdapat
di Astana Gede, maupun sumber sekunder lainnya berupa catatan atau naskah yang
ditulis dengan cara ditoreh atau digores dalam daun lontar atau nipah dengan
menggunakan peso pengot. Kegiatan menulis dengan menggunakan daun lontar dan
pisau pengot rupanya sudah menjadi budaya pada waktu untuk melahirkan
karya-karya sastra sunda buhun. Umumnya naskah yang ditulis di dalam lontar,
bahasa maupun aksaranya, lebih muda usianya dari inskripsi (Kata-kata yang diukir
pada batu, monument dsb.Red) yang tercatat pada batu tulis yang menggunakan
hurup Pallawa dengan bahasa Sansekerta dan Sunda kuno.
Menurut para peneliti naskah Sunda seperti Prof.Dr. Edi S.
Ekadjati, Drs. Undang A.Darsa dan Mamat Ruhimat S.S. sebetulnya keberadaan
naskah sunda diperkirakan jumlahnya cukup banyak, lebih dari 2000 naskah yang
tersebar menjadi koleksi lembaga penyimpanan naskah di dalam maupun di luar
negeri. Sebagian lagi terdapat di perorangan. Sebagian besar naskah-naskah
tersebut usianya lebih muda dan terbuat dari bahan seperti janur, daun enau,
pandan, daluang maupun dari kertas Belanda. Dengan jenis aksara Arab, Carakan,
Pegon, dan Latin. Sedangkan bahasanya menggunakan Bahasa Arab, Jawa Tengahan,
Sunda Baru, Melayu dan Belanda.
Sedangkan jumlah naskah kuno yang ditulis diatas daun lontar
kurang lebih berjumlah 100 naskah dan hampir 80 % belum tersentuh oleh peneliti
(Filolog). Dan naskah-naskah sunda kuna yang ditulis dalam lontar tersebut
merupakan naskah yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi karena factor
bahasa dan aksaranya yang menggunakan bahasa Sunda kuno dan Jawa Kuno karena
lebih dari 250 tahun kedua bahasa dan aksara tersebut tidak dipergunakan lagi
oleh masyarakat sunda.
Disamping itu pemilik perorangan naskah sunda kuno umumnya
masih ketakutan untuk menyetorkan naskah tersebut ke pemerintah dikarenakan
sebagai peninggalan leluhurnya harus dipusti-pusti sebaik-baiknya tanpa pernah
membuka atau mempelajari isi teksnya. Padahal naskah-naskah tersebut sangat
penting untuk diteliti dan disebarkan kepada masyarakat, sebagai bukti adanya
tingkat peradaban sunda di masa silam yang tertuang dalam isinya, baik itu
berupa hasil pemikiran maupun referensi sejarah yang tercatat.
Naskah-Naskan Kuno yang berhasil ditemukan di Kawali dan
kini disimpan di Bagian Naskah Perpustakaan Nasional dengan menggunakan no kode
kropak. Dan yang sudah di terjemahkan serta diberi judul diantaranya ialah
Carita Parahyangan (kropak406), Sang Sewaka Darma (kropak 408), Sunan Gunung
Jati (kropak 420), Naskah yang berisi teks campuran atau Gemenged (kropak 421),
Naskah Jatiraga (kropak422) dan Darmajati (kropak 23). Sedangkan yang belum
teridentifikasi adalah naskah kropak 407, Kropak 409, kropak 411, Kropak 412,
Kropak 413, Kropak 414, dan Kropak 415.
Semua naskah kuno tersebut ditulis antara tahun 1099 M
sampai tahun 1579 M yaitu maswa sebelum pra Islam. Dalam naskah Carita
Parahyangan tertulis candrasangkala ekadasi suklapaksa wesakamasa 1591 ikang
sakakala atau sekitar 6 Mei 1979 M yang merupakan masa setelah Pajajaran Sirna
Ing Bumi. Sedangkan naskah Sewaka Darma tertulis candrasangkala nanu namas haba
jaja atau sekitar tahun 1099 M. Khusus mengenai Naskah Sunan Gunung Jati
ternyata isinya bukanlah menceritakan tentang pendiri kerajaan Islam di Cirebon
yang bernama Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Kandungan teksnya sama
sekali tidak mengemukakan tentang ajaran Islam sedikitpun melainkan membahas
tentang pengaruh ajaran Hindu-Budha . Nama Gunung Jati ternyata merujuk pada
nama lokasi tempat kedudukan Bungawari di alam kahyangan.
KABUYUTAN ASTANA GEDE PUSAT KEAGAMAAN DAN INTELEKTUAL
Naskah-naskah sunda kuno selama ini keberadaannya kurang
terpublikasikan sehingga masyarakatpun banyak yang tidak tahu tentang gambaran
lengkap kebudayaan sunda di masa lalu. Padahal kandungan naskah-naskah tersebut
selain catatan nama-nama penguasa dan kejadian pada jamannya juga berisi ajaran
dan petuah yang isinya masih kontekstual dengan jaman kiwari. Salah satu naskah
tersebut adalah Naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian yang berisi ajaran
bimbingan hidup agar mencapai kebahagiaan. Naskah ini mempunyai candrasangkala
nora catur sagara wulan atau tahun 1518 M. Selain berisi ajaran kehidupan,
naskah ini juga dapat disebut semacam ensiklopedia tentang pemerintahan,
kebudayaan, kepercayaan, kesusastraan, pertanian, etika, militer, dan
lain-lainnya.
Menurut Saleh Danasasmita Siksa Kandang Karesian ditulis
pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Pajajaran atau dikenal Prabu
Siliwangi (1482-1521 M) dan berfungsi juga sebagai pedoman dalam tatacara
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sri Baduga adalah cucu dari Prabu
Niskala Wastu Kancana yang berkuasa di Galuh dan Sunda . Saat masih kecil Sri
Baduga tinggal yaitu di Keraton Surawisesa yang terletak di Kawali. Sedangkan
Kawali pada abad 14 dan 15 merupakan ibukota kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda.
Wastu Kancana merupakan salah satu raja yang terkenal dengan ajaran
karahayuannya sehingga berhasil meneruskan kebesaran nama ayahnya Prabu
Linggabuana (Prabu Wangi) yang gugur di Bubat.
Ajaran atau filsafat kakeknya yang sarat dengan kebijakan
dan kebajikan itu turut mempengaruhi jalan pikirannya dalam memimpin kerajaan
Pajajaran dikemudian hari. Hal itu terbukti, Sri Baduga atau Sang Pamanah Rasa
atau Jayadewata menjadi salah satu raja besar sunda yang sukses mengelola
negaranya. Siksa Kandang Karesian boleh jadi berisi pemikiran-pemikiran Sri
Baduga yang dirangkum oleh seseorang dalam sebuah buku. Sri Baduga kemudian
lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi.
Ditemukannnya naskah-naskah sunda kuno dari Astana Gede
karena tempat tersebut dulunya merupakan kabuyutan atau mandala sebagai pusat
kegiatan keagamaan dan intelektual. Salah satu kegiatan intelektual tersebut
adalah menyusun dan menulis sesuatu yang menghasilkan naskah lontar. Selain itu
kabuyutan berfungsi juga menyimpan naskah-naskah yang berasal dari kabuyutan
lain. Seperti dari Kabuyutan Panjalu, Kabuyutan Pakuan Pajajaran, Kabuyutan
Ciburuy Bayongbong Garut, maupun Kabuyutan Cikuray dan kabuyutan Karangkamulyan.
Indikasi tersebut salah satunya dapat dilihat dari penulis
naskahnya. Kai Raga adalah penulis naskah Carita Ratu Pakuan (Kropak 410)
Darmajati (Kropak 423), Carita Purnawijaya (kropak 416), Kropak 411 dan kropak
419. tokoh ini menyusun naskah-naskah tersebut di pertapaan Suta Nangtung di
Gunung Larang Srimanganti yang merupakan salah satu Puncak Gunung Cikuray.
Namun ternyata salah satu naskahnya ( Darmajati) ditemukan di Kabuyutan Astana
Gede Kawali.
Adanya naskah-naskah di Kabuyutan Kawali pertama kali
diketahui umum setelah muncul buku berjudul Tafereelen en merkwaardigheden uit
Oost-Indie karangan seorang Pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang bekerja di
Al-gemene Secretrie (Sekretris Negara) bernama J.Olivier. Dalam bukunya, ia
bersama rombongannya menyaksikan keberadaan naskah-naskah berbahasa kawi ketika
mengunjungi Kawali dan wilayah priangan lainnya (Desember 1821 – 1827). Naskah
beserta benda budaya lainnya dikatakan berasal dari peninggalan-raja-raja
Pajajaran dan saat itu pemeliharaannya berada dibawah perlindungan Raden
Tumenggung Adipati Adikusumah sebagai bupati Galuh yang memerintah pada tahun
1819 – 1839. Seluruh Anggota rombongan tidak ada yang mampu membaca
naskah-naskah tersebut. tetapi ada salah seorang anggota rombongan yang bernama
J.H. Domis menyalin 12 judul Naskah tersebut.
R.A.A. KUSUMADININGRAT PENYELAMAT NASKAH SUNDA KUNO
Salah satu penyebab banyaknya naskah-naskah sunda kuno yang
tersimpan di kabuyutan Astana Gede Kawali dikarenakan pada saat Pakuan
Pajajaran yang menjadi ibu kota kerajaan sunda mulai dihancurkan oleh pasukan
Islam dari Cirebon dan Demak banyak pembesar kerajaan dan rakyatnya yang
mengungsi ke Kawali dan keturunannya menjadi bagian dari penduduk Kawali. Hal
ini berdasarkan keterangan Pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang bernama
J.Olivier dalam bukunya yang berjudul berjudul Tafereelen en merkwaardigheden
uit Oost-Indie (Kejadian-kejadian dan Hal-hal Menarik dari Hindia Timur). Ia
sendiri masih menyaksikan keberadaan sejumlah prabotan dan barang lainya yang
dibawa oleh pengungsi, termasuk diantaranya adalah naskah-naskah kuno.
Agaknya pejabat Belanda inilah yang memberitakan keberadaan
naskah kuno tersebut kepada C.M. Pleyte. Akhirnya Pleyte berhasil mengkoleksi
13 naskah kuno dari Kabuyutan Astana Gede. Naskah-naskah tersebut diserahkan
oleh Raden Aria Adipati Kusumadiningrat yang saat itu memerintah sebagai Bupati
Galuh tahun 1839-1886. R.A.A. Kusumahdiningrat adalah seorang bupati yang
memiliki haluan maju serta memiliki perhatian besar terhadap pembangunan
termasuk bidang kebudayaan. Penyerahan naskah tersebut diperkirakan terjadi
sesudah tanggal 10 Mei 1851 saat Kusumadiningrat berpangkat Adipati Aria.
Sebelumnya tokoh ini berpangkat Raden Tumenggung bernama Kusumadinata IV.
Ayahnya adalah Raden Tumenggung Adipati Adikusumah yang memerintah Galuh pada
tahun 1819–1839 dan sempat bertemu dengan J.Olivier
Tahun 1800-an di Batavia telah berdiri Bataviasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Batavia Pencinta Kesenian
dan Ilmu Pengetahuan) atau yang biasa disingkat BGKW. Koleksi Pleyte kemudian
di serahkan kepada lembaga ini untuk diteliti. Ternyata selain R.A.A.
Kusumadiningrat tokoh lainnya yang mengkoleksi dan kemudian menyerahkan
naskah-naskah sunda kuno dari wilayah Priangan terutama dari Kawali ke BGKW
adalah pelukis terkenal Raden Saleh. Hal tersebut diumumkan oleh K.F. Holle
dalam artikelnya yang berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige
Lontar-Handschriften Afkomstig uit de soenda-landen, door Radhen Saleh aan het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten geschenke gegeven met
toepassing of de inscriptie van Kawali. (Berita Singkat tentang beberapa Naskah
Lontar yang Berasal dari Tatar Sunda, yang diberikan Raden Saleh sebagai hadiah
kepada BGKW beserta salinan Prasasti Kawali).
Artikel tersebut diterbitkan oleh majalah TBG tahun 1867 di
Batavia (Jakarta). Adapun 3 naskah lontar yang disebut dalam article K.F. Holle
ternyata adalah Naskah Amanat Galunggung (Kropak 632), Sanghiang Siksa Kandang
Karesian (Kropak 630) dan Naskah Candrakirana (Kropak 631). Prasasti Kabantenan
dan naskah lontar kropak 410 juga merupakan hasil pengumpulan Raden Saleh yang
diserahkan kepada BGKW. Institusi ini memang sejak tahun 1845 melakukan
kegiatan rutin untuk mencari dan mengkoleksi benda-benda budaya termasuk
prasasti dan naskah.
Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, maka tanggal 26
Januari 1950 BGKW diubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Dan nama museum
yang dimilikinya berubah menjadi Museum Pusat dan terakhir menjadi Musium
Nasional. Sedangkan perpustakaan yang ada di bawahnya dipisahkan menjadi
lembaga yang berdiri sendiri dan dinamai Perpustakaan Nasional. Di tempat
itulah kini naskah-naskah sunda kuno yang berasal dari Kabuyutan Astana Gede
tersimpan dengan keheningannya.
Sumber : HU. Kabar Priangan
Banyaknya Manuskrip Ulama Nusantara Yang Dijarah Penjajah
kaping: 8/10/2012 09:17:00 AM
Sejak abad pertama Hijriyah, sahabat Nabi saw sudah melakukan
penelitian terhadap naskah al-Qur'an sebelum dikodifikasikan. Para ulama hadits
juga menetapkan sistem hak cipta buku, catatan kehadiran siswa, tata cara
penulisan teks, metode periwayatan, sistem perbandingan antar teks dan banyak
lagi. Ini mengharuskan para perawi dan pencatat hadits melakukan penelitian
terhadap tulisan yang mereka temukan. Hingga kini, Studi Ilmu Hadits memiliki
cabang rusum at tahdits yang menganalisa sistem filologi ilmu hadits sejak abad
pertama Hijriyah dan periode berikutnya (Tesis Magister Dr M Luthfi Fathullah
di University of Jordan tentang Filologi Hadits). Karenanya, salah besar, jika
menganggap Islam tak memiliki tradisi ilmu filologi. Seolah-olah ilmu ini
dikembangkan Barat, khususnya antropolog dan arkeolog Belanda seperti Scouck
Hurgronje. Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah, khususnya
naskah-naskah kuno. Islam memiliki tradisi ini, tapi tidak menyebut Ilmu
Filologi. Hanya Islam yang melahirkan peradaban lengkap dengan ilmu pengetahuan
yang melingkuinya.
Buktinya tradisi menulis di kalangan ulama sejak abad
pertama Hijriyah hingga kini tetap terjalin. Ketika Islam masuk ke Nusantara,
para ulama juga menuangkan pemikiran dengan menulis. Tulisan tangan asli para
ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di
kawasan ini. Untuk mengetahui peran manuskrip Islam di Nusantara dalam
penyebaran Islam, Dwi Hardianto dan Arief Kamaluddin dari Sabili mewawancarai
DR H Uka Tjandrasasmita. Arkeolog Islam senior yang dimiliki bangsa ini
menerima di rumahnya, kawasan Semplak, Kota Bogor, Kamis (19/6). Berikut
petikannya:
Apa saja karya ulama di Nusantara yang masuk kategori
manuskrip?
Yang dimaksud manuskrip adalah tulisan tangan asli yang
berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah,
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam.
Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni,
naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan
aksen Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon yakni,
naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti,
bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.
Contoh manuskrip Islam yang berpengaruh di Nusantara?
Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis
manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama
pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin
Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia
dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan
Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad
16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul
Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di
Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis
naskah-naskah keislaman.
Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga
berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan.
Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di
Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga
Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini.
Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti,
Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga
ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua
manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.
Manuskrip Islam tertua di Nusantara?
Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di
Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun
1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk
Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah
dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua
menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan
syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di
Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama
yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa
Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka.
Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan
mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh,
Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita
Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima,
Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi
ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.
Manuskrip berhuruf Pegon misalnya karya siapa?
Umumnya ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tatar
Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh
al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini
menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini
merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya
Imam al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam karyanya,
Sunan Bonang menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliallah dan para
ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-kawan)
seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan contoh
bahwa pada abad 16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam
waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam
penyebaran Islam di Nusantara.
Manuskrip-manuskrip itu berada di mana?
Sebagian besar berada di Belanda, tepatnya di Universitas
Leiden. Pada masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan,
kemudian melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam
klasik untuk kepentingan mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan
dan menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah.
Dengan dirampasnya karya-karya para ulama, umat Islam di Nusantara menjadi
kehilangan sumber otentik perkembangan Islam. Inilah yang menyebabkan penjajahan
berlangsung hingga ratusan tahun.
Perbandingan manuskrip Islam yang ada di Indonesia dan
Belanda?
Manuskrip dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di
Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar 1.000 naskah. Yang lainnya, yang
menggunakan huruf Arab atau bahasa Arab jumlahnya lebih sedikit. Sementara di
Belanda, manuskrip Islam asal Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi
mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan
huruf Pegon atau huruf Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak.
Mereka melakukan pengumpulan kemudian diangkut ke Belanda dari seluruh daerah
di Indonesia. Saya ke Leiden tahun 2006 dan melihat karya asli Sunan Bonang, ar
Raniri, Hikayat Aceh, Hikayat Melayu, Babat Tana Jawi dan lainnya. Di Indonesia
hanya ada kopiannya saja.
Manuskrip Islam yang ada di Belanda bisa diambil lagi tidak?
Mengembalikan secara fisik sekarang ini gampang-gampang
susah, karena terkait bentuk fisik yang sudah berumur ratusan tahun sehingga
banyak bagian yang rawan rusak jika disentuh. Memang sudah ada Konvensi
Internasional tentang benda-benda cagar budaya termasuk manuskrip dari suatu
negara harus dikembalikan pada negara yang bersangkutan. Caranya dengan
melakukan perundingan bilateral antar negara yang bersangkutan.
Contoh manuskrip yang sudah dikembalikan secara fisik ke
Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama. Kitab ini diambil Belanda pada saat
perang Lombok. Contoh lain adalah Arca Pradnya Paramitha dari zaman Singasari
yang paling bagus juga sudah dikembalikan. Pelana kuda Pangeran Diponegoro juga
sudah dikembalikan ke tanah air oleh Belanda, termasuk satu peti cincin dan
emas berlian dari Lombok juga sudah kembali. Jika pengembalian secara fisik
riskan rusak, pemerintah bisa melakukan upaya dokumentasi dengan microfilm
secara digital.
Bagaimana cara menyelamatkan manuskrip Islam yang ada di
Indonesia agar tidak rusak?
Perpustakaan Nasional sudah melakukan dokumetasi sebagian
dengan merekam dalam microfilm. Saat terjadi tsunami di Aceh, juga banyak
naskah-naskah asli Aceh yang hilang. Karenanya, saat ini dilakukan upaya
dokumentasi menggunakan microfilm digital terhadap naskah-naskah yang tersisa.
Untungnya, di sebuah Pesantren di Kawasan Tanobe, NAD, masih tersimpan 2.000
lebih naskah klasik dari abad 13 sampai 19 karya ulama-ulama Aceh, dan Timur
Tengah.
Untuk proses penyelamatan ini, seharusnya dilakukan oleh
Pemda setempat. Jika tak sanggup bisa melakukan kerjasama dengan lembaga-
universitas. Di Jawa Barat, sudah mulai dilakukan katalogus naskah-naskah
klasik sejak zaman batu sampai abad 19 yang berbahasa Sunda atau bahasa lainnya
yang ada di berbagai negara. Dikumpulkan, di katalogus, di buat microfilm-nya
dan bisa dipelajari kembali saat ini. Malaysia juga sudah membuatnya, demikian
juga dengan Sulawesi Selatan. Harus ada gerakan penyelamatan manuskrip kuno,
termasuk manuskrip Islam secara nasional.
Apa sebenarnya fungsi manuskrip Islam ini?
Pertama, naskah-naskah ini mengandung informasi yang sangat
lengkap tentang peradaban Islam dalam arti lengkap, sehingga bermanfaat untuk
menjaga kesinambungan peradaban Islam. Kedua, berisi kajian keagamaan yang
bersumber dari karya para sahabat di masa Rasul, sehingga bermanfaat untuk
menjaga dan mengembangkan otentisitas ajaran Islam di masa mendatang. Ketiga,
berisi tentang seluk beluk pemerintahan pada saat itu, sehingga bermanfaat
untuk mengkaji model pemerintahan yang tepat menurut Islam. Keempat, berisi
struktur sosial masyarakat dan model perekonomian yang berlaku saat itu,
sehingga bermanfaat untuk mengkaji model pembangunan ekonomi yang tepat pada
saat ini. Kelima, berisi adat kebiasaan, hukum dan teknologi yang berkembang
saat itu. Keenam, bersisi tentang obat-obatan yang digunakan saat itu dan
lainnya. Sehingga saat ini mulai dikembangkan lagi model pengobatan tradisional
yang bersumber dari ajaran Islam atau tradisi pada masa Rasulullah.
Apa maksudnya para ulama saat itu menulis karyanya dengan
huruf Jawi, bahasa Melayu atau bahasa daerah?
Ini sebagai bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilakukan
secara bertahap. Ada proses pentahapan yang sistematis sehingga tidak
menimbulkan gejolak sosial. Para ulama tidak langsung menggunakan bahasa dan
tulisan Arab yang belum dikenal masyarakat. Hamzah Fansuri menulis, ”Aku
menerjemahkan kitab-kitab dari Bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Jawi,
karena masyarakat tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.”
Tapi, untuk pemakaman, sejak tahun 1297 H atau 96 H (abad
13) orang Islam, ulama atau pemimpin Islam saat itu sudah menggunakan bahasa
dan tulisan Arab untuk menulis di batu nisannya. Tapi di manuskrip dan
karya-karya tulis lainnya sampai Abad 16 masih menggunakan tulisan Jawi atau
Pegon dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Tapi setelah memasuki
Abad 17, mulai banyak karya ulama yang menggunakan bahasa dan tulisan Arab, di
samping bahasa Melayu. Pada Abad ini juga mulai banyak karya-karya terjemahan
dari Timur Tengah. Ini memang strategi penyebaran Islam pada saat itu, sehingga
karya para ulama ini bisa dibaca oleh masyarakat umum dan Islam pun cepat
menyebar di seluruh Nusantara.
Jadi, pada saat itu, ulama merupakan orang pilihan yang
paling canggih?
Betul. Saat itu mereka menjadi sosok paling canggih, bisa
melakukan pendekatan budaya, sosiologis dan atropologis untuk menyebarkan Islam
di Nusantara. Saya bisa katakan, pengislaman di kawasan ini sesuai dengan
konsep surat al-Baqarah: 256. Saat itu, ulama juga melakukan pendekatan
bertahap dan gradual. Sehingga, jika dinilai dengan ilmu pendidikan, apa yang
diterapkan oleh para ulama dan para wali pada abad 13 -17 itu sangat luar
biasa.
Coba lihat, surat al-Baqarah ayat 1–2, ayat ini tidak
tiba-tiba memerintahkan umat Islam untuk shalat, puasa, zakat, tapi didahului
dengan memberikan pemahaman terlebih dulu. Setelah mereka paham baru diberi
perintah untuk menjalankan kewajiban. Inilah yang dilakukan oleh para ulama dan
wali abad 13–17 dalam menyebarkan Islam di Nusantra. Al Qur’an itu sungguh
sangat luar biasa, Allah SWT itu ”Maha Pendidik.”
Proses Islamisasi melalui penaskahan juga gradual, ya?
Sangat gradual, melalui proses pentahapan yang sangat cermat
dan matang. Coba, perhatikan, sejak Abad 13 sampai 16, naskah-naskah Islam
semuanya masih ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa daerah setempat dengan
tulisan huruf Jawi atau Pegon. Proses ini berakhir ketika memasuki Abad 17.
Berapa abad coba, proses tarbiyahnya (pendidikan) dan penanaman nilai-nilai
Islam?
Jadi pada Abad 13 peradaban di Nusantara sudah Islam?
Oh ya jelas, pada saat itu sudah ada Kesultanan Samudra
Pasai sebagai Kasultanan Islam pertama di Asia Tenggara. Memang, pada saat itu,
belum seluruh penduduk Nusantara memeluk Islam, tapi proses penyebaran Islam
sudah berjalan. Dan, jauh sebelum berdirinya Samudera Pasai sudah banyak
penyebar-penyebar Islam datang ke Nusantara secara individu. Dari Samudera
Pasai timbul Malaka, setelah itu Malaka berhubungan dengan Jawa dan seluruh
pulau di Nusantara. Timbulah kerajaan Demak, Cirebon, Kesultanan Makassar,
Ternate, Tidore dan seterusnya.
Secara politik, kapan Nusantara menjadi negeri Islam secara
keseluruhan?
Menjadi Islam keseluruhan pada abad 17, karena pada saat itu
semua pemimpin dan tokoh masyarakat di kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam.
Dari catatan sejarah, pemimpin masyarakat yang paling akhir memeluk Islam
adalah Gowa Tallo. Ini terjadi pada tahun 1605 bertepatan dengan abad 17. Pada
saat itu, VOC memang sudah masuk ke sebagian wilayah Nusantara tapi belum bisa
mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang ke Nusantara
pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten.
catatan : DR H Uka Tjandrasasmita, Arkeolog Islam
Wasiat Wastu Kencana
Wastu Kencana dikenal sebagai raja yang adil dan minandita.
Didalam Cerita Parahyangan Ia sangat dipuji-puji melebihi dari raja manapun,
dan ia putra dari Prabu Wangi yang gugur didalam peristiwa bubat. Didalam
Naskah Parahyangan di uraikan sebagai berikut :
"Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu
Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi
ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna,
lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di
Gegeromas. Batara Guru di Jampang."
Ketika terjadi peristiwa Bubat yang menewaskan Prabu
Linggabuana (1357 M) Wastu Kencana baru berusia 9 tahun dan untuk mengisi
kekosongan pemerintah Pajajaran di isi oleh pamannya, yakni Sang Bunisora yang
bergelar Prabu Batara Guru Pangdiparamarta Jayadewabrata atau sering juga
disebut Batara Guru di Jampang atau Kuda Lalean.
Wastu Kencana dibawah asuhan pamannya tekun mendalami agama
(Bunisora dikenal juga sebagai satmata, pemilik tingkat batin kelima dalam
pendalaman agama). Iapun dididik ketatanegaraan. Kemudian naik tahta pada usia
23 tahun menggantikan Bunisora dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kencana
atau Praburesi Buanatunggaldewata. Dalam naskah selanjutnya disebut juga Prabu
Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
Menurut sumber sejarah Jawa Barat, Wastu Kencana memerintah
selama 103 tahun lebih 6 bulan dan 15 hari. Dalam Carita Parahyangan
disebutkan: "Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade
ngajalankeun agama, nagara gemah ripah."
Ketika jaman kekuasaanya Wastu Kencana menyaksikan dan
mengalami beberapa peristiwa:
1. Menyaksikan Kerajaan Majapahit dilanda perang paregreg /
perebutan tahta (1453 – 1456), selama peristiwa tersebut Majapahit tidak
mempunyai raja, namun Wastu Kencana tak terpikat untuk membalas dendam
peristiwa Bubat, karena ia lebih memilih pemerintahannya yang tentram dan
damai. Ia pun rajin beribadat.
2. Kedatangan Laksamana Cheng H0 dan Ulama Islam yang
kemudian mendirikan Pesantren di Karawang.
Tanda keberadaan Wastu Kencana terdapat pada dua buah
prasasti batu di Astana Gede. Prasati yang kedua dikenal dengan sebuat Wangsit
(wasiat) Prabu Raja Wastu kepada para penerusnya tentang Tuntutan untuk
membiasakan diri berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan membiasakan diri
berbuat kesejahteraan yang sejati (pakena kereta bener) yang merupakan sumber
kejayaan dan kesentausaan negara.
Prasasti Kawali
Tulisan ini saya copas dari Sejarah jawa Barat - Cuplikan
Wasiat Wastu Kencana dari naskah Sanghyang siksakanda (Koropak 630), sbb:
"teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byakta
warta manah, mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma
kapahayu."
"kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta..
sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta..
sang ameng pageuh di kaamenganna, kreta..
sang wasi pageuh dikawalkaanna, kreta..
sang wong tani pageuh di katanianna, kreta..
sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta..
sang gusti pageuh di kagustianna, kreta..
sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta..
sang masang pageuh di kamasanganna, kreta..
sang tarahan pageuh di katarahanna, kreta..
sang disi pageuh di kadisianna, kreta..
sang rama pageuh di karamaanna, kreta..
sang prebu pageuh di kaprebuanna, kreta.."
"ngun sang pandita kalawan sang dewarata pageuh
ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sakasangga dening pretiwi
sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh."
Terjemah Indonesia:
"Teguhan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuhi
kenyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejahteralah dunia, maka akan
sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan. demikianlah
hendaknya. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera.
Bila wiku teguh dalam tugasnya sebagai wiku, akan sejakhtera. Bila manguyu
teguh dalam tugasnya sebagai akhli gamelan, akan sejakhtera. Bila paliken teguh
dalam tugasnya sebagai akhli seni rupa, akan sejahtera. Bila ameng teguh dalam
tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam
tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wasi teguh dalam tugasnya
sebagai santi, akan sejakhtera. Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai
biarawati, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta,
akan sejakhtera. demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa
yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera. Bila petani teguh dalam tugasnya
sebagai petani, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai
pendeta, akan sejakhtera. Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu
ladang, akan sejahtera. Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah,
akan sejahtera. Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan
sejahtera. Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan
sejaktera. Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan
sejahtera. Bila tarahan teguh dalam tugasnya sebagai penambang penyebrangan,
akan sejahtera. Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang
peramal, akan sejahtera. Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh
rakyat, akan sejakhtera. Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja,
akan sejakhtera."
"Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh
membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur,
diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan
seluruh umat manusia"
Wasiat ini mengandung pula konsep tentang bagaimana manusia
harus focus dan professional dibidang keahliannya. Lebih maju dari praktek
kenegaraan sekarang. Saat ini banyak bukan negarawan mengurusi masalah Negara.
Para ahli agama banyak yang terjun jadi politikus, banyak politikus jadi
pedagang, banyak kaum pedagang jadi penentu kebijakan Negara. Semuanya
menyebabkan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesentosaan.
Konsep dan tipe kondisi yang diharapkan pernah dikemukakan
BK dalam bentuk partai tunggal, yang mengharapkan bukan pada banyaknya partai
yang ada tapi menghimpunan seluruh kepentingan profesi, seperti keompok tani,
buruh, cendekiawan, agama dll. Banyaknya partai hanya menyiptakan satu golongan
yang kuat, yakni politikus. Ia sangat tidak inheren dengan kelompok lainnya
diluar politikus, seperti kaum tani dan buruh. Para politikus lebih
berorienasti pada bagaimana mempertahankan kekuasaannya, adakalanya
mengenyampingkan amanah mengapa ia harus ada. Namun memang bentuk partai
tunggal dari kacamata demokrasi barat dianggap sangat bertentangan dengan
kebebasan individu warga dan dianggap anti demokrasi. Ditambah waktu itu, BK tidak
mau tunduk pada kuasanya asing.
Demokrasi yang “western oriented” mengandalkan pada dasar
persamaan hak individu, namun bisa berjalan sukses jika ada kesetaraan dalam
mentatai aturan, sebagai cara untuk membatasi terganggunya hak seseorang dari
orang yang lainnya. Disamping itu perlu ada penghormatan terhadap hak-hak lain.
Disini tidak perlu ada dominasi dari satu individu atau kelompok terhadap
individu atau kelompok lainnya. Masalahnya, kebebasan individu memberikan
legitimasi terjadinya "free ficht competition", mensyahkan jika yang
kuat akan semakin kuat dan lemah menjadi tertindas. Karena negara tidak boleh
turut campur, termasuk memberikan proteksi, sekalipun kepada yang lemah.
Wujud dari cita-cita demikian pernah ada pada konsep
lanjutan sebagaimana pada cita-cita awal dan dasar didirikannya Golongan Karya,
yang menginginkan seluruh warga bangsa dapat menghimpun kekuatan didalam wujud
profesinya. Namun godaan untuk bermain politik praktis dan kekuasaan, serta
adanya pengaruh asing yang sangat eksis dalam menentukan kebijakan politik dan
ekonomi ternyata menjadi penghancur yang sangat dahsyat didalam perkumbuhan
social bangsa, bahkan menjadikan Indonesia mandiri didalam ekonomi, tidak
berdaulat didalam berpolitik dan tidak memiliki kepribadian didalam budaya.
Mungkin kita perlu renungkan kembali tentang nilai-nilai
luhur, melalui Wasiat dari Galunggung, leluhur raja-raja Galuh :
Hana nguni hana mangke..
Tan hana nguni tan hana mangke..
Aya ma baheula hanteu teu ayeuna..
Henteu ma baheula henteu teu ayeuna..
Hana tunggak hana watang..
Hana ma tunggulna aya tu catangna..
"ada dahulu ada sekarang, karena ada masa silam maka
ada masa kini. Bila tidak ada masa silam maka tiada masa kini. Ada tonggak
tentu ada batang. Bila tak ada tonggak tentu tidak ada batang. Bila ada
tunggulnya tentu ada dahan atau batangnya."
Saya pikir pesan itu sangat jelas, bahwa masa kini merupakan
akumulasi dari masa lalu, tidak akan ada masa kini kalau tidak ada masa lalu.
Dengan demikian jika dikatikan dengan masalah perkumbuhan bangsa dapat ditarik
benang merahnya, bahwa sejarah suatu bangsa tidak akan selalu sama dengan
bangsa lainnya. Dan dari kesejarahannya masing-masing dapat ditarik dan
dijadikan cermin tentang nilai-nilai mana yang cocok dan sangat tepat.
Marilah kita bertindak profesional dan menyerahkan suatu
persoalan kepada ahlinya masing-masing. Masalah agama bertanyalah kepada ahli
agama, masalah perniagaan bertanyalah kepada ahli niaga, masalah kenegaraan
bertanyaan kepada negarawan. Jangan ahli agama turut campur memaksakan
kehendaknya untuk mengurus Negara, tukang dagang ikut-ikutan ngurusin Negara,
karena semua itu bukan bidangnya.
Demikian seharusnya ahli agama dan raja harus teguh membina
kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur,
diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan
seluruh umat manusia.
Naskah Sunda Kuno - Sulanjana
Ringkasan isi:
Di Suralaya para dewa bermusyarawah untuk mendirikan bakal
Panca Warna. Dewi Anta ditugas membuat batu penyangga tiang. Tetapi Dewi Anta
tidak dapat melaksanakan tugasnya, karena badannya berbentuk ular. Dewi Anta
menangis sedih dan meneteskan air mata tiga butir. Air mata itu kemudian
berubah menjadi tiga butir telur yang dibawanya dengan cara digenggam oleh
mulut.
Karena kesalahpahaman seekor burung elang, telur itu jatuh
dua butir yang kemudian menetas menjadi Kalabuat dan Budug Basu. Sapi Gumarang,
raja segala binatang jelmaan Kencing Idajil (setan) memelihara Kalbuat dan
Budug Basu sebagai anak angkat. Atas perintah Batara Guru telur yang tinggal
satu butir dierami Dewi Anta. Telur menetas, lahirlah seorang putri cantik yang
diberi nama Dewi Puhaci Terus Dangdayang atau juga Dewi Aruman. Batara Guru
mencintai Dewi Puhaci dan berniat memperistri. Akan tetapi ditentang oleh
Batara Narada karena hal itu akan merusak citra Batara Guru sendiri. Disamping
itu Batara Guru dianggap melanggar hukum dan merusak agama sebab Dewi Puhaci
diasuh dan disusui oleh Dewi Umah, istri Batara Guru. Oleh karena itu Dewi
Puhaci masih tergolong anak Batara Guru, maka perkawinannya tidak boleh
terjadi.
Agar perkawinan Batar Guru dengan Dewi Puhaci tidak terjadi,
Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Puhaci buah Koldi sehingga berhenti
menyusui. Tetapi karena ketagihan dan buah koldi itu tidak ada lagi, maka Dewi
Puhaci jatuh sakit hingga meninggal dunia. Mayat Dewi Puhaci diurus oleh
bagawat Sang Sri dan kuburannya dijaga siang malam sambil menyalakan dupa.
Kemudian keluarlah dari dalam tanah kuburan itu berjenis-jenis bibit tanaman.
Dari kuburan bagian kepala keluar kelapa, dari telinga keluar macam-macam pohon
bamboo, dari ari-ari keluar macam-macam tumbuhan menjalar, dari payudara keluar
macam-macam buah-buahan. Pendek kata semua jenis pepohonan berasal dari tubuh
Dewi Puhaci.
Semar ditugasi Batara Guru untuk membawa bibit tanaman itu
ke negeri Pakuan yang dirajai Prabu Siliwangi. Istri Prabu Siliwangi bernama
Nawang Wulan adalah putra Batara Guru. Maka dengan adanya bibit tanaman itu,
negeri Pakuan menjadi subur makmur. Akan tetapi Prabu Siliwangi dilarang
mengetahui bagaimana Dewi Nawang Wulan menanak nasi. Jika Sang Prabu Siliwangi
melanggar larangan, maka akan jatuh telak kepada Nawang Wulan.
Tersebutlah Budug Basu yang diasuh oleh Sapi Gumarang di
Tegal Kapapan sedang mencari Dewi Puhaci. Tiba di kuburan Dewi Puhaci, Budug
Basu mengelilingi kuburan sebanyak tujuh kali. Setelah itu Budug Basu meninggal
dunia. Mayat Budug Basu oleh Kalamullah dan Kalamuntir dibawa keliling dunia
sebanyak tujuh kali. Di tengah jalan mayat Budug Basu pun menjelma menjadi
seekor badak. Kalamullah dan Kalamuntir menjaga binatang-binatang tersebut
menjadi dua bagian yaitu bagian darat dan laut.
Selanjutnya dikisahkan Sulanjana putra laki-laki yang diasuh
Dewi Pratiwi, dititipi negeri Suralaya sebab Batara Guru dan Narada akan turun
ke bumi memeriksa negeri Pakuan. Kedua Batara itu menjelma menjadi burung
Pipit.
Tersebutlah Dempu Awang dari negeri seberang akan membeli
padi dari Pakuan. Karena padi-padi tersebut hanya titipan Batara Guru, oleh
putra Siliwangi permohonan Dempu Awang itu ditolak. Dempu Awang sakit hati,
maka dimintanya bantuan dari Sapi Gumarang untuk merusak tanaman padi. Sapi
Gumarang dibantu oleh binatang-binatang jelmaan Budug Basu, merusak tanaman padi.
Sementara Sulanjana dan kedua orang adik perempuannya yang bernama Talimendang
dan Talimendir, diperintah Batara Guru untuk menjaga dan menyembuhkan padi.
Terjadilah peperangan antara penjaga dan perusak. Akan tetapi Sapi Gumarang
kalah dan berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana asal pada setiap mulai
menanam padi 'disambat' (atau dipanggil secara batin) serta disediakan daun
paku pada 'pupuhunan' (tempat sesaji di ladang atau di sawah).
Prabu Siliwangi penasaran ingin melihat cara Dewi Nawang
Wulan menanak nasi. Dibukanya padi yang sedang dimasak, maka Dewi Nawang Wulan
kembali ke Kahiyangan. Namun sebelum pergi sempat berpesan dulu agar membuat
lesung, dulang, kipas (bahasa sunda:hihid), bakul dan periuk untuk menanak
nasi. Prabu Siliwangi menyesal dan menghadap Batara Guru minta pengampunan agar
Dewi Nawang Wulan kembali ke Pakuan. Permohonan Sang Prabu ditolak, kemudian ia
sendiri pergi ke Pakuan setelah menerima pelajaran bagaimana cara menanak nasi
dan bercocok tanam padi yang baik. Dewi Anta oleh Batara Guru diturunkan ke
bumi untuk menjaga padi.
Kondisi Naskah:
Kecamatan : Sukawening
Nama Pemegang naskah : Adang
Tempat naskah : Kp. Cieunteung Desa Mekarluyu
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 17 x 22 cm
Ruang tulisan : 14 x 18 cm
Keadaan naskah : tidak utuh
Tebal naskah : 49 Halaman
Jumlah baris per halaman : 14 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 11 baris dan -
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : besar
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tumpul
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kecoklat-coklatan
Keadaan kertas : agak tipis halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Naskah Sunda Kuno - Babad Limbangan
Ringkasan isi:
Pada zaman dahulu kala Prabu Layaran Wangi (Prabu Siliwangi)
dari kerajaan Pakuan Raharja mempunyai seorang pembantu bernama Aki Panyumpit.
Setiap hari Aki Panyumpit diberi tugas berburu binatang dengan menggunakan alat
sumpit (panah) dan busur.
Pada suatu hari Aki Panyumpit pergi berburu ke arah Timur.
Sampai tengah hari ia belum memperoleh hasil buruannya, padahal telah banyak
bukit dan gunung didaki. Sesampainya di puncak gunung, ia mencium wewangian dan
melihat sesuatu yang bersinar di sebelah Utara pinggir sungai Cipancar.
Ternyata harum wewangian dan sinar itu keluar dari badan seorang putri yang
sedang mandi serta mengaku putra Sunan Rumenggong, yaitu Putri Rambut Kasih
penguasa daerah Limbangan.
Peristiwa pertemuan dengan Nyi Putri dari Limbangan
dikisahkan oleh Aki Panyumpit kepada Prabu Layaran Wangi. Berdasarkan peristiwa
itu Prabu Layaran Wangi menamai gunung itu Gunung Haruman (haruman = wangi).
Prabu Layaran Wangi bermaksud memperistri putri dari Limbangan. Ia mengirimkan
Gajah Manggala dan Arya Gajah (keduanya pembesar Pakuan Raharja).
Aki Panyumpit serta sejumlah pengiring bersenjata lengkap
untuk meminang putri tersebut dengan pesan lamaran itu harus berhasil dan
jangan kembali sebelum berhasil. Kendatipun pada awalnya Nyi Putri menolak
lamaran tetapi setelah berhasil dinasehati Sunan Rumenggong, ayahnya, akhirnya
menerima dijadikan istri oleh Prabu Layaran Wangi.
Selang 10 tahun antaranya, Nyi Putri (Rambut Kasih)
mempunyai dua orang putra dari Raja Pakuan Raharja, yaitu Basudewa dan Liman
Senjaya. Kedua anak itu dibawa ke Limbangan oleh Sunan Rumenggong (kakeknya)
dan kemudian dijadikan kepala daerah di sana. Basudewa menjadi penguasa
Limbangan dengan gelar Prabu Basudewa dan Liman Senjaya penguasa daerah Dayeuh
Luhur di sebelah Selatan dengan gelar Prabu Liman Senjaya.
Di kemudian hari Prabu Liman Senjaya setelah beristri
membuka tanah, membuat babakan pidayeuheun (kota) dan lama kelamaan dibangun
sebuah Negara dengan nama Dayeuh Manggung. Negara baru ini bisa berkembang sehingga
dikenal baik oleh tetangga-tetangganya, seperti Sangiang Mayok, Timbanganten,
Mandalaputang. Dayeuh Manggung terkenal karena keahlian dalam membuat tenunan.
Rajanya yang lain yang termashur adalah Sunan Ranggalawe.
Kondisi Naskah:
Kecamatan : Garut Kota
Nama pemegang naskah : R. Sulaeman Anggapradja
Tempat naskah : Jln Ciledug 225 Kel. Kota Kulon. Kec Garut
Kota
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 20.5 x 32 cm
Ruang tulisan : 17 x 17 cm
Keadaan naskah : baik
Tebal naskah : 16 Halaman
Jumlah baris per halaman : 39 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 39 dan 23 baris
Huruf : Latin
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : agak tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas bergaris ukuran folio
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : putih
Keadaan kertas : agak tebal, halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Naskah Sunda Kuno - Suryakanta
Ringkasan isi:
Adalah sebuah kerajaan Tanjung Karoban Bagendir yang jauhnya
dari kerajaan Banurungsit tujuh bulan perjalanan. Raja Tanjung Karoban Bagendir
bernama Dengali dengan patihnya Dungala yang kedua-duanya siluman. Raja Dengali
mempunyai istri dua orang, Kala Andayang dan Kala Jahar. Pada suatu hari Raja
Dengali didatangi oleh Emban Turga, Emban melaporkan bahwa kerajaan Nusantara
baru saja dikalahkan oleh Raden Suryaningrat dari kerajaan Erum. Emban Turka terpikat
oleh ketampanan dan kegagahan Raden Suryaningrat. Tatkala ia menyatakan
cintanya, serta merta ditolak oleh Raden Suryaningrat, bahkan Emban Turga
diusir. Emban Turga mohon bantuan Raja Dengali agar memperoleh Raden
Suryanigrat untuk dijadikan suami. Raja Dengali menjanjikan akan membantu
menangkap Raden Suryaningrat. Ia menyuruh seorang raksasa untuk mencuri putra
mahkotanya bernama Suryakanta. Raden Suryakanta dapat diculik ketika sedang
bermain ditaman. Maka hebohlah kerajaan Erum dan Nusantara karena kehilangan
putra mahkota. Istri raja yang bernama Ningrumkusumah diusir karena dianggap
dialah yang menjadi sebab hilangnya Raden Suryakanta. Ningrumkusumah pergi
tanpa tujuan. Dalam perjalanannya ia sampai ke tempat pertapaan Pandita Syeh
Rukman,yang memberitahu bahwa ia telah difitnah oleh seseorang yang bernama
Jamawati.
Untuk membalas dendam kepada yang memfitnah dan mendapatkan
kembali Raden Suryakanta yang diculik atas perintah Raja Dengali,
Ningrumkusumah harus berganti nama menjadi Jaya Komara Diningrat atau Jaya
Lalana Di Ningrat. menyamar seolah-olah menjadi laki-laki.
Ningrumkusumah alias Jaya Komara dapat membunuh Raja Dengali
dan Emban Turga. Tetapi untuk menemukan kembali Raden Suryakanta ia harus
mengalami bermacam-macam kesengsaraan dan peperangan. Dalam peperangan yang
terjadi, Ningrukusumah selalu menang. Di setiap negara yang dikalahkannya, raja
dan pemeluknya diharuskan memeluk agama Islam, diantaranya kerajaan Yunan,
Turki, Raja Bahrain, Raja Gosman. Prabu Suryaningrat sepeninggalan Ningrumkusumah
jatuh sakit. Ia selalu teringat kepada istrinya dan menyesali kepergiannya.
Ditambah lagi putra kesayangannya Suryakanta belum ditemukan juga. Ia tidak
menyangka bahwa Ningrumkusumah telah difitnah oleh Jamawati, istrinya yang
lain.
Lama-kelamaan Raja Suryaningrat mengetahui dari seorang
mentri bahwa Jamawati lah yang telah memfitnah Ningrumkusumah. Raden
Suryaningrat sangat marah kepada Jamawati dan terbukalah bahwa yang telah
mencuri Suryakanta adalah Raja Dengali atas permintaan Emban Turga.
Raden Suryaningrat menantang perang kepada Raja Dengali dari
Kerajaan Tanjung Karoban Bagendir. Berkat kegagahan Ningrumkusumah dan Ratna
Wulan (keduanya istri Raden Suryaningrat), Dengali dikalahkan dan Suryakanta
kembali.
Kondisi Naskah:
Kecamatan : Balubur Limbangan
Nama pemegang naskah : Duki bin Saleh
Tempat naskah : Desa Cigagade
Asal naskah : pemberian
Ukuran naskah : 17 x 22 cm
Ruang tulisan : 14 x 19 cm
Keadaan naskah : relatif baik
Tebal naskah : 241 Halaman
Jumlah baris per halaman : 12 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 11 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tumpul
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kecoklatan
Keadaan kertas : tebal
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Naskah Sunda Kuno - Walangsungsang
Ringkasan isi:
Prabu Siliwangi, raja Padjadjaran mempunyai dua orang putra,
yang sulung laki-laki bernama Walangsungsang, dan adiknya perempuan bernama
Rara Santang. Disamping kedua putranya itu, Baginda mempunyai putra yang
lainnya pula sebanyak sembilan orang. Tetapi mereka meloloskan diri dari
keratin. Kesembilan putranya itu terdiri atas lima orang laki-laki dan empat
orang perempuan. Mereka bertapa di Gunung yang saling berjauhan. Seorang
putranya laki-laki bertapa di Jakarta, yang lain di Tanjung Kuning bernama
Santang Partala, sedang yang lainnya lagi bernama Garantang Setra, Ishu Gumare
di Lebak dan Sang Sekarsari. Adapun putra-putranya yang perempuan adalah Nyi
Tanjung Buana betapa di Pesisir Barat, Nyi Gending Juri atau Nyi Panjang Nagara
di pesisir Selatan, Nyi Ratu di Kawali, dan Nyi Sekar Bang di Karang Pangantik.
Pada suatu malam Walangsungsang bermimpi. Dalam mimpi ia
bertemu dengan Rosul yang menganjurkan agar pergi menuju Gunung Amparan dan
menemui Syeh Jati, seorang guru dari Mekah. Keesokan harinya Walangsungsang
memberikan impiannya itu kepada ayahnya. Prabu Siliwangi setelah mendengar
pembicaraan Walangsungsang sangat murka. Lalu Walangsungsang berjalan menuju
Karawang menemui Syeh Orah, yaitu seorang guru keturunan Qurais yang menganggap
guru kepada Syeh Gunung Jati.
Atas petunjuk Syeh Ora, Walangsungsang pergi menuju Gunung
Amparan untuk berguru kepada Syeh Nurjati. Tetapi di tengah perjalanan ia
singgah dulu di padepokan agama Budha. Ia belajar agama Budha dari Pandita Danuwarsi
sampai paham betul tentang seluk-beluk agama itu.
Dikisahkan Rara Santang akhirnya melaksanakan pula pesan
kakaknya. Ia meninggalkan keraton menyusul Walangsungsang. Di Gunung Tangkuban
Perahu ia bertemu dengan Nyai Indang Sakiti, yakni adik Prabu Siliwangi. Dari
Nyai Indang, Rara Santang memperoleh hadiah azimat baju antakusumah. Khasiat
baju tersebut, barangsiapa yang memakai baju tersebut maka ia dapat terbang.
Kemudian Rara Santang berganti nama menjai Nyi Batin. Ia meninggalkan Gunung
Tangguban Perahu dan pergi ke Gunung Cilawung, atas anjuran Nyi Indang Sakiti.
Di Gunung Cilawung Nyi Batin bertemu dengan Sang Banjaran Angganati, seorang
pendeta. Sebuah nama diberikan oleh pendeta itu kepada Nyi Batin, ialah nama
Nyi Eling.
Pertemuan kakak beradik, Walangsungsang dan Rara Santang
terjadi di tempat kediaman pendeta Danu Wargi. Pendeta itu mempunyai seorang
anak perempuan bernama Nyi Endang Geulis yang kemudian dikawin oleh
Walangsungsang. Walangsungsang diberi sebentuk cincin ampil ali-ali dan nama
baru yakni Samadulahi. Walangsungsang terus mencari guru agama Islam. Sampai
ada petunjuk terus melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati. Petunjuk itu datang
dari raja Bango yang berhasil ditaklukan Walangsungsang ketika ia akan
mendapatkan azimat berupa pandil baja. Di Gunung Jati ada Syeh Nurjati, nama
lainnya Syeh Nurbayan, cucu Nabi Muhammad. Putra raja Padjadjaran itu
menyatakan tunduk kepada Syeh Nurjati dan ia berguru agama Islam. Syeh Nurjati
memberi nama kepada Walangsungsang, Cakrabumi.
Pada suatu waktu Syeh Nurjati menengok Walangsungsang di
Sembung Luwung. Saat itulah Syeh Nurjati menyuruh Walangsungsang dan Rara
Santang untuk pergi ke Baitulloh. Kemudian kedua kakak beradik itu pergi ke
Mekah dengan membawa sepucuk surat dari Syeh Nurjati yang dialamatkan kepada
Syeh Bayan. Kepada Syeh Bayan inilah Walangsungsang berguru agama Islam.
Dikisahkan Rara Santang diperistri oleh raja Mesir dan
mempunyai dua orang anak, ialah Syarif Hidayat dan Syarif Arifin. Adapun
Walangsungsang setelah diberi Sorban oleh raja Mesir dan perbekalan di Arab
kembali lagi ke Pulau Jawa dengan Nama Abdul Keman. Dalam perjalanannya ia
singgah dulu di Aceh. Di sana ia mengobati Sultan Kut dan kawin dengan anak
sultan itu.
Diceritakan oleh yang empunya cerita bahwa Syarif Hidayat
mencari Nabi Muhammad. Atas pertolongan Abdul Safari dengan memberikan dua buah
barang yang berasal dari Malaikat Jibril. Syarif Hidayat dapat mengadakan
perjalanan Mi?raj. Ia bertemu dengan Nabi Muhammad dan mengadakan percakapan
tentang rahasia hidup dan mati. Atas perintah Nabi Muhammad. Syarif Hidayat
akhirnya pergi ke Gunung Jati di Pulau Jawa dan berjumpa lagi dengan ibunya,
Rara Santang yang sudah pulang dari Mesir, di Cirebon. Sebelum ia bermukim di
Gunung Jati dengan nama Sunan Jati Purba, ia pernah berkelana di Jawa, Madura,
Palembang dan Cina.
Kondisi Naskah:
Kecamatan : Wanaraja
Nama Pemegang naskah : Imas Darwati
Tempat naskah : Desa Tegalsari
Asal naskah : pemberian dari Ny. Titi, Cinunuk Garut
Ukuran naskah : 17 x 21.5 cm
Ruang tulisan : 11 x 15 cm
Keadaan naskah : baik
Tebal naskah : 266 Halaman
Jumlah baris per halaman : 13 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 14 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kekuning-kuningan
Keadaan kertas : tebal, halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup
Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat,
India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini
disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang
sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari
tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan
tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari
seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk
menghancurkan Islam?
Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai
tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai
seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di
zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh
sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara
para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah
ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki
Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah
soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di
Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di
Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa
sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir,
beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan
Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu
dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di
Jawa Timur membuktikan hal ini.
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di
Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara.
Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin
bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi
pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang,
Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan
bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan
hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara
dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang
dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang
luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru
didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja
terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai
sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan
tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem
penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa
antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri
Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di
Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar
pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama
Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts.
Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang
terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari
wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti
adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah
menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri
Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu
terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa
menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15
tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun
setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah
pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang
masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim
dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana.
Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian
al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan
pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa
seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah
menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir
Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah
mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air.
HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para
pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari
Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di
daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut
Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara
kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman
Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami
kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam
wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia
mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah
disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil,
Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah
seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad
ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat
sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan
wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari
kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi
pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5.
000 tahun sebelum Masehi!
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga
dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7
Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu
nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat
dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise
D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa
pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan
multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil,
Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi
yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di
Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri
dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka
memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun
pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut
berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga
dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering
pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin
banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja,
adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan
jalan damai
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of
Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh
mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.
Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini,
misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang
duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok
mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau
Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg:
Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah
batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal
tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah
Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M.
S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah
masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat
dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M,
dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M),
lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam
(sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah
secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah
ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9
tahun sejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memproklamirkan dakwah
Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan
Islam.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki
mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman
Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali
hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat
kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus,
(3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir
dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan
menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah
tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan
pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di
Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah
tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu
merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum
perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian
damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam
pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan
Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan
sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman
menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif
Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut
keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb,
Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu
diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para
al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M,
kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan
sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan perkampungan Arab
Islam tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau
raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan
dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi
Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan
pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak,
setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka para pedagang Arab Islam ini
bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah
kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu,
dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India,
konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625
dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam
bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam
seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5
hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab
yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam
generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu.
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur
Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah
masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi
dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih
memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang
pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah
hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari
Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan
mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau
dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,”
ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang
Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut
sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah,
telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan
bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti
kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di
perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah
Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah
Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab
sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di
Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama.
Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di
Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau
yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena
para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari
Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja
atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya
merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah
Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan
Sumatera.
Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa
para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang
sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang
meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama,
pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir
Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat
perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan
Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi
ke Cina atau Jawa.
Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus,
Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari
Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu
dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan
demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari
cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai
sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.
Pangeran Cakrabuana, Raden Syarif Hidayatullah, Prabu Kian
Santang : Tiga Tokoh Penyebar Ajaran Agama Islam di Tanah Pasundan
Berbicara tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di
seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah
Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang
tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut
sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar
Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu
Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah
yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya
keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada
mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan
bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah.
Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan
dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan
yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan
Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga
faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga
tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya
mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga
disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam
beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan
setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di
tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka
tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan,
fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan
demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap
khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih
kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para
peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber Sejarah
Sebenarnya banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai
bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber
tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik).
Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang
berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu
dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung
Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih
banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah
tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman,
Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan
Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting
yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah
Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk
mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik)
seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok
pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan
adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan
Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur
(Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam
itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan
penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik
berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya
merupakan tulisan tangan.
Pangeran Cakrabuana
Berdasarkan sumber sejarah lokal (seperti Babad Cirebon)
bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh
utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan
Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir
Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh
tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak.
Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian
Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang,
sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang,
dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan
Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang.
Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja
Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi
raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah
kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh
ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor)
masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai
Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin
atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di
negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh
Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad
Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di
karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu
ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh
Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut
merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan.
Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati
(Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok
pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi,
seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui
lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah
Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan,
Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk
kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti
itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya
Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama
ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap
tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa
Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada
ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di
Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak
mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya
meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana
mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu
Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara
Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada
Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng
Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di
daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra
tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April
1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus
Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata
“cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu
itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap
udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda)
pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang
oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu
(pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai
suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa,
terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106
orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang,
Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut
seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam,
pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah)
kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan
(Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di
tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini
masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah
tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna
historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir
Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci
Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran
Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang
penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara
geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati
atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan
ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai
Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas
Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di
Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga
bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang
sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari
fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke
Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki
Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris
tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana
tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa
harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan
tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di
Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan
berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama
di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran
Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam
bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri
Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia
mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran
Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka
Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan
(kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda
kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu
Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul
agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda
adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji
Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan
ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia
merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia
dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman
(panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Prabu Kian Santang
Sebagaimana halnya dengan Prabu Siliwangi, Kian Santang (Ki
Hyang Sancang) merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi
tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah
Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan
pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal
dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat
terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh
sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang
keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual
dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah
sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya.
Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang
dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa
sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah
patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di
daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu
adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir
yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah
yang sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan
tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat
legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog
yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad
Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat
mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding
kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut
tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang
membaca kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian
Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk
Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi
mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di
Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk
Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut
agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke
Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang
menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar
agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang”
atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran
itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya
seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh
jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M,
melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di
Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu
dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan
tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille
menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan
Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah
Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah
al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada
di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di
Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan
Garut.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang
suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia
membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang
setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de
Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah
Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah
Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7)
Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan
11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa
Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah
Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini
dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang
mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi
kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di
antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri
Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu
Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di
Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin
(ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang
Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi
ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang
merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang
diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di
daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu
Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih;
Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia
melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog,
op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di
Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu,
sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan
langsung dnegan para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti
Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar)
atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan
Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah
sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan
buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah
al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an
la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah
Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara
langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci
Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang);
2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang
sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang
dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke
seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para
penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq
(Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah
(Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah;
Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram
seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
Raden Syarif Hidayatullah
Seperti telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai
menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya
(Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan
al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul
Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah
Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau
raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat
Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw.
Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah
Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa
dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas
Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di
Mesir.
Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama
terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di
Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang
kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup
pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung
kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu
menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di
Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat
yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat
menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati
Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia
meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera
Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam
bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan
Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel)
yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan
agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu,
Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu
Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah
dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa
khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan
diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun
diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan
dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh.
Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya
ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya
Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata.
Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk
Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan
Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa
tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya
Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad
Limbangan, 1977:46).
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari
tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah
Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif
Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan
dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati
melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan
Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun
penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan
bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama
Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara
kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas
jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi
mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi
petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya
adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar
Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian
kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21
Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan.
Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak
Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa
pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan
seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik
dengan orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah
menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada
tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah
atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada
waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar
pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama
pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita
mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun
pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah
bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini,
yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase.
Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia
merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini
karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah
dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus
yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan
Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua
keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19
September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah
sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad
Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari
tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi
penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal
dengan nama Pangeran Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu,
Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad
Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki
tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung
selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu
komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati
Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.
Penutup
Demikianlah sekilas mengenai uraian historis tentang peran
Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses
penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu
Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat
beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan
untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di
daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati
Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang
mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hidayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan
Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada
tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana
Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada
tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia
merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah
Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah
nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda
dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.
Daftar Pustaka
Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta:
Interumas Sejahtera.
Edi S. Ekajati. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan
Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran
Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke
Masa. Diktat.
Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di
Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.
Ringkasan isi:
Naskah ini berisi cerita tentang kisah seorang tokoh yang
bernama Keyan Santang (Ki Hyang Sancang) putra Raja Padjajaran Sewu. Prabu
Siliwangi, yang gagah perkasa kemudian masuk Islam. Ia menyebarkan agama baru
yang dianutnya itu di Pulau Jawa dan menetap di Godog, Suci Kecamatan Karangpawitan
Garut sampai akhir hayatnya. Nama-nama lain yang disandang tokoh itu adalah
Gagak Lumayung, Garantang Sentra. Pangeran Gagak Lumiring. Sunan Rahmat, dan
Sunan Bidayah.
Pada suatu hari Keyan Santang berdatang sembah kepada
ayahandanya. Ia ingin menyampaikan sesuatu yakni hasrat hatinya untuk dapat
melihat darah sendiri. Kemudian baginda memanggil para ahli nujum untuk
menanyakan siapa gerangan orang yang sanggup memenuhi keinginan Keyan Santang
seperti yang diucapkannya tadi. Para ahli nujum tidak seorang pun yang dapat
menjawab pertanyaan raja. Tetapi kemudian seorang kakek yang sudah tua renta
datang menghadap baginda raja dan berkata. "Daulat tuanku, hamba hendak
mengabarkan kepada tuanku bahwa sebenarnya ada orang yang dapat memperlihatkan
darah raja putra itu. Ialah Baginda Ali di Mekah."
Prabu Siliwangi bertanya, "Siapa kiranya yang akan
unggul bila anakku bertarung dengan dia?" Selesai pertanyaan itu
diucapkan, maka tanpa memperlihatkan jawaban kakek itu pun lenyap dari
pandangan. Menurut yang empunya cerita, kakek itu tak lain adalah Malaikat
Jibril.
Nama Baginda Ali terkesan pada hati Keyan Santang. Sekarang
ia ingin mencari orang yang memiliki nama itu ke Mekah. Setelah meminta izin
dari Prabu Siliwangi dan menyetujuinya untuk berangkat, maka Keyan Santang
terbang. Namun ia belum tahu jalan ke Mekah. Baru saja ia tinggal landas, di
atasnya terdengar suara tanpa wujud sumbernya, "Engkau bernama Geranta
Sentra!"
Setelah itu tampak olehnya seorang putri yang sangat cantik
turun dari langit. Terjadilah percakapan antara Keyan Santang dengan putri itu.
Kemudian putri itu minta kepada Keyan Santang agar diambilkan bintang-bintang
dari langit. Setelah selesai mengucapkan permintaannya itu, maka hilanglah
putri itu. Ingin memenuhi permintaan sang putri, Keyan Santang bertambah tinggi
terbangnya, ia bermaksud akan memetik bintang. Tetapi malah bintang itu
berterbangan jauh ke langit. Keyan Santang tidak putus asa, ia terus mengejar
bintang itu hingga akhirnya ia sampai di atas Mekah. Karena Keyan santang
demikian bernafsunya ia ingin dapat menangkap salah satu bintang, maka langit
di atas Mekah pun menjadi hingar bingar. Suara gaduh itu membuat baginda Ali
ingin melihat keadaan langit.
Tak lama kemudian bertemulah Baginda Ali dengan Keyan
Santang. Terjadilah percakapan antara mereka. Kata Baginda Ali, "Kau dapat
mengambil bintang, asal kau tahu dahulu mantranya." Keyan Santang
menanyakan bagaimana bunyi mantra itu. Kemudian Baginda Ali mengucapkan mantra
yang berbunyi. "Allohusoli ala nu dimakbul Sayidina Muhammad".
Setelah Keyan Santang mengucapkan mantra itu, ia dapat menangkap bintang dari
langit. Ternyata bintang itu berupa untaian tasbih.
Diketahui akhirnya oleh putra raja Padjadjaran itu bahwa
yang mengajarkan mantra itu adalah baginda Ali yang tengah dicarinya. Timbul
keinginan Keyan Santang untuk mengajak bertarung dengan Baginda Ali. Tetapi
Baginda Ali sudah tidak ada. Keyan Santang hanya bertemu dengan seorang tua
bangka yang sedang membawa tungked (tongkat) dan tiang mesjid. Terjadilah
percakapan antara Keyan Santang dengan orang tua itu. Keyan Santang mencoba
untuk mencabut tongkat yang ditancapkan oleh orang tua tadi dengan sekuat
tenaga hingga tidak disadari darah bercucuran keluar melalui pori-pori kulitnya
dan tetap saja tongkat itu tidak berhasil dicabut, Setelah diketahui bahwa
orang tua itu tidak lain adalah Baginda Ali, maka Keyan Santang pun menyatakan
takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam. Keyan Santang berganti nama
menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah.
Keyan Santang pun memeiliki tugas untuk menyebarkan agama
Islam di Pulau Jawa. Prabu Siliwangi menolak bahkan tidak mau memeluk agama
Islam. Kemudian dengan jalan menembus bumi raja Padjadjaran itu pergi dari
Padjadjaran Sewu. Sementara itu para bangsawan Padjadjaran bersalin rupa
menjadi bermacam-macam jenis harimau. Sedangkan keraton serta merta berubah
menjadi hutan belantara. Konon harimau-harimau itu menuju hutan Sancang
mengikuti Prabu Siliwangi.
Sementara itu Sunan Rahkmat meng-Islamkan rakyat yang ada di
Batulayang, Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Godog, Curug Sempur, dan Padusunan.
Sewaktu itu Sunan Rahmat kawin dengan Nyi Puger Wangi yang berasal dari Puger.
Dari Puger Wangi Sunan Rahmat mempunyai anak kembar, kedua-duanya laki-laki,
kakaknya bernama Ali Muhammad dan adiknya Pangeran Ali Akbar. Sayang sekali tak
lama kemudian setelah melahirkan Nyi Puger Wangi meninggal dunia.
Dalam kesedihan karena ditinggal istri, Sunan Rahmat terus
menyiarkan agama Islam di Karang Serang, Cilageni, Dayeuh Handap, Dayeuh
Manggung, Cimalati, Cisieur, Cikupa, Cikaso, Pagaden, Haur Panggung, Cilolohan,
warung Manuk, Kadeunghalang, dan Cihaurbeuti. Pada suatu saat pernah pula Sunan
Rahmat berangkat lagi ke Mekah.
Waktu akan pulang lagi ke Jawa, Sunan Rahmat dibekali tanah
Mekah yang dimasukan ke dalam peti. Di dalam peti itu diletakkan pula sebuah
buli-buli berisi air zam-zam. Selain itu Sunan Rahmat diberi hadiah kuda
Sembrani oleh ratu Jin dan Jabalkop.
Alkisah disebutkan bila peti itu gesah (bergoyang) di suatu
tempat di Pulau Jawa, maka itulah tandanya Sunan Rahmat mesti berhenti. Di
sanalah ia mesti bermukim. Adapun menurut yang empunya cerita, tempat
bergoyangnya peti itu di Godog. Itulah sebabnya Sunan Rahmat yang nama aslinya
Keyan Satang dimakamkan di Godog Karangpawitan Garut.
Menguak Konsep Kosmologi Sunda Kuno
kaping: 2/05/2013 01:50:00 AM
Pada zaman kuno (masa pra-Islam) orang Sunda memiliki konsep
tersendiri tentang jagat raya. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara
konsep Sunda asli, ajaran agama Budha, dan ajaran agama Hindu. Uraian mengenai
hal ini antara lain terdapat dalam naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak
422 yang kini tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua
naskah yang ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda
kuna itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis
sekarang.
Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar
Sunda dan barang pusaka lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut
selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat
pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu
kota kerajaan mereka (Pakuan Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang
dan diduduki oleh pasukan Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah
lontar lainnya, kedua naskah lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A.
Kusumadiningrat (memerintah tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum
Nasional sekarang) pada perempatan ketiga abad ke-19.
Kosmologi Sunda kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam,
yaitu bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam
gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi
sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me miliki
jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia,
hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak.
Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk
gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi,
bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak
dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada
manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan
neraka.
Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah
Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai penghuni buana
niskala. Di samping itu, penghuni buana niskala lainnya di antaranya 9 dewi,
seperti Dewi Tunyjung Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang, Dewi Sari Banawati,
dan 45 bidadari yang disebutkan namanya, antara lain Bidadari Tunyjung Maba,
Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala, Bidadari Sedajati.
Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai
tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang
disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen.
Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah
pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam
mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan
tugas/kewenangannya berbeda.
Kosmologi Sunda kuna berbeda dengan kosmoligi Islam. Dalam
ajaran Islam jagat raya digambarkan terdiri dari 5 alam, yaitu alam roh, alam
rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Kosmologi menurut konsep
Islam cenderung didasarkan pada urutan kronologis kehidupan manusia (dan
makhluk lainnya). Alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi
tempat kehidupan manusia sebelum lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam
barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan
manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat
menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.
Jika kosmologi Islam mencerminkan gambaran urutan kronologis
kehidupan manusia, kosmologi Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya
dan tingkat kegaibannya. Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula
tinggi-rendah kedudukannya, baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda
kuna tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir
ke alam dunia (bumi sakala). Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi
setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu (1) kembali ke alam dunia
dalam wujud yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan, tumbuhan atau benda
lainnya sesuai dengan kepercayaan reinkarnasi) dan (2) menuju alam niskala,
bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian
mahadewa).
Yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah
sikap, perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku,
dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan larangan
ajaran agama, ia akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah
derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika
sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan
dengan larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang
menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan.
Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu didambakan
oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia mati
mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan situasi dan
kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku, dan
perbuatannya di alam dunia.
Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi
sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat),
maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang
ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422
dikemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana
jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju
buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala
yang paling tinggi derajatnya.
Kropak 420 membuka penuturannya dengan pernyataan dan
pertanyaan, "Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya,
maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?" (Berjalan teriring rasa senang,
saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah harus
meminta tolong?).
Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara
Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala), "Ka saha geusan ngahiras, di
sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati
mahapandita," (Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di
niskala, terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat
mahapandita).
Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup
di bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri
kehidupan di bumi sakala bahwa, "Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku
langit ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku
sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa
utama, beunang ku rasa wisisa." (Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup
oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita,
terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh
keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan mulia).
Ajaran moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara
pendeta utama dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah
Sanghyang Sri (penjaga alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap makhluk yang
ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu
menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda
(suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun
hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui
berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke
kodratnya bagaikan dewa.
Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi
oleh penuh rasa keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya
tidak tersesat kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak
berbuat kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat
pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang
benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.
Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang
yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi
hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi
pendeta, janganlah hanya mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan
sejati.
Nasihat pendeta utama yang lain adalah "Mulah
cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak ngabigal, mati-mati
uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag, pregi ngajuk
ngajalanan," (Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak
menghalangi, menggertak merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak
berdosa, iri dengki melukai memukul, berani mengawali berutang). Adapun
berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut rumput dan berbagai umbi, berbagai
dedaunan tak pernah kurang, ilalang arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut
sarba beuti, tangtarukan tada kurang, kusa madi sarba pala).
Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana
jatiniskala, tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon,
dan makhluk halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak
dibatasi oleh keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada
teks Kropak 422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna,
menurut naskah ini, adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk
berusaha berbuat amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat
sejati di Kahyangan (surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu
angkara murka, akan menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak
yang lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni
neraka. Kalaupun mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus
mengalami reinkarnasi di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah
dari manusia.
Bahwa yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati)
terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan,
kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya sendiri.
Rumusannya adalah, "Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang
Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana premana
aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip
hurip aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap
aing." (Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang
Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri,
kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku
sendiri, kalaulah itu terlal u berkuasa, sebab kesentosaan kesentosaanku
sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku sendiri, ucapan
ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).
"Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan
aing, hamwa waya nu leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika
hanteu nu ngawisisa aing, ka pangikuna aci jatinistmen." (Ah begitu
berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku, tak mungkin ada
yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada yang suci lebih dariku, sehingga
mustahil ada yang menguasaiku, sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati).
Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud
kekuasaannya luar biasa sehingga, "Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana
pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan
hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana
pemaga, na jati tan hana urip." (Berhasillah dia memerintah, pada bumi
tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada
purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada
angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan).
Salah satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi
berwujud jenis wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan,
menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang Sri
dengan ciri-cirinya, "Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu
bidito hurip, ti nu hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu
alit niskala, ti nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata."
(Dari yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh
sejahtera, dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari
yang indah halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang
sempurna bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).
Di dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa
benar itu artinya, jika, "Bayu dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap
dihdapan deui, hurip dihuripan deui, hirang dihirangan deui, jati dijatyan
deui, niskala diniskalaan deui, alit dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui,
talinga ditalingakeun deui, leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun
deui." (Kekuatan diper kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan
dirasakan lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan
lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi,
pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi, sadar disadarkan lagi).
Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep
kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata
mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar
kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman
hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.
Oleh EDI S. EKADJATI - Pikiran Rakyat, Kamis, 2 Juni
2005
Penulis Ketua Badan Pengurus Pusat Studi Sunda dan Guru
Besar pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad.
Agama Asli Ageman Urang Sunda Baheula
Seueur pisan rerencangan (sanes urang sunda) nu naroskeun ka
kuring, soal "Naon sabab urang sunda mayoritas agamana Islam jeung kunaon
mani babari pisan ngagem kana ajaran Islam?"
Inget kana pertarosan ieu, minggon kamari nuju boboran di
ciamis, kuring ngahajakeun silaturahim kanu jadi guru di hiji lembur di lereng
gunung papandayan - garut, waktuna paamprok sareng pun guru pok we ku kuring
teh ditarosan ku pertarosan nu diluhur tadi, anjeuna ngajawab singket pisan,
cenah :
"Da islam mah memang agamana urang sunda, urang sunda
asli geus pasti agamana islam."
kuring bingung, ku kuring ditaros deui naon maksudna, tuluy
anjeuna nyarios deui :
"Samemeh datangna aqidah Islam anu mawa ajaran Tauhid,
urang sunda mah geus leuwih tiheula Nauhid, urang sunda baheula ngan nyembah
jeung muja ka hiji Sanghyang Widi (gusti nu ngawidian / tuhan yang memiliki
kehendak atau yang memberikan izin) nyaeta gusti nu ngagaduhan Widi, atawa sok
disebut oge Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atawa Nu Ngersakeun (Yang
Menghendaki). oge sok disebut Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat
(Penguasa Alam), jeung Batara Seda Niskala (Yang Gaib). anu nempat di Buana
Nyungcung (Sidrotul-Muntaha). tah sanggeus datangna Islam ka tatar Sunda
diperjelas we ku Sifat Wahdaniahna Gusti dina ajaran Tauhid nu nerangkeun sifat
Wajib jeung Mustahilna Allah (Sanghyang Widi - ceuk urang sunda)."
Jadi ringkesna mah, "Tibaheula ge urang sunda mah geus
wawuh ka Allah nyaeta kanu hiji nu dipikagusti, tegesna Sanghyang Widi teh
Allah tea anu ngagaduhan widi. Matak mun diajak nyembah pangeran anu aya 3
atawa lewih loba teh moal daraekeun, iwal ti nu barodo jeung nu kadaresek ku
haliah dunya." kitu saur anjeuna. Sanajan cariosanana rada beda sareng nu
kacatet dina sejarah kanekes perkawis ngahyang/tilem (nyaeta puncakna elmu dina
tarekat sunda buhun, samemeh datangna Islam nu jadi panyampurna sakabeh ajaran
para Nabi anu jumlahna aya 124.000), ieu jadi bahan fikiran keur kuring, bisa
jadi pangna disebut Parahyangan ge meureun baheulana para Nabi anu nga-hyang
teh seuseurna ti Tataran Sunda. jeung bisa jadi penganut sunda wiwitan anu teu
narima kana islam teh saking ku sieunna kaleungitan ajaran buhun bari manehna
can nyaho yen datangna Islam teh keur Nyampurnakeun ajaranana.
Benarkah Ki Sunda Sudah Terpuruk?
Saat ini banyak kalangan di tatar Sunda mengulas tentang
keberadaan Ki Sunda. Pada umumnya mereka mengulas tentang memudarnya jati diri
Ki Sunda yang seolah telah hilang atau ditinggalkan oleh sebagian besar Ki
Sunda khususnya oleh generasi muda karena bermacam sebab. kekecewaan demi
kekecewaan tercetus karena merasa bahwa Ki Sunda saat ini sudah mulai terpuruk
dan keberadaannya bagai jati kasilih ku junti, benarkah demikian?
Sejarah tatar Sunda, sepenggal kecil wilayah dari sekian
luas kawasan nusantara, kepulauan terbesar di dunia, sejak dahulu kala konon
sudah banyak disinggahi para pendatang dari berbagai belahan bumi, seakan
memiliki pesona dan magnet yang mampu menyedot para pendatang untuk datang dan
bermukim di sini. Pembauran ras dan budaya bercampur aduk, secara bertahap
berkembang membentuk budaya baru dan baru lagi. Budaya yang selalu dinamis
berkembang mengikuti perjalanan waktu, mulai dari pola pikir dan pola hidup
yang paling sederhana sampai kepada pola yang kita jalani di abad 21 ini.
Sejarah mencatat bahwa langkah Ki Sunda telah berjalan
menempuh rentang waktu yang amat panjang, konon sejak zaman Aki Tirem di ujung
barat tatar Sunda di abad pertama masehi sampai saat ini. Kebangkitan dan
keterpurukan Ki Sunda dari masa ke masa bergulir silih berganti, berfluktuasi
sejalan dengan peran para tokoh sejarahnya. Berbagai episode telah menghias
ilustrasi perjalanan skenario sejarah di tatar Sunda.
Salah satu episode yang paling dikenal oleh masyarakat Sunda
adalah era Pajajaran (1482 M-1579 M) yang pernah mengalami masa kejayaan pada
zaman pemerintahan pendirinya Prabu Siliwangi (1482 M-1521 M) dan kemudian
terpuruk sampai pada total kehancurannya di tahun 1579 M akibat ulah para
generasi penerusnya.
Tome Pires, orang Portugis yang berkunjung ke Pakuan tahun
1513 M, menyebutkan Sunda sebagai "negeri ksatria dan pahlawan laut".
Menurutnya, orang Sunda menarik (goodly figure), ramah, tinggi kekar (robust),
dan they are true man (orang jujur). "The Kingdom of Sunda is justly
governed" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil).
Menurut cerita Parahiyangan, Purbatisti purbajati, mana mo
kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan
kena kretarasa (Peraturan dan ajaran leluhur dipegang teguh. Oleh karena itu,
tidak akan kedatangan musuh lahir dan musuh batin. Bahagia sentosa di utara,
selatan, barat, dan timur karena perasaan sejahtera). Tahun 1521 M, Prabu
Siliwangi wafat dan dipusarakan di Rancamaya setelah memerintah selama 39
tahun.
Penggantinya, Surawisesa Sang Putera Mahkota naik tahta. Pada
saat pemerintahan ayahnya, dia dua kali diutus sebagai duta Pajajaran untuk
menjalin persahabatan dan hubungan dagang dengan Alfonso d'Albuquerque, raja
muda Portugis di Malaka. Perjalanannya ke Malaka ini digubah oleh pujangga
pantun menjadi cerita Raden Mundinglaya Dikusumah.
Pada era pemerintahannya, pecah perang saudara antara
Pajajaran dan Cirebon. Galuh dikalahkan dan dikuasai Cirebon yang dibantu Demak
sehingga Surawisesa hanya menguasai dan mempertahankan wilayah kerajaan Sunda,
warisan dari kakeknya. Perang yang berlangsung selama 5 tahun itu berakhir
dengan perdamaian. Surawisesa wafat pada tahun 1535 M dan dipusarakan di
Padaren.
Putera Surawisesa, Ratu Dewata menggantikan ayahnya. Ia
sangat alim (lumaku ngarajaresi) dan merasa aman karena sangat percaya pada
jaminan perjanjian damai yang dibuat ayahnya dengan Cirebon. Namun Banten,
sekutu Cirebon, kurang setuju terhadap isi perjanjian karena hanya aman bagi
Cirebon, tapi kurang aman bagi Banten. Agar tidak melanggar perjanjian, Banten
membentuk pasukan tambuh sangkane (tanpa identitas) untuk menyerang Pakuan,
namun benteng yang dibangun Sri Baduga sulit ditembus. Ratu Dewata wafat tahun
1543 M setelah memerintah selama 8 tahun (1535 M-1543 M) dan dipusarakan di
Sawah Tampian Dalem.
Ia digantikan oleh putranya, Pangeran Sakti. Berbeda dengan
ayahnya, raja ini memerintah tanpa mempedulikan norma-norma pemerintahan.
Membunuh orang tak berdosa, merampas harta rakyat, tidak berbakti kepada orang
tua dan menghina para pendeta. Raja ini diturunkan dari tahta setelah
memerintah selama 8 tahun (1543 M-1551 M). Dan setelah wafat, ia dipusarakan di
Pengpelengan.
Anaknya, Nilakendra menggantikan sang ayah. Dalam
pemerintahannya, Pajajaran sudah demikian rusak. Setiap saat berpesta-pora dan
mabuk-mabukan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa-kilang (air memabukkan
menjadi penyedap makan dan minum). Tatan agama gyang kewaliya mamangan sadrasa
nu surup ka sangkan beunghar (Tidak ada ilmu yang disukai kecuali makan lezat
sesuai dengan kekayaannya).
Ajaran tentang nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang
(makan sekadar pelepas lapar, minum tuak sekadar pelepas dahaga) telah
ditinggalkan. Semua itu terjadi dalam keadaan kerajaan terancam musuh dan
rakyat kelaparan. Tiba saatnya kaliyuga, yaitu zaman yang penuh kejahatan dan
kemaksiatan yang kemudian akan diikuti oleh pralaya (kehancuran). Dalam keadaan
demikian Nilakendra bersama pengikutnya meninggalkan kerajaan. Tidak diketahui
di mana raja ini wafat dan dipusarakan setelah memerintah selama 16 tahun (1551
M-1567 M).
Ragamulya Suryakancana, raja terakhir, mengungsi bersama
pengikutnya ke Kadu Hejo di lereng Gunung Pulasari Pandeglang. Ia bertahan di
salah satu kerajaan daerah dan gugur di sana sebelum pasukan gabungan
Banten-Cirebon menghancurkan Pajajaran. Konon benteng Pakuan dapat ditembus
karena adanya pengkhianatan "orang dalam".
Setelah itu, Pakuan tidak ada beritanya lagi. Reruntuhannya
ditemukan sebagai puing dalam keadaan kosong tanpa penghuni oleh pasukan
ekspedisi Kumpeni Belanda pimpinan Sersan Scipio pada 1 September 1687 M.
Dari episode di atas, dapat kita simpulkan bahwa betapa pun
Prabu Siliwangi membawa Pajajaran ke jenjang zaman keemasan, membangun benteng
pertahanan yang sangat kuat, namun akibat mental dan prilaku penerusnya, Pajajaran
harus mengalami kehancuran. Beberapa episode lainnya tak kalah tragis bahkan
juga memalukan, namun episode di atas rasanya cukup mewakili sebagai pembanding
keberadaan kita di era Sunda kiwari.
"Sunda kiwari"
Saat ini kita dapat melihat dan merasakan fenomena kaliyuga
yang menimpa Ki Sunda walau dalam bobot dan versi yang berbeda.Kemaksiatan,
kerakusan, pengkhianatan, anarkis telah membayang-bayangi. Banyak motif yang
menjurus kepada kehancuran, antara lain pola hidup konsumtif yang berlebihan yang
kemudian berdampak di antaranya kepada perilaku korupsi, pelecehan seksual, dan
narkoba. Tentu kita berharap tidak terjadi pralaya, keterpurukan, atau
kehancuran seperti yang pernah dialami leluhur kita dan ini perlu kita
tafakuri, patut dijadikan cermin agar flek-flek yang tampak
pada wajah kita dapat segera diobati, diprotek sebelum menjadi parah.
Keberadaan Ki Sunda kiwari dan masa datang sangat bergantung
kepada Ki Sunda sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila
kaum itu sendiri tidak mengubah nasibnya. Sudah saatnya kini Ki Sunda
paheuyeuk-heuyeuk leungeun membangun kembali Benteng Pajajaran yang tangguh.
Ki Sunda, baik pituin maupun mukimin harus sejalan
menjunjung tinggi budaya tatar Sunda. Kita gali dan pelihara bersama budaya
warisan para leluhur yang ada, namun wayahna harus rela meninggalkan kultur
yang selalu membuat kita statis, menghambat kemajuan, dan mulai menerima segala
perubahan dengan lapang dada sehingga kita tidak selalu ketinggalan langkah.
Kita belum terpuruk dan kita belum kehilangan jati diri,
namun harus kita sadari bahwa Ki Sunda kini sedang dalam proses metamorposis
untuk menjadi Ki Sunda baru yang tidak lagi ku'uleun atau yang betah berkutat
dalam alam feodal warisan masa lalu. Ki Sunda harus menjadi komunitas yang
tangguh dan mampu beradaptasi dengan segala kondisi setiap saat. Budaya Mataram
yang dominan memengaruhi identitas Ki Sunda selama berabad-abad, khususnya yang
ribet (tidak praktis) kini tengah berada pada titik puncak perubahan dan mulai
ditinggalkan. Jadi tidak perlu heran jika perubahan terjadi dan ini akan terus
dan terus berlanjut di masa yang akan datang. Pada era teknologi dan informasi
saat ini waktu sangat berharga, sehari saja kita tertinggal, kita sudah menjadi
manusia masa lalu.
Kita tidak perlu pesimistis. Hanya dengan rasa memiliki
(sense of belonging) dan semangat yang tinggi, Ki Sunda akan tetap eksis. Ki
Sunda akan tetap Ki Sunda di mana pun berada walau dikelilingi budaya mana pun.
Memang tidak banyak Ki Sunda yang peduli terhadap
keberadaannya karena kebanyakan sibuk dengan kepentingannya dalam usaha
mempertahankan hidup, namun dari yang sedikit ini kita sangat berharap banyak.
Saat ini kita berpacu dengan waktu, juga dengan komunitas lain. Kita harus
berusaha tegas dan berjuang keras agar tidak selalu ketinggalan langkah
sehingga istilah jati kasilih ku junti bagi keberadaan Ki Sunda tidak pernah
kita dengar lagi. Ki Sunda harus kembali mengesankan bagi orang lain maupun
orang asing seperti halnya kesan Tom Pires di abad 16M.
Hanya dengan ketulusan dan kebersihan hati serta tekad yang
kuat kita akan menggapai suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kretarasa
(bahagia sentosa di utara, selatan, barat, dan timur karena perasaan
sejahtera), seperti yang pernah dialami pada zaman keemasan Pajajaran di masa
silam. Insya Allah.
Istilah Hyang Dalam Sunda
kaping: 12/25/2012 10:22:00 AM
Pada masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali kuno, kekuatan alam
tak kasat mata dan roh leluhur ini diidentifikasi sebagai "hyang".
Roh leluhur ini menghuni tempat-tempat yang tinggi, seperti gunung dan bukit.
Tempat-tempat ini disucikan dan dimuliakan sebagai tempat jiwa leluhur
bersemayam.
Dalam bahasa Sunda istilah "nga-hyang" berarti
"menghilang", "tilem" atau "tak terlihat". Diduga
kata ini memiliki kaitan kebahasaan dengan kata "hilang" dalam bahasa
Melayu atau bahasa Indonesia. Pada perkembangannya istilah "hyang"
menjadi akar kata beberapa nama, sebutan, dan istilah yang hingga kini masih
dikenal di Indonesia:
Gelar: Jika disandingkan dengan kata panggil atau sebutan
Sang-, Dang-, Ra-; menjadi kata Sanghyang, Danghyang, atau Rahyang, kata ini
menjadi sebutan kehormatan untuk memuliakan dewa atau leluhur yang sudah
meninggal. Sebagai contoh kata Sanghyang Sri Pohaci dan Sang Hyang Widhi merujuk
kepada dewa-dewi, sedangkan gelaran Rahyang Dewa Niskala merujuk pada nama
seorang raja Kerajaan Sunda yang telah meninggal. Disamping itu istilah
Danghyang atau Danyang merujuk pada roh-roh penunggu tempat-tempat tertentu.
Nama raja pendiri kemaharajaan Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, juga
mengandung nama "hyang" yang menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan
adikodrati.
Tempat: Ranah tempat para hyang bersemayam disebut Kahyangan
yang dibentuk dari susunan kata ka-hyang-an. Kini kahyangan diidentikkan dengan
surga. Karena adanya kepercayaan bahwa hyang menghuni tempat-tempat yang
tinggi, maka wilayah pegunungan kerap kali dianggap sebagai tempat hyang
bersemayam. Nama tempat seperti Parahyangan merujuk pada jajaran pegunungan di
Jawa Barat. Berasal dari gabungan kata para-hyang-an, para menunjukkan bentuk
jamak, sedangkan akhiran -an menunjukkan tempat, jadi Parahyangan berarti
tempat para hyang bersemayam. Kata parahyangan juga dikenal sebagai salah satu
jenis pura Hindu Bali, pura parahyangan adalah pura yang terletak di pegunungan
sebagai sandingan pura segara yang terletak di tepi laut. Pegunungan Dieng di
Jawa Tengah juga memiliki akar kata di-hyang yang juga berarti "tempat
hyang".
Kerja: Kata sembahyang dalam bahasa Indonesia kini disamakan
dengan kegiatan ibadah atau salat dalam agama Islam. Sesungguhnya istilah ini
memiliki akar kata sembah-hyang yang berarti menyembah hyang. Tari Bali yang
sakral Sanghyang Dedari menampilkan gadis muda yang kerasukan hyang.
Konsep "hyang" berasal dari sistem kepercayaan
masyarakat Indonesia asli, bukan berasal dari konsep spiritual Hindu-Buddha
India.
Masyarakat di kepulauan Nusantara sebelum masuknya ajaran
Hindu, Buddha dan Islam, percaya akan keberadaan suatu entitas tak kasat mata
yang memiliki kekuatan gaib yang dapat mengakibatkan hal baik maupun buruk
dalam kehidupan manusia. Mereka juga percaya bahwa roh leluhur yang sudah
meninggal tidak menghilang dan pergi begitu saja, tetapi turut berperan serta
dan memengaruhi kehidupan keturunannya yang masih hidup. Leluhur yang sudah
meninggal dianggap memiliki kekuatan supranatural yang mendekati kekuatan para
dewa. Karena itulah pemuliaan terhadap leluhur menjadi unsur penting dalam
kepercayaan masyarakat asli Indonesia, seperti ditemukan dalam sistem kepercayaan
suku Nias, Dayak, Toraja, suku-suku di Papua, dan berbagai suku lainnya di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar